Ketika Pemerintah Republik Indonesia melalui SK Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 menyatakan kawasan Bromo dan Semeru sebagai taman nasional, masyarakat Tengger yang meneruskan kehidupan dari para leluhur selama ratusan tahun sebelumnya, jauh sebelum imajinasi tentang Indonesia lahir, tidak bisa berbuat banyak selain menerima. Mereka yang tinggal di kawasan Bromo dan berada di wilayah administratif empat kabupaten—Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang—harus merelakan tempat tinggal dan kawasan sakral dalam religi Tengger menjadi bagian dari taman nasional.
Mereka tidak bisa lagi bebas untuk mengambil hasil hutan seperti kayu untuk kepentingan dapur. Untungnya, masayarakat Tengger masih diperbolehkan untuk melanjutkan pekerjaan mereka sebagai petani sayur di lereng-lereng curam serta masih leluasa meyakini dan mempraktikkan keyakinan, ritual, dan budaya warisan leluhur. Meskipun demikian, bukan berarti mereka tidak menghadapi ragam permasalahan akibat kebijakan pengelola Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (selanjutnya disingkat TNBTS), maraknya industri pariwisata, dan gerakan misi keagamaan.
Dalam konteks industri pariwisata, misalnya, para pemodal besar atas seizin TNBTS bisa membangun hotel dan resort di kawasan yang disakralkan dalam religi Tengger. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Eksosistem Nomor 355/KSDAE/SET/KSA.0/8/2019 tentang Zonasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur.
Kawasan TNBTS seluas 50.276 ha terbagi dalam tujuh zona, yaitu zona inti (17.028 ha), zona rimba (26.806 ha), zona pemanfaatan (1.193 ha), zona rehabilitasi (2.139 ha), zona tradisional (3.041 ha), zona khusus (61,56 ha), dan zona religi seluas 5,18 ha. Keputusan tersebut merukapan implementasi dari Sepuluh Proyek Bali Baru yang dicanangkan Presiden Joko Widodo berdasarka PP No. 50 Tahun 2011 dengan tujuan utama untuk meningkatkan kunjungan wisatawan.
Dalam konteks TNBTS, pengelola bisa memberikan izin usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA) kepada pihak swasta dalam area zona pemanfaatan yang terdiri dari ruang publik dan ruang usaha. Di TNBTS, zona pemanfaatan dibagi menjadi 6 (enam) bagian, yakni: zona pemanfaatan Jemplang, Pusung Tumpeng, Cemara Lawang-Laut Pasir-Mentigen, Ranu Pani-Ranu Regulo, Blok Ireng-ireng, dan Blok Pangonan Cilik. Meskipun pihak TNBTS selalu mengatakan bahwa pemanfaatan untuk usaha harus melalui izin yang sangat ketat dengan persyaratan baku yang harus dipenuhi investor, realitasnya, timbul bermacam kekhawatiran warga, pemangku adat, maupun NGO terhadap keberlanjutan lingkungan alam dan budaya di kawasan.
Dari “Sambang Dukun Pandita Tengger”, 25-28 September 2024, dengan fasilitasi dari Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (kini berada di bawah Kementerian Kebudayaan), kami mengidentifikasi ragam permasalahan terkait posisi masyarakat dan budaya Tengger di tengah-tengah maraknya kuasa pengelolaan TNBTS, industri pariwisata dan gerakan misi keagamaan. Dukun pandita adalah pemimpin agama dan adat Tengger.
Perbincangan dengan perwakilan Rama Dhukun Pandita Sutomo (Desa Ngadisari, Probolinggo), Sutomo (Desa Ngadas, Malang), Eko Cokronoto (Tosari, Pasuruan), Karioleh (Desa Argosari, Lumajang), dan Gatot (Desa Kandangan, Lumajang) serta Sunaryono (Kepala Desa Ngadisari, Probolinggo) dan Wira Dharma (tokoh pemuda Tengger Lumajang), menjadikan kami tahu betapa semarak industri pariwisata Bromo yang menghasilkan keuntungan berlimpah buat negara dan pemodal belum menghadirkan manfaat lebih bagi warga Tengger, utamanya di sektor budaya, ekonomi, dan ekologis.
Desakralisasi Hila-Hila dan Marjinalisasi Posisi Dukun Pandita Tengger
Tidak bisa disangkal, Bromo dan kawasan di sekitarnya menjadi destinasi pariwisata yang menarik kedatangan wisatawan. Industri pariwisata mulai tumbuh sejak era Orde Baru hingga saat ini. Pembangunan hotel, resort, rumah makan, dan destinasi mulai menjamur di kawasan Probolinggo dan Pasuruan. Pada tahun 2023 jumlah kunjungan wisatawan di Gunung Bromo mencapai 368.507 orang. Terdiri dari dari 355.297 wisatawan nusantara dan 13.210 wisatawan mancanegara. Kunjungan itu, juga memberikan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai Rp 14,70 miliar (https://www.antaranews.com/berita/4098519/kunjungan-wisatawan-gunung-bromo-capai-8525-orang-saat-libur-panjang).
Untuk memunculkan keunikan yang bisa meninggalkan kesan mendalam, para pelaku wisata pun memberi nama-nama baru untuk tujuan branding bagi kawasan sakral di sekitar Bromo. Lembah Watangan diberi nama Bukit Teletubis karena bentuknya menyerupai setting film boneka Teletubis yang sempat trend di televisi. Kawasan Lemah Pasar diberi nama Bukit Cinta.
Sementara, Bukit Kedaluh diberi nama Bukit Kingkong. Ironisnya, para pelaku wisata memberi nama-nama baru tersebut tanpa meminta izin atau berdiskusi dengan pihak pemangku adat, Paruman Dukun Pandita se-Kawasan Tengger. Padahal kawasan-kawasan sakral tersebut memiliki posisi penting dalam religi Tengger sehingga perlu dirawat dengan baik, termasuk diberikan sesajen (dandanan) agar mengalirkan energi positif bagi kehidupan.
Meskipun sejak Agustus 2024, atas kritik dan desakan dukun pandita, nama-nama baru tersebut dikembalikan ke nama asal sesuai dengan religi Tengger, peristiwa branding kawasan sakral tanpa meminta izin kepada pemangku adat dan religi menandakan “kerakusan dan kekerasan simbolik” pelaku wisata demi mengejar keuntungan komersial.
Dari sudut pandang industri pariwisata, tindakan tersebut bisa dibenarkan. Namun, para pelaku wisata semestinya memahami bahwa jauh sebelum mereka beraktivitas di kawasan Bromo untuk mendapatkan rezeki ekonomi, para dukun pandita dan rakyat Tengger sudah menjalankan keyakinan religi yang bercirikan relasi harmonis “manusia-alam-kekuatan adikodrati-Tuhan.”
Pemerintah terus berupaya memaksimalkan pendapatan negara dari aktivitas pariwisata Bromo. Salah satunya dengan menetapkan pairiwisata Bromo sebagai salah satu proyek Bali Baru. Keputusan pemerintah untuk memberikan izin usaha wisata di zona pemanfaatan bertujuan untuk mendatangkan semakin banyak wisatawan dan mendapatkan keuntungan komersial sebanyak-banyaknya. Menyediakan hotel, resort, dan usaha lain di zona pemanfaatan menjadi pilihan untuk memberikan rasa nyaman dan bahagia bagi para wisatawan sehingga mereka mau menginap untuk menikmati eksotika Bromo.
Ironisnya, pesatnya perkembangan industri pariwisata Bromo dan keputusan untuk membangun proyek Bali Baru di kawasan TNBTS dengan menggandeng pihak swasta kurang melibatkan pemangku adat dan religi, Paruman Dukun Pandita se-Kawasan Tengger. Mereka hanya diberikan sosialisasi setelah keputusan untuk pemanfaatan kawasan TNBTS digedok di Jakarta. Dampaknya, terjadi desakralisasi hila-hila, kawasan Bromo sebagai kawasan sakral. Artinya, kawasan sakral yang semestinya menjadi ruang religi Tengger dan sebagian memiliki fungsi penting untuk wilayah resapan air dimanfaatkan sebagai zona usaha, khususnya untuk membangun hotel, resort, dan yang lain.
Lagi-lagi, pemanfaatan zona usaha tersebut sama sekali tidak meminta persetujuan dukun pandita. Bisa jadi, Balai Besar TNBTS merasa sudah memiliki legalitas dalam penguasaan kawasan dan pemanfaatannya, sehingga konsultasi dan diskusi dengan pemangku adat dan religi Tengger diabaikan. Ketika Rama Dukun Pandita Sutomo menanyakan perihal keterlibatan pemangku adat dan religi Tengger, pihak taman nasional mengatakan sudah mengundang perwakilan tokoh adat dan religi.
Namun, mereka tidak bisa menjelaskan siapa tokoh tersebut. Modus seperti ini lazim terjadi di banyak kawasan yang dikembangkan sebagai destinasi pariwisata, pertambangan, dan perkebunan. Pemangku adat dan masyarakat yang sudah lama mendiami kawasan tersebut. Kebijakan pemanfaatan kawasan TNBTS yang bersifat top-down menjadi penanda pengabaikan hak-hak adat masyarakat Tengger dan lebih berpihak kepada kepentingan pemodal besar.
Contoh yang paling anyar adalah pembangunan Seruni Point di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Destinasi untuk menikmati keindahan Gunung Bromo ini dilengkapi dengan jembatan kaca. Proyek ini dikerjakan dengan pinjaman dari Bank Dunia. Sayangnya, pihak Paruman Dukun Pandita se-Kawasan Tengger tidak dilibatkan dalam perencanaan dan studi kelayakan. Padahal, kawasan yang menjadi destinasi tersebut merupakan kawasan sakral dalam kosmologi dan religi Tengger, selain menjadi kawasan hutan yang perlu dikonservasi.
Anehnya, ketika terjadi masalah yang menyebabkan belum dibukanya jembatan kaca untuk umum, pihak pengelola meminta bantuan ke Romo Dukun Pandita Ngadisari, Sutomo. Ternyata, ketika memulai proyek, pengelola tidak meminta bantuan Sutomo untuk melakukan ritual dan doa. Mereka meminta bantuan dukun cilik, sebutan warga Tengger untuk dukun yang berkaitan dengan orang pintar yang bisa menyembuhkan sakit-sakit tertentu. Menanggapi permintaan tersebut, Rama Dukun Pandita Sutomo mengatakan, “karena saya tidak memulai, maka saya pun tak mau mengakhiri.”
Apa yang dilakukan Rama Dukun Pandita Sutomo merupakan bentuk resistensi kultural karena selama sejarah TNBTS dan aktivitas pariwisata, warga Tengger diabaikan dan dimarjinalisasi. Sementara, rezim penguasa, dari tingkat kabupaten hingga pusat, dan pemodal pariwisata mendapatkan keuntungan maksimal dari kawasan Bromo. Meskipun memiliki kearifan lokal untuk menghormati “guru pemerintah”, ketika yang dihormati sudah keterlaluan, menolak keinginan mereka adalah bentuk resistensi yang mungkin tampak sederhana, tetapi, sejatinya “beraroma kuat.”