Ada Sikap Jantan dan Kesatria Dalam Carok (Zawawi Imron)
Jumat malam, 12 Januari 2024, naas bagi Mat Terdam, Mat Tanjar, Najehri, dan Hafid. Warga Desa Larangan Timur. Kecamatan Tanjung Bumi Bangkalan ini meregang nyawa setelah duel maut melawan Hasan Busri dan Mochamad Wardi.
Peristiwa yang berlangsung di Desa Bumi Anyar, Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan, tersebut, menurut Kapolres Bangkalan AKBP Febri Isman Jaya, dikutip dari detikcom (14/1/2024), bermula dari ketersingguangan yang kemudian berlanjut dengan duel maut (carok) dan mengakibatkan meninggalnya para korban.
Perisrtiwa berdarah ini bukan hanya menyisakan duka mendalam bagi para korban dan keluarganya, namun juga berimplikasi pidana bagi dua pelaku kakak beradik tersebut.
Peristiwa ini juga menegaskan bahwa ditengah serbuan teknologi kekinian, laku kekerasan atau Carok dalam menyelesaikan sebuah persoalan masih eksis di wilayah yang berjuluk Pulau Garam ini.
Insiden carok maut berkelompok itu bukan yang pertama, beberapa waktu lampau, seperti dikatakan tokoh Madura, D Zawawi Imron, Carok massal juga pernah terjadi di Desa Bujur Tengah, Pamekasan, Madura, pada 18 tahun silam. Saat itu korbannya mencapai tujuh orang (Republika, Selasa , 16/1/2024)
Carok sendiri berasal dari Bahasa Madura artinya berkelahi atau perkelahian dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan secara Kesatria satu lawan satu. Mengutip Latif Wiyata, Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya, carok melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan antar penduduk sebuah desa yang ada di Madura (A. Latief Wijaya, 2002. Hlm 178).
Carok masih kata Latif tidak bisa dilakukan sebarangan. Tidak boleh asal tebas. Ada aturannya. Terdapat sejumlah syarat sebelum orang berangkat carok untuk “menyelesaikan” perkara. Sedikitnya terdapat lima unsur dalam carok. Pertama, ada tindakan atau upaya pembunuhan antara laki-laki; pelecehan harga diri terutama yang berkaitan dengan kehormatan perempuan; perasaan malo (malu); adanya dorongan, dukungan, atau persetujuan sosial; serta perasaan puas dan bangga bagi pemenangnya.
Sumadianta menambahhkan syarat lain untuk berlaga atau duel carok, yakni kadigdajan (latihan bela diri), tamping sereng (meminta jampi-jampi kekebalan supranatural), dan banda (kecukupan modal). (Sumadianta, 2009).
Dengan demikian maka Carok adalah bentuk perkelahian antara seseorang dengan orang lain atau kelompok dengan kelompok (massal), didahului dengan perjanjian dan dengan menggunakan senjata tajam. Arti lain: Carok sebagai tindakan yang bermaksud untuk menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan senjata tajam (Clurit).
Sosiolog Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Mutmainnah menilai bahwa carok merupakan bentuk institusionalisasi kekerasan. Carok dianggap masyarakat Madura, terutama di wilayah Madura Barat, sebagai cara menyelesaikan masalah menggunakan kekerasan. Bahkan mereka yang terlibat Carok sudah mempersiapkan segalanya dari awal siapa-siapa yang turun ke gelanggang untuk carok, orang orangnya, lokasinya, waktu atau jam berapa termasuk meminta izin keluarga untuk turun ke arena carok. Mereka sudah mempersiapkan segalanya termasuk akibat yang akan ditimbulkan pasca carok.
Pertimbangannya benar-benar matang. Jika pelaku meninggal, siapa yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga yang ditinggalkan, siapa yang akan masuk penjara apabila menang, dan seterusnya. Termasuk apa alat yang akan digunakan sudah masuk pertimbangan. ( Republika, Senin (15/1/2024).
Carok adalah ritual pemulihan harga diri ketika diinjak- injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta dan wanita. Carok adalah menjaga kehormatan diri dan keluarga. Oleh karena itu, carok adalah satu-satunya cara yang dianggap wajar oleh masyarakat Madura sebagai cara untuk mempertahankan harga diri. Mungkin bagi masyarakat di luar Madura, carok dinilai sebagai tindakan kekerasan, perbuatan keji, melanggar hukum dan arasional. Namun tidak demikian, bagi masyarakat Madura.
Bagi etnik Madura Carok sebagai satu-satunya cara yang dianggap oleh masyarakat Madura sebagai cara untuk mempertahankan harga diri. Huub de Jonge dalam salah satu bukunya menulis carok muncul karena masyarakat Madura merasa tidak menemukan solusi atas konflik sosial yang dihadapinya, sehingga harus diselesaikan sendiri dengan cara kekerasan.( De jonge. 1995: 7 ).
Konflik dan Kekerasan
Munculnya kasus Carok tidak bisa dilepaskan dari persoalan atau masalah yang melatarbelakanginya. Bahkan bisa jadi Carok karena satu sebab yang sepele atau bukan oleh sebab yang esensial atau prinsipil. Artinya carok bukan lagi masalah harga diri atau martabat keluarga. Carok bisa muncul karena perbedaan persepsi terhadap sebuah tindakan atau perilaku. Misalnya carok dipicu karena melanggar kesopanan, penghinaan dan persoalan- persoalan kecil lain yang kemudian mampu membakar emosi pelaku pelakunya.
Namun, sebagian besar, Carok dilatari konflik yang menurut para pelaku yang terlibat, menyangkut harga diri. Ini pula yang menjadi latar belakang Peristiwa carok yang terjadi di Bangkalan, Madura, Jawa Timur dan menewakan empat orang itu.
Mengutip Johan Galtung bahwa setiap konflik memiliki pola konstruksi segitiga, yaitu sikap, perilaku, dan kontradiksi, baik dari sisi manifes sang aktor atau para pelaku sendiri, maupun dari yang laten struktur dan kultural itu sendiri. (Johan Galtung:1969)
Dalam kasus ini, konstruksi pertama yakni sikap (attitude) dimulai dari ketika Hasan BusrI atau Hasan Tanjung (40 tahun) tengah nongkrong sendirian di pinggir jalan desanya , sembari bersiap-siap untuk menghadiri acara tahlilan. Kemudian dari arah selatan melintas kencang sepeda motor yang dikendarai Mat Terdam, Mat Tanjar.
Merasa terganggu, Hasan menegur keduanya. Bukannya berterima masih, tetapi kedua orang yang ditegur itu tidak terima. Dua orang ini malah menghentikan laju sepeda motornya, lantas menghampiri Hasan. Mat Terdam membentak dan memukul bagian wajah Hasan, sedangkan Mat Tanjar memegang tubuh atau badan Hasan. Karena itu Hasan tak bisa berbuat apa-apa. Diperlakukan seperti itu, Hasan emosi. Dia pun merasa tertantang da meminta Mat Terdam, Mat Fanjar untuk menunggu di lokasi. Hasan pun pulang ke rumahnya. Ditengah perjalanan pulang, Hasan bertemu dengan adiknya, Mohammad Wardi (35). Dia mengajak sang adik sambil menceritakan dirinya habis dipukul oleh para pelaku.
Sikap yang ditunjukkan oleh Hasan dan dua pelaku di lokasi kejadian, tidak akan menimbulkan kekerasan jika dua syarat lain dari “The Triangle of Violence” tidak terpenuhi. Maka untuk terjadinya peristiwa carok berkelompok ini perlu Kontruksi kedua, yakni Perilaku (behaviour). Bagaimana pengalaman-pengalaman yang berbeda dan mungkin persepsi yang bertentangan antara Hasan dan adiknya serta Mat Tanjar dan kawan-kawan dalam menyikapi sebuah masalah, sedikit banyak turut memberikan konstribusi dalam menggerakkan dirinya untuk melakukan duel maut itu.
Perilaku adalah sebuah tindakan kerjasama, persaingan atau paksaan, suatu gerak tangan dan tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Dalam kasus ini, gerak tangan dan bahasa tubuh mereka, bukanlah wujud dari sebuah persahabatan, tetapi jelas- jelas sebuah bahasa permusuhan.
Selanjutnya, masih ada kontruksi yang ketiga yakni menyangkut Konteks/Kontradiksi. Ini berkaitan dengan kemunculan situasi yang melibatkan problem sikap dan prilaku sebagai sebuah proses dari peristiwa yang sedang terjadi. Kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerak etnis-etnis yang hidup dalam lingkungan sosialnya.
Dua kelompok ini, Hasan dan adiknya maupun Mat Tanjar dan kawan-kawan adalah dua kelompok yang memiliki ‘ketidakcocokan tujuan”, atau berlawanan terkait dengan nilai sosial dan struktur sosial yang mengitari mereka (Miall: 2000). Sebagai seorang Blater atau jagoan Mat Tanjar tidak terima diingatkan oleh Hasan. Harga dirinya seolah terinjak-injak oleh peringatan Hasan. Sebaliknya Hasan pun demikian. Dia yang hidup dalam mindset Lebbi Bagus Pote Tollang atembang Pote Mata. (Lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu), tentu tak mau mundur mendapatkan perlakuan yang menyinggung harga dirinya sehingga terjadilah peristiwa duel maut yang akhirnya menewaskan Mat Tanjar dan kawan-kawan.
Apa yang muncul ke Permukaan (Carok), meminjam Galtung, seperti gunung es, di mana di balik bagian kecil kekerasan yang terlihat ada bagian besar yang tersembunyi atau tidak terlihat (invisible). Di bawah permukaan gunung es itulah sebagai faktor pemicu terjadinya suatu kekerasan (Carok), yaitu cultural violence (Budaya Kekerasan dan structural violence (kekerasan Struktural) yang telah mengakar dan menjadi tradisi sejak lama dalam suatu komunitas dalam hal ini warga Madura.
Karena bagi masyarakat Madura Carok merupakan satu-satunya cara yang memenuhi rasa keadilan dalam menyelesaikan suatu masalah atau perselisihan di antara mereka.
Maskulinitas
Mon lo’ bengal acarok ajjha ’ngako oreng Madhura” (jika tidak berani melakukan Carok jangan mengaku sebagai orang Madura). Demikian kata yang sering kita dengar dalam kehidupan keseharian warga Madura. Sebagian warga Madura melakukan Carok karena tidak mau dianggap sebagai penakut meskipun sebetulnya dia takut juga karena dampaknya bisa mengakibatkan kematian.
Beberapa bersedia maju ke gelanggang untuk melakukan carok karena dipicu oleh eksistensi etnisnya. Situasi ini makin memperkuat anggapan bahwa Carok bukan tindakan kekerasan pada umumnya. Carok adalah tindakan kekerasan yang sarat dengan makna sosial budaya sehingga memahami peristiwa Carok harus dipahami sesuai dengan konteksnya (Harry: 2008).
Dalam konteks carok ini, Maskulinitas atau ‘Kelakian’ juga memegang peran penting. Sebab Carok itu merupakan manisfetasi dari kelakian warga Madura. Mereka beranggapan bukan laki-laki (tak lake’) jika tidak berani Carok. Bagi mereka tak lake‘
tidak hanya menandai hilangnya fungsi biologis kejantanan, tetapi juga hilangnya “harga diri” seorang laki-laki Madura.
Lelaki Madura yang tidak berani Carok atau hilang maskulinitasnya memperoleh sebutan So’leran. Ini adalah sebuah penghakiman terhadap laki-laki karena yang tidak dapat memenuhi harapan maskulinitas yang dibangun oleh masyarakat Madura. (Center for Security and Welfare Studies:2021)
Maka untuk menghindari penghakiman ini atau untuk mempertahankan dan melestarikan maskulinitas mereka, Carok adalah pilihannya. Jalan Carok ditempuh untuk mendapatkan kembali pengakuan publik tentang maskulinitasnya. Cara ini dilakukan oleh sebagian laki-laki Madura, meskipun mereka harus menanggung risiko ditahan di penjara. Penjara bukanlah aib atau momok yang menakutkan bagi laki-laki Madura, dibandingkan dengan harus bertahan seumur hidupnya menyandang gelar ‘tak Lake’ atau hilang maskulintasnya. Dia berani terjun ke arena Carok demi tetap mendapatkan pengakuan dari lingkungan sosialnya.
Laki laki Madura, apa pun caranya, dia akan mempertahankan harga diri sebagai laki-laki Madura. Ini adalah hal utama dan paling penting dalam kehhidupan masyarakat Madura.
Pergeseran Praktek Carok
Riset Latief Wiyata menyebutkan bahwa sebenarnya terjadinya carok itu 90 persen karena harga diri, persoalan perempuan, dan sudah ada perjanjian antara kedua belah pihak.
Namun dalam perkembangannya carok mengalami pergeseran yang sangat jauh. Bahkan berujung pada tindakan kriminal. Mengutip Ketua Pusat Penelitian dan Inovasi Sosial Budaya Madura (LPPM) Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Iskandar Dzulkarnain bahwa Carok bukan lagi persoalan harga diri, tetapi nuansanya lebih ke persoalan politik bahkan hanya sekedar perebutan kekuasaan. Fenomena carok sekarang dilakukan dari belakang, bergerombol membunuh satu orang. Dari perspektif sejarah budaya Madura, itu sebenarnya bukan definisi carok (Tribun Madura, Selasa (16/1/2024).
Carok sejatinya adalah sikap kesatria, satu orang melawan satu orang dan harus behadapan muka. Kalau melakukan dari belakang (nyelep) bukan intisari Carok.
Warga Madura mengartikan Carok sebagai pertarungan antara dua orang dengan senjata tajam , biasanya clurit dengan cara beradu muka karena persoalan harga diri .
Sastrawan Madura Ibnu Hajar menyebutkan bila satu orang melawan empat orang , sebenarnya bukanlah carok dalam arti sebenarnya. Kejadian semacam itu lebih mengarah kepada persoalan kriminal, atau dendam yang berujung pada tindakan kriminal.
Peristiwa itu menunjukkan esensi caroknya bergeser dan tidak substantif. Duel yang dilakukan para pelaku dan korban lebih kepada bagaimana mereka ingin menunjukkan superioritas dalam pertarungan. (detikcom, Sabtu 27 Januari 2024)
Penelitian terbaru berkaitan dengan carok menunjukkan bahwa masalah Carok ini sudah mengalami pergeseran praktek.
Center for Security and Welfare Studies, Universitas Airlangga menemukan pergeseran-pergeseran praktik dari carok, pola lama ke carok pola baru yang disebut dengan ‘nyelep’ atau menikam dari belakang. Tradisi melakukan carok dari belakang lawan atau saat lawan membelakangi pelaku, sebelumnya tidak pernah terjadi, karena prasyarat Carok itu harus berhadapan muka.
Pergeseran lain, carok terjadi tidak lagi semata-mata karena masalah harga diri yang terinjak-injak. Mengejar kekuasaan atau kepentingan politik terentu seperti pemilihan Kepala Desa juga rawan gesekan, tidak hanya antar calon kepala desa, tetapi gesekan juga bisa berlangsung antar pendukungnya.
Tak berlebihan pada Pilkades serentak 10 Mei 2023 lalu, ada 4 ribu lebih personil keamanan yang disiagakan di Kabupaten Bangkalan, 4 Polres se-Madura membantu pasukan. Kekuatan pasukan ini masih ditambah dari 8 Polres lainnya di Jawa Timur. Ini menunjukkan bahwa Pemilihan Kepala Desa itu rawan gesekan yang bisa berujung pada tindakan kekerasan (Carok).
Perkembangan lain, seringkali carok tidak dilakukan oleh orang yang bersangkutan atau orang yang sedang bertikai. Artinya yang melakukan carok itu bukan orang yang mempunyai persoalan sebenarnya. Dia justru menyuruh orang lain atau yang tidak berkepentingan untuk turun ke arena carok dengan imbalan dan nilai tertentu yang disetujui diantara mereka. Pelaku carok berfungsi sebagai perantara atau mewakili pihak pihak yang bertikai.
Kedepan, meski frekuensi terjadinya carok mengalami penurunan karena sejumlah faktor, tetapi harus tetap dibangun kesadaran kultural kepada masyarakat dan pemangku kebijakan di wilayah Pulau Madura. Perlu diberikan pemahaman dan pengertian untuk tidak menggunakan cara-cara kekerasan (Carok) saat menyelesaikan sebuah persoalan, meski mendapatkan legitimasi kultural. Hal Ini sangat penting untuk mengurangi korban dari tindak kekerasan dari carok ini. Formulasinya bisa dituangkan dalam regulasi formal seperti undang-undang ataupun Peraturan Daerah.
Kemudian di sisi lain, regulasi informal seperti peran tokoh tokoh masyarakat maupun para Kiai untuk terus menerus memberikan pemahaman bahwa budaya Carok itu melanggar nilai-nilai etika dan agama sehingga sedikit demi sedikit bisa mengurangi produksi maupun reproduksi kekerasan yang berbasis kultural ini.
Selain itu pentingnya pendidikan karakter sejak usia dini agar mampu berpikir atau bertindak dengan dasar pijakan yang rasional tentang sebuah masalah. Hal hal yang demikian akan bisa meminimalisir tindakan carok. Mungkin tidak akan bisa menghilangkan atau menghapus budaya kekerasan yang berbasis kultural ini. Tapi paling tidak kita sudah menyiapkan generasi yang mampu berpikir jernih dan rasional atas sebuah tindakan yang akan dilakukan.