Do’a yang Didengar Tuhan

Tersebutlah, seorang pemuda bernama Muslimin. Dia seorang lulusan pesantren. Di usianya yang baru 25 tahun, dia berkeinginan untuk segera menikah. Namun, hingga kini dia belum menemukan sosok yang bisa menerima dia apa adanya.

 

Sebenarnya, banyak perempuan di desanya yang dia kenal. Akan tetapi, cintanya selalu bertepuk sebelah tangan. Dalam kondisi itu, dia bertekad untuk mencari segala cara agar dia mempunyai citra positif di dusun di mana dia tinggal.

 

Kebetulan sekali, musholla depan rumahnya baru memasang pengeras suara, yakni speaker TOA. “Nah, ada peluang untuk memperbarui citra,” katanya dalam hati. Sejurus kemudian, dia menawarkan diri untuk menjadi seorang muadzin. Diterimalah dia.

 

“Menjadi muadzin pada Maghrib, Isya dan Subuh, bersediakah?” jawab pemilik musholla. “Boleh. Siang hari saya kerja,” jawab Muslimin menyanggupi.

 

Hari berlalu, kekosongan hampir tidak terjadi pada tiga waktu sholat tersebut. Dia disiplin, tiga kali dalam satu malam. Suaranya dia keraskan. Dia juga berlatih berbagai versi nada-nada adzan. Niatnya hanya satu agar tersiar sebagai sosok yang agamis.

 

Pernah satu ketika dia dipuji salah satu jamaah, “Suaranya mantap.” Karena rasa bangga melingkupi pikirannya dia pun menjawab, “Terima kasih pujiannya.”

 

Dia sadar bahwa pencapaiannya tersebut akan memudahkannya dalam mencapai keinginannya, yakni dia akan menikah dengan modal sebagai orang yang dekat dengan Tuhan. Tidak sulit mencapai mimpi ataupun cita-citanya. Siapapun perempuan di dusunnya pasti akan tertarik kepadanya. Itu keyakinan yang ada dalam benaknya.

 

Tersembunyi dalam dasar hatinya, dia ternyata sedang menginginkan seorang tetangganya. Rumahnya berjarak lima rumah dari kediamannya. Dia adalah anak gadis seorang mudin desanya.

 

“Tentu aku akan dengan mudahnya menaklukkan hatinya,” lamunnya. Lebih-lebih restu dari orang tuanya pasti dia peroleh. Dalam pikirannya, dia mencari sebuah cara agar terlihat lebih agamis dari perannya sebagai muadzin selama ini.

 

Ide seketika muncul di otaknya. Dia tersenyum. Hatinya berbunga-bunga membayangkan rencananya. Tersirat keberhasilan menaikkan citra dirinya. “Aha!” serunya.

 

Dia mulai mengambil ancang-ancang salah satunya dia menjaga agar tidurnya lebih awal. Sehingga, dia pun akan terjaga dini hari. Di sepertiga malam itulah dia nanti akan beraksi.

 

Benar. Ini merupakan kesempatan pertama dirinya menjalankan rencananya. Dia mulai melafalkan ayat demi ayat Al-Qur’an. Dengan suara TOA yang nyaring, suaranya diharapkan dapat menjangkau setiap warga di dusunnya, termasuk didengar oleh Pak Mudin dan keluarganya.

 

Setelah sholat subuh, beragam tanggapan atas perilakunya, “Aku tidak bisa nyenyak tidur atas karena suaramu!” “Calon Ustadz!” “Berapa aku harus membayarmu?” “Ingin mencapai hajat apa?”

 

Rutunitasnya ternyata berlangsung lama dan tidak ada hambatan. Dia bisa bangun lebih awal dan mengaji dengan lancar. TOA juga tidak ada kerusakan sama sekali.

 

Namun tiba-tiba rumahnya didatangi seorang tetangganya. “Mas Muslimin, bolehkan saya memberi masukan?”

 

“Ya, boleh Pak.”

 

“Saya mewakili beberapa tetangga, ya Mas. Kami merasa terganggu oleh suara keras tatkala Mas mengaji.”

 

“Bukankah berpahala, Pak?”

 

“Betul, Mas. Kami bisa memahami hal tersebut. tapi ada beberapa tetangga yang tidak bisa tidur karena kerasnya.”

 

“Lalu?”

 

“Ada juga yang sedang sakit, mempunyai bayi ataupun harus ibadah malam menginginkan suasana hening.”

 

“Saran dari tetangga bagaimana sebaiknya?”

 

“Sebaiknya mengaji tetap dilakukan, namun menggunakan pengeras dalam sehingga, suara tidak tersebar ke tetangga musholla.”

 

“Baik Pak. Mohon maaf ya Pak. Selama beberapa hari ini telah mengganggu rutinitasnya,” jawab Muslimin pasrah.

 

“Baik Mas. Kami hargai ibadahnya semoga berkah amalnya.”

 

Ada suatu ketidaknyamanan mengganjal hatinya. Perasaannya seolah hancur merasakan bagaimana bayi merengek-rengek karena mendengar suaranya. Bagaimana orang yang sakit tidak bisa lelap dan orang yang beribadah malam terganggu kekhusyu’annya.

 

Pikirannya menerawang antara harapan dan kenyataan. Harapan untuk mendapatkan seorang pujaan hati dan kenyataan, kini rencananya seolah harus hancur di tengah jalan. “Apakah tidak ada jalan lain, ya Tuhan?”

 

Dia menangis, hatinya teriris. Dalam perenungannya, dia bertekad untuk memperbaiki diri, memperbaiki akhlaknya. Niat tulus kepada Tuhan dan memperbaiki hubungan agar baik kepada sesama makhluknya.

 

Bahwa dengan tulus ikhlas tanpa pamrih, ibadah sekecil apapun pasti didengar oleh Tuhan. Tidak perlu ditunjukkan, Tuhan Maha Mendengar bahkan dari suara hati yang lirih sekalipun.

Pos terkait

banner 468x60