No Bahlil, No Centil. Patut kita apresiasi bersama kinerja dari Bahlil Mentri investasi Republik Indonesia. Bagaimana tidak, ia berhasil menyatukan dua Organisasi Kemasyarakatan (ormas) Keagamaan yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua ormas ini walaupun sering berdebat perihal tahlil, nampaknya disatukan oleh Bahlil. Bahlil yang seorang Menteri dari daerah timur Indonesia berhasil dengan gaya kecentilannya untuk menyakinkan dan memainkan perannya dengan ciamik. Dua ormas keagamaan besar pun, terpikat menyatakan sikap sama-sama menerima ijin mengelola tambang dari Pemerintah. Patut mendapat plaus.
Sebelum kita kulik lebih mendalam perihal polemik ijin tambang pada ormas keagamaan. Kita ketahui terlebih dahulu dasar regulasi yang menjadi payung hukum kebijakan tersebut.
Dilansir dari berita di tempo.co, Presiden Joko Widodo meneken surat Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 76 Tahun 2024 pada 22 Juli 2024. Aturan ini memuluskan kewenangan Menteri Investasi memberi izin organisasi masyarakat keagamaan untuk mengelola tambang.
Salinan Perpres itu bisa dilihat di JDIH Kementerian Sekretariat Negara pada Selasa, 23 Juli 2024. Perpres Nomor 76 Tahun 2024 dibuat atas perubahan Perpres No. 70 Tahun 2023. Perpres ini juga mengakomodasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang terlebih dahulu diteken Jokowi. Detailnya lebih lanjut tertuang dalam pasal 83A PP Nomor 25 Tahun 2024. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) melalui penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan.
Isu ini perlu kita kritisi bersama. Mengapa? rasa-rasanya, pemberian izin tambang pada ormas keagamaan berpotensi lebih besar memberikan mudharat ketimbang manfaat. Jika dilihat dari fungsinya, rasanya ini lebih banyak mudharatnya.
Sejalan dengan buah pikir Ali Yafie, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia sekaligus ulama besar Nahdlatul Ulama, dalam bukunya “Merintis Fikih Lingkungan Hidup” yang terbit pada 2006, memasukkan isu perlindungan lingkungan hidup ke dalam maqashid syariah yang bersifat primer. Yang secara tekstual, arti maqashid ini adalah meminta manusia untuk melindungi kehidupan. Paradigma ulama asal Mesir yang sangat disegani, Yusuf Qardhawi, juga mengemukakan pendapat yang sama. Dalam kitabnya, “Ri’ayatul Bi’ah fi Syari’atil Islam” (memelihara lingkungan dalam Syari’at Islam) yang terbit pada 2001, disebutkan bahwa, menjaga lingkungan hidup sama dengan menjaga agama dan menjaga hal primer lainnya yang disebutkan dalam maqashid syariah.
Keputusan dua ormas besar ini juga berdampak pada siapa nantinya yang akan melindungi rakyat ketika daerahnya di tambang dan kemudian terjadi konflik. Misalnya di daerah Trenggalek. GP Ansor yang notabene merupakan badan otonom dari NU menyatakan sikap untuk menolak adanya tambang diwilayahnya. Jika ormas keagamaannya yang melakukan pertambangan. Pada siapa nanti rakyat berlindung.
Diberbagai daerah di Indonesia seringkali terjadi konflik akibat adanya tambang. Bahkan sampai menggunakan represifitas yang dilakukan oleh negara melalui alatnya yang bernama polisi. Misalnya yang terjadi di bumi Wadas, Pakel (Banyuwangi), Paseban (Jember) dan daerah-daerah lainnya. Bukan rahasia umum lagi, Ketika warga menolak tambang. Rakyat selalu menjadi korbannya.
Ada baiknya tulisan ini merupakan kritik keras penulis kepada negara. Dan penulis berasumsi ke Presiden melalui tangannya, Menteri Investasi. Mereka ini menggunakan sudut pandang Antroposentrisme (salah satu teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta). Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung. Cara pandang ini pada akhirnya akan memutus hubungan antara manusia dan alam.