Pemilihan kepala daerah serentak 2024 telah usai. Di Lamongan, euforia pilkada berubah menjadi ajang bak final kejuaraan. Pada tanggal 27 November, pasangan Yuhronur Effendy – Dirham Akbar Aksara dengan penuh percaya diri mendeklarasikan kemenangan setelah hasil hitung cepat menunjukkan perolehan 55% suara. Pasangan ini mengalahkan H. Abdul Ghodur – Firosya Shalati dalam pertarungan yang oleh banyak orang disebut sebagai salah satu pilkada paling “seru.”
Namun, apa yang disebut seru oleh beberapa orang mungkin lebih cocok digambarkan sebagai “brutal.” Selama masa kampanye, masyarakat Lamongan tidak hanya disuguhi visi-misi calon, tetapi juga bonus berupa hujan negatif campaign, black campaign, hoaks, dan disinformasi. Tak berhenti di situ, menjelang hari pencoblosan, muncul fenomena yang menarik perhatian: adu “bom”.
“Bom”, Rezeki 5 Tahunan
Sebelum Anda mengira Lamongan berubah jadi zona perang, mari luruskan. “Bom” yang dimaksud bukan ledakan fisik, melainkan sebaran amplop berisi uang yang dilakukan oleh tim sukses. Pemilihan kali ini ibarat pertandingan hidup-mati. Tidak ada putaran kedua, hanya dua pilihan: menang atau kalah. Maka, “bom” menjadi senjata terakhir yang paling efektif.
Tapi apakah “bom” ini hanya dimiliki oleh salah satu calon saja? Tentu saja tidak. Namanya juga pertandingan hidup-mati jelas keduanya sama-sama memiliki “bom”, meskipun jenis dan daya ledaknya akan berbeda. Normalnya sebuah industri, beda perusahaan, beda juga harga dan tentu beda daya ledaknya.
Apakah ini salah? Secara hukum, jelas. Tapi kenyataannya? Sebagian besar masyarakat Lamongan hanya bisa mengangkat bahu. Pihak yang dianggap berwenang pun terkesan santai. Ketika ditanya, jawaban mereka pasti tidak jauh dari, “Silakan laporkan. Kami sudah menyediakan mekanismenya.” Jawaban standar yang lebih mirip pengalihan tanggung jawab daripada tindakan nyata.
Apakah kedua paslon mengetahui “bom” ini? Semoga saja tidak. Kita harus memiliki optimisme bahwa “bom” ini hanya diketahui dan dioperasikan oleh sebagian kecil tim mereka yang ingin memaksakan kemenangan.
Bom: Haram atau Hak?
Di satu sisi, ulama dengan lantang menyatakan menerima “bom” adalah tindakan haram. Namun, di sisi lain, masyarakat bawah melihatnya sebagai rezeki nomplok. Sebagian bahkan menganggapnya sebagai “kompensasi” atas hari libur yang membuat mereka kehilangan penghasilan.
“Kalau nggak kerja, nggak makan. Jadi, ya, uang ini buat ganti rugi,” kata seorang warga dengan polos. Sebuah logika sederhana namun masuk akal dalam tekanan ekonomi. Dalam situasi ini, kepentingan pemberi dan penerima “bom” bertemu dalam harmoni pragmatis: yang satu butuh suara, yang lain butuh uang.
Pada akhirnya, Lamongan seperti membuka cermin besar bagi demokrasi kita. Dengan partisipasi hanya sekitar 70% dan ribuan suara rusak, sulit berharap pilkada ulang. Biaya terlalu besar, apalagi jika hanya untuk mengulangi siklus yang sama.
Tinggal berharap mereka yang menyebarkan “bom” benar-benar memiliki jiwa dermawan sejati, tanpa mengharapkan balas budi. Namun, harapan itu mungkin terlalu muluk. Bagaimanapun, inilah demokrasi kita: perpaduan antara idealisme dan kepentingan.
Semoga ke depan, bom-bom ini tidak lagi menjadi tradisi. Atau mungkin, setidaknya kita bisa lebih jujur dalam menyebutnya: bukan pilkada, tapi perang amplop.