Dongeng dari Negeri Cinta Keluarga

Di sebuah negeri yang dikenal dengan kehangatan keluarganya, hiduplah seorang Raja yang sangat mencintai anak-anaknya. Sang Raja memiliki dua putra yang masih belia, namun ia yakin bahwa darah bangsawan yang mengalir dalam tubuh mereka sudah cukup untuk mengemban tugas besar: memimpin kerajaan. Tentu saja, rakyat pun harus menerima kenyataan bahwa dalam keluarga kerajaan, usia hanyalah angka.

 

Raja ini, yang sadar bahwa waktunya di takhta tak akan lama lagi, menyusun sebuah rencana penuh kasih sayang. Ia menamainya “Operasi Sayang Anak.”

 

Misinya sederhana, setidaknya menurut pandangan Raja: memastikan kedua putranya mendapatkan kekuasaan, meski umur mereka belum cukup dewasa menurut hukum kerajaan.

 

Operasi dimulai dengan si sulung, Pangeran Tua, yang terkenal dengan senyum manisnya yang mempesona para bangsawan istana. Meskipun usianya belum mencapai syarat yang ditetapkan untuk menjadi pemimpin, Raja tahu bahwa hukum bisa dipelintir seperti lilin di tangan seorang pengrajin. Maka, diadakanlah sebuah sidang istimewa. Para menteri, yang sudah lama menikmati kemurahan hati Raja, dengan cepat menyetujui usulan untuk menurunkan usia minimal pemimpin kerajaan—tentu saja, hanya untuk Pangeran Tua.

 

Ketika rakyat bertanya-tanya,

“Bagaimana mungkin pemimpin kita yang baru ini masih terlalu muda untuk memahami seluk-beluk kerajaan?”

para menteri segera menjawab dengan penuh keyakinan,

“Bukankah kita semua pernah muda? Dan siapa yang lebih layak memimpin selain putra mahkota yang dibesarkan dengan penuh kasih oleh Raja kita yang bijak?”

 

Dengan penuh suka cita, Pangeran Tua akhirnya naik takhta. Operasi Sayang Anak yang pertama berhasil gemilang. Namun, Raja masih punya satu tugas lagi: memastikan adik dari Pangeran Tua, Pangeran Muda, juga mendapatkan bagiannya sebelum Raja benar-benar pensiun dari urusan kerajaan.

 

Raja, yang selalu penuh ide, memulai fase kedua dari Operasi Sayang Anak. Kali ini, ia menyadari bahwa mengulang trik yang sama bisa menimbulkan kecurigaan. Jadi, ia memutuskan untuk membuat sedikit variasi. Dimulailah kampanye besar-besaran di seluruh negeri, menyatakan bahwa Pangeran Muda, meski usianya bahkan lebih belia dari kakaknya saat naik takhta, memiliki bakat alami yang luar biasa.

 

“Lihatlah cara dia berbicara,” kata para penasehat kerajaan,

“Meskipun masih muda, setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah kebijaksanaan yang mendalam.”

Rakyat, yang tadinya skeptis, mulai dibanjiri dengan cerita-cerita tentang kebijaksanaan Pangeran Muda, meski kebanyakan dari mereka belum pernah melihat atau mendengar langsung.

 

Untuk memastikan tidak ada yang bisa menghalangi langkahnya, Raja sekali lagi mengumpulkan para menteri dan menyarankan agar dibuat aturan baru: seorang calon pemimpin tidak harus mencapai usia dewasa jika ia adalah keturunan langsung dari raja yang masih berkuasa.

“Ini adalah langkah demi kelangsungan dinasti kita,” ujar Raja dengan penuh keyakinan.

 

Seperti yang sudah bisa diduga, aturan baru ini pun dengan cepat disetujui. Pangeran Muda, meski masih lebih sibuk dengan mainan-mainan kerajaan daripada urusan negara, dinyatakan siap untuk mengambil alih kekuasaan kapan saja diperlukan.

 

Rakyat, yang tadinya berbisik-bisik, kini mulai memahami bahwa “Operasi Sayang Anak” bukanlah sekadar nama. Ini adalah strategi yang luar biasa, penuh kasih sayang, untuk memastikan bahwa kerajaan tetap berada dalam tangan keluarga, tanpa perlu memikirkan hal-hal seperti pengalaman, kompetensi, atau kedewasaan.

 

Dengan kedua anaknya yang telah dipersiapkan untuk memimpin, Raja kini bisa beristirahat dengan tenang, yakin bahwa kerajaan akan tetap dalam genggaman keluarganya untuk generasi-generasi mendatang. Dan jika suatu saat nanti, rakyat merasa perlu memprotes, mereka akan segera diingatkan betapa pentingnya cinta keluarga dalam menjaga stabilitas negeri.

 

Sementara itu, di sudut-sudut istana, bisik-bisik mulai terdengar.

“Apakah ini benar-benar tentang cinta keluarga, atau hanya cara halus untuk melanggengkan kekuasaan?”

Namun, pertanyaan-pertanyaan itu segera dibungkam oleh gelombang propaganda yang menyatakan bahwa siapa lagi yang bisa memimpin negeri cinta keluarga ini selain keluarga kerajaan sendiri?

 

Dan begitulah, “Operasi Sayang Anak” menjadi dongeng manis yang diceritakan dari generasi ke generasi—bukan tentang keadilan, bukan tentang kebijaksanaan, tapi tentang bagaimana cinta keluarga bisa mengalahkan segala sesuatu, termasuk hukum dan demokrasi.

Pos terkait

banner 468x60