Studi tentang basis politik partai di Indonesia merupakan salah satu studi penting dalam sosiologi politik. Studi di wilayah ini menjadi penting dan relevan terutama jika dikaitkan dengan sejarah partai-partai dan peranannya sebagai organisasi yang memperjuangkan kepentingan masyarakat. Sebuah review, termasuk review historis, terkait basis politik partai di Indonesia menjadi penting diulas kembali terutama menjelang gelaran demokrasi di negara kita berupa Pemilu 2024.
Sebagai bagian penting dari studi sosiologi politik, studi tentang basis politik memiliki kaitan kuat dengan konstruksi masyarakat Indonesia yang mengalami transformasi terus menerus. Konsepsi masyarakat plural yang mengawali lahirnya masyarakat modern di Indonesia bisa menjadi titik keberangkatan dalam mempelajari pembentukan basis politik partai. Masyarakat plural yang terbagi ke dalam berbagai kelompok dan mengembangkan peradaban sosialnya masing-masing, merupakan masyarakat yang telah ada sejak lama, dan menjadi basis pembentukan masyarakat Indonesia modern. Masyarakat plural sebagaimana diuraikan oleh J.S. Furnival di era 1930-an itu merupakan tatanan masyarakat yang khas di Asia Tenggara, termasuk di Hindia Belanda. Masyarakat terbelah menurut batas-batas etnis, agama, adat, kewilayahan, dan selanjutnya kelas sosial. Dalam literatur modern, aliranisme sering digunakan untuk menyebut terbentuknya aneka jenis golongan masyarakat di Indonesia. Schrauwers (2000) berargumen bahwa model aliran verzuiling (pillarization) banyak dipengaruhi pengalaman Belanda dalam memecah dan menguasai Indonesia sebagai wilayah jajahan.
Andreas Ufen (2008) menjelaskan, aliranisme di Indonesia terbentuk melalui proses yang lama, sebagian berfungsi sebagai bentuk oposisi terhadap pemerintah kolonial, sebagian sebagai penentangan masyarakat yang satu terhadap masyarakat lainnya. Pembelahan sosial antara golongan abangan dan golongan santri di awal abad ke-20 merupakan salah satu contohnya. Hinduisme yang memudar daya tariknya dalam masyarakat terjadi karena kaum priyayi mendapat peluang baru saat berhadapan dengan modernisme Eropa yang dibawa Belanda.
Di sisi lain, gagasan kaum modernis Islam mulai masuk dan mempengaruhi para pedagang di perkotaan. Akibatnya, berdirilah Sarekat Dagang Islam dan organisasi pembaruan Islam Muhammadiyah. Selanjutnya menyusul berdiri Nahdhatul Ulama dari golongan Islam tradisional. Fase selanjutnya muncul gerakan kaum nasionalis sekuler, juga gerakan komunisme. Setelah Indonesia merdeka, golongan politik yang sebelumnya dinyatakan ilegal bersama organisasi keagamaan yang besar dengan cabang dimana-mana berhasil menggerakkan para pengikutnya. Begitulah, aliranisme berbasis bentuk-bentuk lama integrasi sosial dengan pandangan dunia bersifat khas yang menyertainya hadir sebagai konstruksi yang khas. Di Indonesia, aliranisme baru bertransformasi menjadi partai dengan organisasi-organisasi pendukungnya di era 1950-an. Bahkan, Geertz menegaskan aliranisme dalam masyarakat sepenuhnya membentuk struktur kepartaian di Indonesia pada era 1950-an:
“The ‘streams’ (aliran) structured the whole party system of the1950’s because of deeply rooted specialized associations around political ties that represented specific worldviews and social milieu. Indonesia’s party system appears to have maintained stable cleavages over a long period.”
Geertz dalam Peddlers and Princes (1963) mengenalkan konsep bahwa empat partai politik besar hasil Pemilu 1955 sepenuhnya adalah bentuk pengorganisasian aneka aliran dalam masyarakat:
“Each party with its aggregation of specialized associations provides a general framework within which a wide range of social activities can be organized, as well as an over all ideological rationale to give those activities point and direction.”
Geertz dalam Religion of Java membuat tipologi masyarakat berbasis aliranisme yang sangat terkenal. Ketiganya adalah priyayi, santri, dan abangan. Genealogi golongan santri sebagai aliran memiliki akar pada tradisi pesantren, tetapi mengalami pembelahan sosial secara perlahan, melalui waktu lama. Transformasi dari entitas sosial menjadi partai, bagaimanapun, memerlukan pembelahan sosial yang lebih kuat, dan turut dimatangkan oleh peristiwa-peristiwa politik besar.
Alasan lain pembentukan aliran adalah karena tiadanya kejelasan posisi antara kelas politik berhadapan dengan kelas bisnis (Robison, 1986 dan Sidel, 2006). Golongan santri, juga golongan priyayi dan abangan, ketiganya mengalami proses “pemburjuisan” (bourgeoning) yang lambat, dan proses itu baru terjadi sepenuhnya setelah Indonesia meraih kemerdekaan. Ketiadaan burjuis pribumi yang kuat selepas kemerdekaan, dan kelompok Cina yang dianggap asing dan kapitalis kecil, menjadi penyebab tiadanya pembelahan yang tegas dan dalam posisi berhadap-hadapan. Di tahun 1950-an, barulah elit pribumi mulai menguasai birokrasi, militer, dan perusahaan negara. Kementerian terbagi dalam penguasaan partai-partai politik. NU dan Muhammadiyah silih berganti menguasai Kementerian Agama, PNI menguasai Kemeterian Dalam Negeri, PKI menguasai Kementerian Pertanian.
Aliranisme tidak hanya turut dibentuk oleh penguasaan birokrasi, tetapi juga oleh pendidikan. Ini adalah pintu gerbang lahirnya elit baru yang tidak lagi hanya mengandalkan kekayaan pemilikan tanah atau kesuksesan berwirausaha. Pendidikan menyediakan peluang membangun karir dan jaringan sekolah-sekolah menjadi basis pembentukan kaum elit nasional (Sidel, 2006). Jaringan pendidikan inilah yang menjadi dasar rekrutmen kader bagi empat partai besar. Masyumi mengandalkan sekolah-sekolah madrasah yang berorientasi modernisme Islam. NU mengandalkan pesantren tradisional, PNI mengandalkan sekolah Taman Siswa dan sekolah-sekolah Kristen (Ufen, 2008). Jaringan sekolah-sekolah ikut melahirkan golongan santri menjadi kelas politik, dan selanjutnya melalui proses yang lebih lambat menjadi kelas kapital.
Pembelahan sosial yang bertransformasi menjadi pembelahan politik sangat menandai bagaimana demokrasi bekerja di era 1950-an. Partai-partai politik dengan dorongan ideologis yang kuat mengejar hingga ke titik marjin terluar dalam merebut dukungan masyarakat (Mietzner, 2010).
Akibatnya, meskipun partai-partai memiliki basis nyata di masyarakat, tetapi sistem kepartaian justeru menjadi rentan, atau mudah runtuh. Akibat persaingan ideologis yang tajam, terjadi fenomena sentrifugalisme politik, atau arus keluar yang melemahkan sistem kepartaian, disebabkan kerjasama antar partai yang sulit dan sering hanya berlangsung singkat.
Tampilnya pemerintahan Orde Baru memberi warna kuat terhadap meredupnya aliranisme. Negara hadir menyatukan semua perbedaan, dan Pancasila diharuskan menjadi asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pada wilayah politik partai-partai difusikan, dan Golongan Karya menjadi kekuatan politik serta menjadi peserta pemilu. Salah satu warisan terpenting Orde Baru adalah memperkuat kehadiran partai tengah, serta menghacurkan model political cleavage yang terbentuk menurut model demokrasi 1950-an (Mietzner, 2008).
Meredupnya aliranisme turut menentukan sifat transisi demokrasi di Indonesia. Tornquist (2000) mengenalkan istilah democratic vacuum yang menandai transisi demokrasi di Indonesia. Ketiadaan prakondisi demokrasi yang kuat memunculkan democratic vacuum dan para elit mereaksi keadaan menurut pertimbangan taktis. Para elit sebagai aktor utama berusaha mempolitisasi isu-isu pokok mengenai bagaimana seharusnya demokrasi dibentuk, sekaligus pada saat yang sama merancang strategi penggalangan massa melalui partai politik. Populisme dan klientelisme menjadi modus pembentukan basis partai, juga mobilisasi massa. Secara umum pembentukan basis partai dilakukan melalui populisme, klientelisme, patronase, jaringan sosial, dan penyatuan organisasi (Tornquist, 2000). Mietzner (2010) memandang tidak terjadi pemutusan total dengan masa lalu pada demokrasi pasca-1998. Kekuatan oligarkis lama memanfaatkan pemilu era reformasi menjadi ajang balik kembali merengkuh kekuasaan. Mantan birokrat, pengusaha, dan militer turut bermain dalam politik elektoral dan mampu mengalahkan para aktivis dan kekuatan pro-demokrasi.
Pemilu 2004 menandai tahap kulminasi dari transisi demokrasi di Indonesia (Aspinal, 2008). Transisi ditandai gejala atomisasi para pemilih, afiliasi politik yang cair, peranan politisi profesional yang meningkat, tampilnya tehnik kampanye modern dan munculnya kekuatan uang dalam politik. Para elit mendominasi agenda politik, dan pembentukan basis sosial partai terbelah menurut garis ketokohan partai yang ditampilkan para elit. Terkait pembentukan basis sosial partai, Aspinal dalam kajiannya menunjukkan munculnya communal voting. Ini menandai pergeseran perilaku para pemilih dari sikap primordialistik menjadi pemilih rasional. Pengaruh pergeseran perilaku pemilih ini ikut menentukan perubahan besar kecilnya basis dukungan partai. Di titik inilah dealiranisasi terjadi (Aspinal, 2008).
Sisi menarik dari demokrasi pasca-1998 adalah tidak ada partai yang memiliki posisi ideologis kuat, dan mampu memberikan jawaban tuntas terhadap aneka persoalan politik dan ekonomi. Tan (2006) mengaitkan ketiadaan ideologi dengan dealiranisasi, yaitu hilangnya pemosisian partai berdasarkan makin tidak jelasnya cleavage structures. Jika sebelumnya masih ada pemosisian antara reformis vs status quo, Islam vs sekuler, atau berbagai penafsiran berbeda dari aneka kelompok Islam tentang politik, hal semacam itu makin meredup. Jarak ideologis bukan lagi faktor yang menentukan polarisasi kompetisi partai-partai politik di Indonesia.
Politik aliran telah kehilangan makna dan muncul kembali dalam bentuk berbeda pada demokrasi pasca-1998. Partai tidak lagi merupakan penyatu aneka kepentingan yang bersifat organik. Ini terjadi karena di dalam partai banyak diwarnai konflik internal, persoalan pendanaan, ketidakjelasan platform perjuangan, dan para elit partai yang berusaha mendominasi pembuatan keputusan. Kekuatan-kekuatan baru membentuk aneka struktur pembelahan (cleavage structures), dan bekerja di luar loyalitas dan ideologi lama. Identifikasi para pemilih terhadap partai tertentu masih ada, tapi ikatan ideologis sebagai basis organisasional terus merosot (Ufen, 2008).
Melemahnya aliranisme ini, ditandai dengan hilangnya ikatan dengan partai politik, dan menurunnya jumlah keanggotaan partai dibarengi meningkatnya jumlah pemilih, sering dinamai dealignment atau hilangnya ikatan dengan partai (Ufen, 2008). Dealignment pada demokrasi pasca-1998 terjadi karena beberapa hal. Diantaranya adalah munculnya partai-partai yang lebih berorientasi memperjuangkan pemilihan presiden (presidentialized parties), meningkatnya suasana otoriterisme dalam partai, merebaknya politik uang, ketidakjelasan platform perjuangan, rendahnya loyalitas kepada partai, munculnya kartelisasi politik, dan bangkitnya elit lokal mengambil alih kepemimpinan partai.