Carstensz: Mengapa Standar Keamanan Pendakian Harus Ditingkatkan?

Pendakian ke Puncak Carstensz Pyramid kembali memakan korban. Tragedi terbaru menimpa Lilie Wijayati (Mamak Pendaki) dan Elsa Laksono, yang kehilangan nyawa dalam ekspedisi mereka. Ini bukan kejadian pertama—dalam lima bulan terakhir, sudah beberapa nyawa hilang di gunung ini. Satu korban saja sudah terlalu banyak, karena ini menyangkut nyawa manusia. Tragedi ini seharusnya menjadi peringatan serius bagi seluruh ekosistem pendakian di Indonesia: dari operator, guide gunung, Taman Nasional Lorentz, hingga pemerintah.

 

Keselamatan harus menjadi prioritas utama, bukan ambisi mencapai 100% success rate ke summit.

 

Pelajaran dari Pendakian K2 di Musim Dingin

Pendekatan berbasis analisis cuaca yang tepat telah terbukti menjadi faktor penentu sukses atau gagalnya ekspedisi. Salah satu contoh terbaik adalah pendakian K2 di musim dingin tahun 2021 oleh tim Nepal yang dipimpin oleh Nirmal Purja dan Mingma Gyalje Sherpa. Mereka menjadi tim pertama yang berhasil mencapai puncak K2 di musim dingin—sebuah prestasi yang sebelumnya dianggap hampir mustahil.

 

Keberhasilan mereka bukan semata-mata karena kekuatan fisik, tetapi karena strategi matang dalam menganalisis cuaca. Mereka menggunakan data dari tiga sumber prakiraan cuaca independen untuk menentukan jendela pendakian terbaik. Dengan perhitungan yang akurat, mereka memutuskan kapan harus bergerak ke puncak dan kapan harus menunggu.

 

Sebaliknya, pada saat yang sama, dua pendaki lain—John Snorri dari Islandia dan pemandu Ali Sadpara dari Pakistan gagal dan kehilangan nyawa. Mereka naik dengan perhitungan yang kurang matang terhadap kondisi cuaca ekstrem K2. Perbedaan ini menunjukkan bahwa keberhasilan dan keselamatan dalam pendakian bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi juga keputusan yang didasarkan pada data dan pengalaman.

 

Faktor Cuaca: Keputusan Naik atau Tidak Seharusnya Berdasarkan Keselamatan

 

Banyak kecelakaan terjadi karena cuaca buruk yang diabaikan. Angin kencang, badai, atau hujan deras bisa meningkatkan risiko hipotermia, longsor, dan kehilangan jalur. Dalam kondisi seperti ini, keputusan kolektif untuk menunda atau membatalkan pendakian seharusnya menjadi prosedur standar.

 

Di Carstensz sendiri, sudah ada kesepakatan umum bahwa pendakian dilakukan dini hari agar mencapai puncak pukul 9-12 siang, sebelum hujan deras yang biasanya turun sekitar pukul 13-14. Turun dari puncak lebih berat dan memakan waktu lebih lama dibanding naik, sehingga batas waktu pukul 14:00 harus dihormati. Jika pendaki belum mencapai puncak pada waktu tersebut, summit atau tidak summit, mereka harus turun.

 

Peran Guide: Berani Mengatakan “Tidak” Ketika Kondisi Tidak Aman

Seorang guide gunung yang baik bukanlah yang selalu membawa timnya ke puncak, tapi yang tahu kapan harus berkata “tidak” demi keselamatan. Namun, dalam praktiknya, banyak guide justru tertekan oleh tuntutan operator atau klien yang ingin memaksakan pendakian.

 

Di Indonesia, guide gunung tersertifikasi oleh Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI). Ini langkah maju, tetapi standar APGI masih berskala nasional dan belum spesifik untuk medan ekstrem seperti Carstensz. Bandingkan dengan:

 

Nepal, di mana guide Everest wajib memiliki sertifikasi penyelamatan di ketinggian dan navigasi cuaca ekstrem.

 

Eropa, di mana guide gunung tertinggi seperti Mont Blanc harus memiliki lisensi dari International Federation of Mountain Guides Associations (IFMGA).

 

 

APGI perlu mengembangkan sertifikasi khusus untuk medan teknis, dengan fokus pada:

1. Analisis cuaca berbasis data meteorologi real-time.

2. Simulasi penyelamatan di ketinggian ekstrem dan teknik evakuasi.

3. Navigasi dengan GPS dan teknik survival di kondisi cuaca buruk.

 

Jika standar ini tidak diterapkan, maka kita terus membiarkan guide tanpa keterampilan memadai menghadapi situasi darurat yang berisiko fatal.

 

Operator Pendakian: Harus Siap dengan Logistik Tambahan Jika Cuaca Buruk

Operator pendakian punya peran besar dalam memastikan keselamatan timnya. Jika cuaca buruk memaksa tim bertahan lebih lama, mereka harus siap mengirim logistik tambahan, bukan memaksa pendaki mengambil risiko.

 

Di gunung gunung besar seperti Everest, K2, dll operator top dunia selalu menyediakan:

1. Tenda cadangan dan stok oksigen untuk skenario darurat.

2. Sistem komunikasi satelit untuk update cuaca dan koordinasi evakuasi.

 

Peran Taman Nasional dan Pemerintah: Harus Ada Regulasi Ketat

Sebagai kawasan konservasi, Taman Nasional Lorentz seharusnya memiliki otoritas dalam menutup akses ke puncak saat cuaca ekstrem. Regulasi semacam ini diterapkan di banyak gunung dunia, termasuk di Jepang dan Amerika Serikat, di mana pendakian bisa ditutup jika risiko terlalu tinggi.

 

Selain itu, pemerintah perlu menyediakan fasilitas pendukung yang memadai. Carstensz adalah bagian dari Seven Summits Dunia, tetapi fasilitas keselamatannya masih sangat minim. Tidak ada shelter darurat, tidak ada sistem early warning untuk badai, dan minimnya titik evakuasi membuat penyelamatan sulit dilakukan.

 

Jika Indonesia ingin Carstensz tetap menjadi destinasi pendakian kelas dunia, standar keselamatannya harus setara dengan gunung-gunung elite lainnya.

 

Harus Ada Regulasi Tentang “Summit Fever”

Di dunia pendakian, ada istilah “summit fever”—ambisi berlebihan untuk mencapai puncak dengan mengabaikan risiko. Banyak kecelakaan terjadi karena pendaki memaksakan diri naik meskipun kondisi tubuh sudah lemah atau cuaca tidak mendukung.

 

Gunung Everest menerapkan sistem “turnaround time”—jika pendaki belum mencapai puncak pada batas waktu tertentu, mereka wajib turun, terlepas dari seberapa dekat mereka dengan puncak. Aturan serupa harus diterapkan di Carstensz. Operator atau guide yang melanggar aturan ini seharusnya dikenai sanksi.

 

Kesimpulan: Carstensz Harus Berbenah atau Kecelakaan Akan Terus Terjadi

Pendakian ke Carstensz bukan sekadar tantangan fisik bagi para pendaki, tetapi juga ujian bagi seluruh sistem yang mengelolanya. Jika standar keselamatan tidak segera ditingkatkan, maka kecelakaan akan terus berulang. Ini bukan soal “apakah” tragedi akan terjadi lagi, tapi hanya soal “kapan”.

 

Keselamatan harus lebih penting daripada bisnis. Operator, guide, dan pemerintah harus menjalankan regulasi ketat seperti yang diterapkan di gunung-gunung dunia lainnya. Jika tidak, maka Carstensz akan tetap menjadi gunung dengan risiko tinggi dan kehilangan daya tariknya sebagai salah satu puncak impian para pendaki dunia.

Pos terkait

banner 468x60