Permasalahan tidak adanya koordinasi, diskusi, dan kesepakatan antara pengelola TNBTS dan pemodal pariwisata dengan pemangku adat dan religi Tengger terjadi merata di masing-masing wilayah. Di Tosari, Pasuruan, misalnya, Rama Dukun Pandita Eko Cokronoto juga tidak dilibatkan dalam urusan pembangunan hotel dan usaha wisata lain di sana. Begitupula untuk pengembangan destinasi Puncak B29 di Desa Argosari, Lumajang, Rama Dukun Pandita Karioleh juga tidak diajak berbicara. Realitas ini menegaskan terjadinya marjinalisasi posisi dukun pandita, adat, dan religi Tengger.
Marjinalisasi ini menandakan bahwa pengelola TNBTS dan pemodal industri pariwisata masih belum memahami sepenuhnya religi Tengger yang menekankan posisi Bromo dan Semeru serta kawasan sekitarnya sebagai poros keyakinan yang melahirkan bermacam adat dan ekspresi budaya. Sebagai kawasan hila-hila, dukun pandita dan warga Tengger ingin terus merawat dan meruwat agar Hong Pukulun (Tuhan Yang Maha Kuasa), dewata, dan arwah leluhur selalu memberikan kebaikan bagi kehidupan mereka, kelestarian lingkungan, dan keselamatan semesta.
Artinya, tidak ada niatan untuk mengambil “apa-apa yang telah diambil” oleh TNBTS dari warga Tengger. Mereka hanya ingin agar pengelola TNBTS dan pemodal pariwisata tidak semena-mena terhadap tempat-tempat sakral dan tidak meremehkan religi Tengger terkait hubungan harmonis antara manusia-alam-dewata-Hong Pukulun. Ketika terjadi pengabaian ditakutkan akan terjadi peristiwa yang berdampak negatif terhadap para pengunjung dan warga Tengger.
Ketika pembangunan destinasi wisata di Gunung Gending, Ranu Pani, Lumajang, misalnya, terjadi peristiwa yang menyedihkan. Warga yang bekerja pada proyek tersebut terkena gagang cangkul dan mereka “semper” (tidak bisa berjalan). Tentu keluarganya panik. Setelah ditelisik, ternyata pembangunan kawasan tersebut tidak melibatkan dukun pandita. Peristiwa sejenis banyak terjadi di kawasan Tengger.
Kejadian ini, sekali lagi, tidak bisa dilepaskan dari posisi Bromo sebagai hila-hila yang membutuhkan kehati-hatian dalam merawat agar tidak berdampak destruktif bagi kehidupan manusia. Sejatinya, para pengelola tersebut bisa menempatkan Paruman Dukun Pandita se-Kawasan Tegger sebagai partner strategis dalam memutuskan rencana-rencana tertentu dalam pengembangan kawasan dan industri pariwisata.
Tidak Mudahnya Memberi Tanda untuk Tempat-tempat Sakral
Persoalan lain yang mengemuka dari perbincangan kami adalah tidak mudahnya membuat tanda untuk tempat-tempat sakral di kawasan Bromo dan Semeru. Dengan kendali sepenuhnya oleh pengelola TNBTS, kawasan Bromo dan Semeru memang diarahkan untuk konservasi, meskipun adanya zona pemanfaatan yang seringkali kurang mengindahkan kepentingan konservasi menunjukkan ketidakkonsistenan. Kepentingan konservasi seringkali menjadi masalah bagi warga Tengger ketika mereka ingin merawat tempat-tempat sakral di kawasan TNBTS.
Contoh sederhana, ketika dukun pandita bersama perangkat dan masyarakat desa ingin membangun padmasari, bangunan untuk menempatkan sesajen dan menggelar ritual kecil, mereka harus menunggu turunnya izin dari pengelola TNBTS yang masih harus menunggu izin dari Jakarta. Padahal, mereka tidak membutuhkan lahan yang luas untuk membangun padmasari, hanya sekira 2 – 3 meter.
Apa yang harus diingat, kepentingan mereka untuk memberi tanda bagi tempat-tempat sakral adalah untuk memperkuat religi dan adat Tengger agar relasi dengan alam, leluhur, dewata, dan Hong Pukulun tetap terjaga. Selain itu, dukun pandita juga tidak ingin para wisatawan melakukan tindakan-tindakan kurang patut di tempat-tempat sakral. Seringkali, tindakan yang kurang patut karena ketidaktahuan para wisatawan menilbulkan dampak negatif.
Pernah terjadi seorang pengunjung terpisah dari rombongannya, tersesat dan hilang selama dua hari. Setelah dilakukan pencarian, ia ditemukan berada di dalam jurang yang sangat curam. Untunglah pemuda tersebut masih hidup. Pemuda itu menuturkan ia seperti berjalan di jalan yang bagus. Tahu-tahu sudah berada di jurang. Menurut dukun pandita, kejadian seperti itu sering terjadi. Bisa jadi ia menerabas tempat sakral atau melakukan tindakan lain yang kurang pantas di kawasan Bromo.
Di Ranu Pani, tepatnya di jalur pendakian menuju Semeru, pernah terjadi peristiwa menyedihkan. Pihak pengelola TNBTS membongkar padmasari yang dibuat warga karena dianggap terlalu tinggi. Sore harinya, anak salah satu warga yang ikut membongkar padmasari tersebut kesurupan. Ketika kesurupan, arwah yang memasukinya mengatakan “akan aku bawah anakmu.” Karena keluarganya tidak begitu percaya pada hal mistis, maka diabaikan. Pada dini hari, si anak benar-benar meninggal dunia.
Tempat sakral merupakan ruang religi yang memiliki peran dan posisi penting dalam keyakinan Tengger. Ketika tempat-tempat tersebut bisa ditandai, dukun pandita dan warga tentu bisa merawat dengan baik. Dengan demikian keyakinan mereka terhadap proses spiritualitas yang berhubungan dengan “leluhur ngaluhur” (arwah leluhur yang mencapai level kedewataan), dewata, dan Hong Pukulun bisa tetap terjaga. Ketika relasi harmonis tersebut terjaga dengan baik, para dukun pandita dan warga meyakini bahwa tidak akan terjadi hal-hal negatif.
Jadi, kalau pengelola TNBTS membatasi akses warga Tengger terhadap tempat-tempat sakral tersebut, mereka tidak bisa melakukan slametan untuk menumbuhkan energi positif kawasan. Akibatnya, proses pariwisata di kawasan Bromo dan Semeru bisa terganggu. Lebih dari itu, hak untuk menjalankan adat dan keyakinan religi dijamin oleh konstitusi, sehingga ketika warga Tengger dibatasi aksesnya terhadap tempat-tempat sakral, bisa dikatakan ada upaya sistematis untuk melanggar hak tersebut.
Sejatinya, ketika pengelola TNBTS memberikan keleluasaan kepada para dukun pandita dan warga untuk merawat tempat-tempat sakral akan membantu konservasi kawasan dengan jalan kebudayaan. Artinya, pemertahanan karakteristik alam TNBTS bisa didukung oleh ketaatan religi warga Tengger yang ingin selalu memiliki dan memperkuat relasi harmonis dengan alam dan leluhur serta Hong Pukulun. Semakin dirawat tempat-tempat sakral, maka semakin besar kemungkinan konservasi kawasan bisa dilaksanakan.
Kedepan, Paruman Dukun Pandita se-Kawasan Tengger perlu mengidentifikasi kembali tempat-tempat sakral di kawasan TNBTS agar memudahkan upaya negosiasi dengan pihak pengelola. Ruang religi tersebut perlu diperjelas agar pihak pengelola dan pelaku wisata juga bisa memahami peran dan fungsi kawasan konservasi bagi keberlanjutan religi dan budaya serta lingkungan alam kawasan.
Selain itu, para dukun pandita masing-masing desa perlu mengidentifikasi dan mencatat tempat-tempat sakral di desa mereka, baik yang berupa pepunden/pedanyangan atau tempat-tempat lain. Jadi, ketika ada upaya pembangunan di desa, baik untuk keperluan pariwisata atau keperluan lain, yang berpotensi merusak tempat sakral tersebut, dukun pandita bisa mengingatkan.
Minimnya Kontribusi Industri Pariwisata Bromo
Adalah Sunaryono, Kepala Desa Ngadisari, yang dengan berani mengatakan bahwa memang benar pariwisata Bromo sangat ramai dan menghasilkan banyak uang untuk pengelola TNBTS dan Pemkab Probolinggo. Namun, bagi pemerintah desa, pemangku adat dan religi, serta warga masyarakat, rezeki ekonomi dari penjualan tiket dan penghasilan sektor pajak dari pariwisata Bromo tidak merembes sepeser pun ke mereka. Kalaupun warga ingin mendapatkan rezeki, mereka harus membeli jeep hardtop untuk mengangkut wisatawan, menjual makanan, membuat homestay, dan usaha lainnya.
“Wisata Bromo hanya meninggalkan sampah bagi warga Ngadisari,” ujar Pak Sunaryono dalam perbincangan santai selepas maghrib di rumahnya, Cemara Lawang, Ngadisari. Tentu kejengkelan Surnayono harus dibaca sebagai kritik terhadap realitas yang menyesakkan.
Warga Tengger yang mengikhlaskan kawasan warisan leluhur mereka dikuasai negara tidak mendapatkan presentase pembagian dari milyaran rupiah yang dihasilkan dari wisata Bromo dan sekitarnya. Bahkan, ketika peak season banyaknya jeep pengangkut wisatawan membuat macet jalanan desa sehingga mengganggu para petani yang hendak ke ladang. Realitas ini menunjukkan bahwa hingar-bingar pariwisata yang dikendalikan oleh pemerintah dan swasta seringkali tidak memberikan manfaat ekonomi bagi warga lokal.
Untuk kegiatan budaya yang melibatkan banyak warga Tengger seperti Unan Unan dan Kasada, kontribusi dari pengelola TNBTS dan pelaku usaha wisata di empat kabupaten juga bisa dibilang minim. Memang, terkait ritual besar, warga Tengger biasanya membiayai semua kebutuhan dengan jalan gotong-royong tanpa harus tergantung kepada pihak lain. Namun, terkadang ada kebutuhan biaya yang cukup besar sehingga perlu meminta bantuan pihak lain.
Pengalaman dari Tosari, Pasuruan, panitia ritual menghimpun donasi dari pengusaha hotel, koperasi, dan perbankan. Namun, menurut Romo Dukun Pandita Eko Cokronoto, tidak maksimal. Realitas ini menandakan bahwa eksotika kawasan Bromo Tengger Semeru memang dieksploitasi untuk pelipatgandaan keuntungan para pemodal, tanpa menghiraukan posisi dan kebutuhan dari warga lokal. Padahal terjaganya kawasan melalui bermacam ritual yang dilaksanakan warga Tengger bisa mendukung pengembangan pariwisata berkelanjutan.