Seorang pemikir bijak pernah mengatakan bahwa demokrasi akan hidup ketika dicerna dengan baik. Ibarat makanan, demokrasi adalah buah yang perlu diproses di lambung, menghasilkan nutrisi yang baik bagi tubuh, dan membuang yang tidak diperlukan. Namun, kita perlu merenungkan apakah demokrasi yang tumbuh di Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru hingga era kini telah dicerna dengan baik, atau justru sebaliknya.
Rentetan peristiwa menuju Pilkada serentak 2024 memperlihatkan indikasi kuat bahwa demokrasi di Indonesia mengalami pembusukan sebelum sempat dicerna. Ini selaras dengan penurunan indeks demokrasi Indonesia di era rezim saat ini. Gonjang-ganjing Pilkada 2024 menawarkan sisi menarik untuk dikritisi. Di berbagai daerah, koalisi besar yang terbentuk tampaknya akan berhadapan dengan kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah. Memang, politik itu dinamis, tetapi kedinamisan itu seharusnya tetap memperhatikan etika politik yang ada. Ini mencerminkan ketidakberdayaan partai politik sebagai instrumen demokrasi.
Contoh nyata adalah peristiwa terbaru, di mana Ketua Umum Partai Golkar tiba-tiba mengundurkan diri dengan alasan transisi kepemimpinan bangsa. Namun, apakah ia benar-benar legowo? Kemungkinan besar tidak. Ada indikasi kuat adanya politik sandera dan tekanan besar yang memaksa pengunduran dirinya. Kemudian, ada pula putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memungkinkan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mengajukan calon kepala daerah meskipun tanpa kursi DPRD. Putusan ini dinilai baik untuk perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama untuk Pilkada 2024, karena memberikan kesempatan bagi calon kepala daerah yang kompeten untuk maju. Namun, sekali lagi kita disuguhkan dengan realitas pahit, di mana Baleg DPR RI berusaha menganulir putusan ini dengan proses cepat yang sarat dengan kepentingan kelompok tertentu. Kita kembali dipaksa menerima kepalsuan dalam berdemokrasi.
Situasi ini semakin melelahkan, terlebih setelah kita baru saja merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-79, sebuah seremonial belaka. Kata-kata Tan Malaka bahwa bangsa ini masih jauh dari merdeka seratus persen tampaknya benar adanya. Kartelisasi politik di kalangan elit sudah menjamur, menyebabkan demokrasi di Indonesia semakin busuk. Sampai kapan rakyat akan disuguhi kepalsuan dalam berdemokrasi? Sampai kapan kesejahteraan hanya menjadi milik para borjuasi dan para pemimpin bangsa ini?
Kita perlu mencapai pemahaman bersama, setidaknya untuk sadar bahwa bangsa ini tidak sedang baik-baik saja. Bangsa ini sedang digerogoti oleh anak bangsanya sendiri. Minimal, kita harus menyumbangkan pikiran reflektif bahwa jika situasi ini dibiarkan, tidak lama lagi bangsa ini hanya akan tinggal nama. Semoga pembaca tetap memiliki semangat patriotisme dan heroisme untuk Indonesia yang adil dan beradab.