Ada ruang pembacaan menarik tiap kali menyusuri Jl KH Ahmad Dahlan di Yogya. Jalan itu menemukan penanda awalnya dari titik nol kilometer Kota Yogya. Warisan modernisme Eropa dalam bentuk aneka bangunan kuno cagar budaya yang bersejarah memadati kanan kirinya. Seterusnya memanjang menembusi ruas wilayah perkampungan Kauman dan sekitarnya. Jika dari arah berseberangan, titik nol kilometer bergerak menuju Pecinan di Secodiningratan. Dari titik nol kilometer pula bisa ditarik dua titik berseberangan: Kraton Yogyakarta ada di posisi berseberangan dengan Gedung Agung tempat Gubernur Yogya di jaman penjajahan Belanda berkantor. Titik-titik lokasi ini jika disatukan membentuk sebuah “political geography” yang khas, dan dengan menggunakan cara melihat seperti burung terbang di langit segera tampak pula “geography of mind” dari wilayah paling penting di tengah Kota Yogya.
Perpaduan antara “political geography” dan “geography of mind” bisa menjadi alat untuk menjelaskan bagaimana dinamika sosial sesuatu masyarakat terbentuk. Jika konsep itu dioperasikan, misalnya, untuk menelusuri konstruksi sosial Muhammadiyah pada periode awal kelahirannya bisa memberikan sumbangan berharga terhadap penulisan sejarah sosial Muhammadiyah.
Sisi “political geography” mempertemukan aneka pusat kekuasaan politik dan budaya, sementara “geography of mind” menggambarkan keanekaragaman tradisi pemikiran yang saling berkontestasi: tradisi Jawa, modernisme Eropa, Islam modernis, juga sumbangan dari komunitas Vremde Oosterlingen atau golongan masyarakat Timur Asing.
Singkatnya, ada korelasi kuat antara pikiran, ruang sosial, tradisi kekuasaan dan produksi pengetahuan yang melatari, melingkupi dan menggerakkan kehidupan sebuah entitas sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah di awal berdirinya.
Melihat semua itu, ungkapan KH Ahmad Dahlan menjadi sangat relevan, bahwa di suatu masa yang berbeda di masa depan, Muhammadiyah akan tampak berbeda sekali, demikian jauh berkembang, dan tidak sama lagi dengan masa awal pembentukannya. Setidaknya, kita bisa menangkap ada perubahan dan kesinambungan yang terjadi mengiringi sejarah perjalanan Muhammadiyah.
Pertanyaan pokok kita saat ini adalah: jika hari ini kaum muslim modernis bisa datang dari mana saja, dan tidak hanya dipasok oleh Muhammadiyah, konsekuensi apa yang yang akan menyertainya? Atau, pertanyaannya diperluas lagi, jika modernisme Islam dianggap ramah terhadap demokrasi, bahkan ikut memperluas dan menguatkan basis sosial demokrasi, apakah melalui Muhammadiyah genre modernisme macam ini masih menjadi kekuatan besar yang mendorong kompatibilitas antara Islam dan demokrasi?
Di Jalan KH Ahmad Dahlan, tiba-tiba kapasitas refleksi yang saya miliki berkembang. Mungkin, dan tak perlu diragukan lagi, kapasitas refleksi yg jauh lebih besar terjadi di wilayah ini pada tahun 1912, saat Kyai Dahlan dengan rancangannya yang canggih berhasil mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah.



