Benang Merah: Catatan Atas Kepemimpinan Bupati Hendy

  • Whatsapp

Sejak awal Hendy Siswanto menjabat sebagai Bupati Jember, pihak-pihak yang intens memperhatikan jalannya pemerintahan di bawah kepemimpinannya merasakan ada something wrong, ada yang salah dengan pola kerjanya.

Tidak heran kalau muncul pertanyaan yang sering terlontar dalam perbincangan publik, mengapa banyak warga masyarakat yang cenderung memiliki persepsi negatif terhadap kepemimpinan Bupati Hendy walaupun ia sudah berbuat berbuat untuk masyarakat Jember?

Bisa jadi hal ini disebabkan gaya kepemimpinan dan kebijakan Bupati Hendy yang cenderung mengabaikan aspek-aspek prinsipil karena disinyalir banyaknya kepentingan pribadi dan kelompok kecilnya dalam menjalankan sistem pemerintahan di Jember.

Beberapa permasalahan yang berlangsung selama kepemimpinannya bisa digunakan untuk menemukan benang merah guna menguraikan sinyalamen tersebut agar lebih gamblang.

Pertama, kesalahan KSOTK (Kedudukan Susunan Organisasi Tata Kerja) dalam pengangkatan jabatan. Dengan alasan “darurat birokrasi”, istilah yang tidak ada cantolan hukumnya, pengangkatan dan mutasi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemkab Jember melanggar UU Pemilu, UU Adminstrasi Pemerintahan, dan UU Kepegawaian.

Kebijakan tersebut dinilai sebagai pembenaran untuk “menghalalkan yang haram”, yaitu permakluman untuk melanggar ketentuan perundang-undangan. Bupati Hendy mengobrak-abrik birokrasi dengan mem-Pj-kan Sekda dan mem-Plt-kan seluruh pejabat Pemkab Jember.

Akibatnya, sejak 9 maret 2021 sampai hari ini patut diduga kuat bahwa seluruh pejabat Pemkab Jember yang terdampak kebijakan tersebut berstatus pejabat tidak sah.

Ketika kebijakan yang diambil tidak mengindahkan peraturan yang ada di atasnya, maka ada beberapa dampak serius yang perlu dicermati bersama. Misalnya, dugaan kuat tidak sahnya APBD 2021 dan 2022, semua produk hukum Pemkab Jember, semua kebijakan manajemen ASN, semua semua pencairan keuangan APBD 2021 dan 2022, perikatan kontrak dengan semua pihak ketiga, dan tindakan jabatan pejabat Pemkab Jember.

Permasalahan kedua adalah kebijakan yang ngawur. Kita bisa membaca, seolah demi memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka tidak peduli terhadap pemenuhan syarat formil penganggaran proyek multiyears.

Payung hukum Perda RPJMD, RKPD, dan KUA PPAS belum terpenuhi, tetapi sudah menganggarkan proyek multiyears, bahkan sudah mencairkannya. Konstruksi penganggaran demikian tentu melanggar prinsip-prinsip penggunaan keuangam negara yang sehat.

Akan sangat fatal apabila tindakan tersebut tidak mendapat sanksi dan koreksi dari para pihak berwenang, karena berpotensi dijadikan yurisprudensi oleh instansi pemerintahan manapun untuk melanggar prinsip penggunaan keuangan negara yang sangat rigid, dijaga oleh banyak ketentuan dan diawasi oleh kewenangan lembaga negara.

Ketiga, tertolaknya Perda PAPBD 2021 oleh Gubernur Jawa Timur dengan alasan terlambat dan menggunakan dasar hukum Perkada/Perbup serta praktek pengunaan APBD yang tidak sesuai dengan ketentuannya, yaitu pencairan lebih dari seperduabelas per bulannya.

Keempat, pengusulan pengadaan PNS dan PPPK sejumlah 4.305 yang tidak mempertimbangkan kemampuan APBD. Tentu saja, usulan tersebut sangat populis dan berpotensi membahagiakan hati publik, khususnya mereka yang memimpikan menjadi aparatur negara (https://k-radiojember.com/berita/read/pemkab-jember-upayakan-penuhi-kebutuhan-asn-melalui-kuota-cpns-2022).

Setelah beban APBD menjadi berat dan banyak mengurangi alokasi belanja prioritas, maka Bupati Hendy kemudian menyalahkan pemerintah pusat dan mengusulkan sesuatu yang irasional, yakni kewenangan Bupati untuk mengangkat ASN atau PPPK ((https://beritajatim.com/politik-pemerintahan/bupati-jember-ingin-pemda-diberi-kewenangan-rekrut-asn/ ). Tentu saja, usulan nyleneh tersebut bisa kita baca sebagai upaya menutupi kesalahan kebijakan pengusulan pengadaan CPNS dan PPPK yang memperberat beban APBD.

Kelima, Bupati Hendy lebih mengutamakan pola hidup mewah dan membangun pencitraan diri alih-alih mengentaskan kemiskinan dan kepedulian kepada kaum dhuafa. Untuk mendukung pencitraannya, Dinas Kominfo sebagai corong propaganda program-programnya digerojok anggaran yang cukup besar.

Di tahun 2021, hanya untuk Pengadaan barang dan jasa saja, Diskominfo membutuhkan dana 36 miliar. Tak cukup disitu, tahun 2022 masih juga ditambahi anggaran untuk pengadaan televisi super besar ukuran 10 × 50 meter atau megatron senilai 12,5 miliar.

Ironisnya, anggaran yang disiapkan untuk Dinas Sosial yang bertugas mengurusi fakir miskin dan anak terlantar justru hanya ala kadarnya. Sama sekali tidak ada kesan wah.

Total anggaran Pengadaan Barang dan Jasa tahun 2021 di Dinas Sosial hanya tercatat sebesar 1,9 Miliar dan 3,9 Miliar tahun 2022. Padahal, visi misi kepemimpinannya poin ke-3 adalah “Menuntaskan Kemiskinan Struktural & Kultural di Semua Wilayah.”

Sementara, untuk mendukung pola hidup mewahnya, dari data di aplikasi SiRUP, diketahui Anggaran Pengadaan Barang dan Jasa di Bagian Umum untuk tahun 2021 membutuhkan biaya sebesar 21,9 miliar dan 2022 sebesar 6,3 miliar. Anggaran yang keperluannya melayani kepentingan rumah tangga Bupati sungguh fantastis dibandingkan dengan hampir 300 ribu kaum dhuafa yang hanya mendapatkan sedikit alokasi anggaran.

Keenam, hubungan Bupati Hendy dengan tokoh partai pengusung, relawan dan tokoh-tokoh pendukungnya terlihat sama sekali “tidak sedang baik baik saja.” Bahkan, sebelum publik mengetahui hengkangnya beberapa tokoh relawan pendukungnya, sebelumnya juga telah santer terdengar tentang rumor tidak harmonisnya hubungan Bupati dan Wakil Bupati.

Meskipun demikian, terhadap rumor tersebut, Bupati Hendy maupun Wabup Gus Firjaun sama-sama berupaya menepisnya melalui acara-acara seremonial. Namun, kasak-kusuk ketidak harmonisan itu masih saja terus terdengar dari banyak pihak yang diketahui punya kedekatan dengan keduanya.

Bahkan, belum genap setahun Bupati Hendy memimpin Jember, beberapa tokoh pendukung utama pasangan calon bernomor 02 di Pilkada 2020 ini, sudah tidak lagi terlihat mesra. Satu demi satu para pendukungnya mendeklarasikan diri sebagai oposan (https://www.xposfile.com/setahun-pemerintahan-hendy-antara-kemewahan-kemiskinan-dan-buruknya-komunikasi/).

Yang paling awal dan vulgar menyatakan mufaroqoh, adalah kelompok Gus Baiquni, seorang tokoh pesantren yang sebelumnya diketahui all out dalam proses pemenangan pasangan Hendy–Gus Firjaun.

Fenomena hengkangnya banyak tokoh pendukung utama kemenangan Hendy ini naga-naganya seperti kata pepatah, “Anak Dipangku Dilepaskan, Beruk Dirimba Disusukan.”

Permasalahan ketujuh adalah kegelisahan dan ketidaknyamanan birokrasi. Birokrasi yang gelisah menghadapi fenomena amburadulnya penyelenggaraan pemerintahan di era Bupati Hendy menjadi masalah yang berpengaruh besar terhadap kesuksean menjalankan program-program pemerintah daerah.

Kegelisahan birokrasi tampak nyata dari serapan anggaran yang tersedia. Dari kasak-kusuk di kalangan birokrasi, juga dari fenomena munculnya keengganan untuk menjadi pelaksana kegiatan proyek- proyek terutama yang diinisiasi tim ahli, bisa memunculkan tafsir yang menarik.

Bisa jadi mereka khawatir terhadap status jabatan dan kewenangan yang diembannya. Hal itu berkaitan dengan pemahaman luas di kalangan birokrasi bahwa jabatan Sekda tidak sah sehingga berpengaruh terjadap semua produk kebijakan pemerintah daerah yang apabila tetap dipaksakan untuk dilaksanakan maka akan membawa dampak hukum bagi para pelaksananya.

Hal tersebut diperparah persepsi bahwa pendapat hukum yang disampaikan pejabat yang berwenang di bidangnya bersifat tendensius bukan pendapat profesional, apalagi telah muncul surat tentang pelanggaran yang dilakukan pejabat yang menangani administrasi hukum.

Kedelapan, ketidakpekaan terhadap peristiwa sosial di sekitarnya telah membuat Bupati Hendy diprotes beberapa pemuka partai, pemuka masyarakat dan juga aktivis sosial. Salah satu yang cukup mutakhir adalah protes terhadap penurunan baliho tokoh dan partai politik di Jember yang melanggar peraturan.

Kesembilan, suka berbohong dan terlalu banyak janji. Memberikan mimpi kepada masyarakat seolah menjadi kebiasaan Bupati Hendy untuk meningkatkan citra kinerjanya di depan publik. Padahal banyak janjinya yang tidak ditepati. Tentu saja hal ini akan menyebabkan kerugian bagi banyak orang khususnya partner-nya dalam bekerja.

Karena setiap keputusan seseorang (partner kerja Bupati) yang didasarkan pada komitmen dan janji Bupati Hendi ujung-ujungnya tidak pernah direalisasikan (tidak ditepati). Akhirnya, si partner terkena dampak buruknya dan, pastinya, itu sangat merugikan, baik material maupun non material.

Pos terkait