Kejadian es teh ini adalah puncak gunung es dari akumulasi kemarahan publik. Publik bergerak bersama-sama sebesar gelombang tsunami pada kasus yang terkait etika, moral dan adab, yang pada akhirnya membuat rezim ”harus” rela hati memberikan pernyataan di depan media dan Pak Miftah pasca Jum’atan 6 Desember 2024 mengumumkan pengunduran dirinya sebagai utusan khusus presiden. Sebuah fenomena baru di negara ini yaitu, pengunduran diri pejabat publik terkait masalah etika dan moral.
Saat ini, acuan tentang aparatur negara mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 yang berlaku tanggal 31 Oktober 2023 menggantikan UU no 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pada Pasal 1 ayat 15, berbicara tentang Merit Sistem. Merit sistem didefinisikan sebagai kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi. Keuntungan dari Sistem merit bagi instansi pemerintah adalah terciptanya lingkungan kerja yang kondusif, peningkatan kepuasan pegawai, dan terwujudnya budaya kerja yang berdasarkan pada prestasi dan integritas.
Kondisi kekinian, Pemerintah Presiden Prabowo mengadopsi sistem insentif unik dan tidak biasa. Padahal, sejatinya, sistem insentif adalah sebuah sistem yang dirancang untuk menyelaraskan tujuan personal di organisasi dengan tujuan organisasi. Telah banyak masukan yang diberikan pada Presiden terkait sistem insentif unik dan tidak biasa ini, karena berkelindan dengan struktur pelaporan dan kewenangan serta garis instruksional nya. Ada variabel pembinaan SDM, Gaji dan Insentif serta yang pasti implementasi sistem merit dengan memberikan imbalan tambahan atas kinerja yang luar biasa, organisasi (umumnya organisasi bisnis, bukan lembaga pemerintah biasanya ya) berharap dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih kompetitif dan berorientasi pada hasil.
Sistem insentif unik dan tidak biasa, memberikan peluang pada banyak orang yang kurang layak, kurang kredibel, kurang berintegritas, lalu dengan mudahnya menduduki jabatan tinggi, posisi yang strategis banget, memakan gaji dan insentif yang lumayan sangat besar, yang diperoleh dari hasil keringat pembayaran pajak seluruh masyarakat Indonesia, dengan tanpa memberikan value dan kontribusi yang seharusnya beyond dari apa yang telah mereka terima. Sikap arogan yang seolah untouchable ini menjadi bahan bakar berikutnya dari kemarahan publik. Belum lagi ada penyederhanaan dari barisan rezim, tentang menang-kalah, bahwa yang menang itu adalah pihak yang (selalu) benar dan yang kalah lebih baik diam dan menurut saja.
Jangankan berbicara tentang masukan dan kritikan. Bully dan intimidasi dari pihak yang menang karena merasa ada backing dari penguasa. Bahkan di UU no 20 tahun 2023 itu, pada pasal 4 seorang penyelenggara negara terikat dengan kode etik dan kode perilaku sebagai nilai dasar berperilaku. Ada tiga kasus yang berdekatan di bulan November akhir – Desember awal ini, yang membuat publik sontak memainkan jemari mereka, yaitu Pertama kasus pelajar SMA di Surabaya yang ”dipaksa” menggongong oleh seorang Bapak, yang terjadi kemudian melibatkan institusi kepolisian di tingkat Polrestabes dan Polda.
Kedua penembakan siswa SMK di Semarang yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Yang bikin geram publik adalah drama dan kebohongan yang dilakukan kesatuan ini, puncaknya Kapolres yang meminta maaf, tanpa terlihat ada tindakan hukum apapun pada orang-orang tersebut.
Ketiga, Pak Miftah yang merendahkan seorang tukang es di acara ”pengajian”, puncaknya reaksi keras dari PM Malaysia dan kemudian Sekretaris Kabinet menghubungi Pak Miftah agar memintah maaf. Selesai ? Tidak sama sekali. Publik terus mengulik tindakan dan ucapan Pak Miftah yang dilakukan di depan publik, yang merendahkan harkat martabat manusia, bahkan beberapa diantaranya tindakan dan ucapan merendahkan perempuan nyata-nyata dilakukan oleh Pak Miftah. Setelahnya melakukan pengulangan yang sama, seolah ini adalah hal yang benar dilakukan oleh seorang yang mengaku sebagai pemuka agama dan disaat yang sama, saat ini pak Miftah adalah seorang pejabat publik yang ditunjuk sebagai utusan khusus presiden oleh Bapak Presiden Prabowo. Kuatnya desakan publik, pada akhirnya membuat Pak Miftah mengumumkan mengundurkan diri dari jabatan publik yang disandangkan pada beliau.
Tangga untuk menduduki jabatan publik yang digaji dengan bersumber pendanaan dari APBN, pada kasus Pak Miftah, diduga tidak berdasarkan sistem merit, namun diduga berdasarkan kedekatan dan balas jasa. Bahkan ketika ada norma sosial yang dilanggar oleh yang bersangkutan, publik tidak melihat keseriusan Presiden memberikan sanksi. Termasuk dua kasus lainnya. Dalam ketiga kasus yang penulis contohkan diatas, hulunya adalah Reformasi Birokrasi yang mendapatkan tantangan sangat luar biasa dari internal pemerintahan sendiri, yaitu RESISTENSI TERHADAP PERUBAHAN DAN RENDAHNYA KOMITMEN DARI PIMPINAN untuk dapat menyelenggarakan reformasi birokrasi. Fungsi utama dari birokrasi adalah untuk memberi pelayanan kepada masyarakat.
Adapun tujuan dari reformasi birokrasi adalah terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dengan aparatur berintegritas tinggi, produktif, dan melayani secara prima dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik (Kemenko PMK). Selain itu, menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Dengan kata lain, reformasi birokrasi merupakan langkah strategis dalam membangun lembaga-lembaga negara yang lebih efisien dan sukses dalam menjalankan fungsi umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
Pertanyaannya kemudian: Bagaimana mewujudkan reformasi birokrasi yang dilakukan secara disiplin dan konsisten ? Mengapa daya tolak, resistensi perubahan itu sangat kuat terjadi? Bukankah ketika bersedia menjadi pejabat publik, maka segala yang melekat sebagai seorang pelayan publik harus bersedia diterima juga sebagai konsekuensi logis?
Variabel lainnya adalah, pejabat publik digaji dari pajak kita semua, artinya segala tindak tanduk pejabat publik itu, melibatkan kita semua. Kemarahan publik secara luas selama pekan ini memberikan isyarat yang sangat jelas bahwa penggunaan dana APBN yang bersumber, salah satunya dari pajak, memberikan konsekuensi logis agar pejabat publik melakukan pekerjaan birokrasi dengan lebih baik. Birokrasi dalam konteks politik berfungsi administratif, berfungsi artikulasi kepentingan publik, berfungsi stabilitor politik dan sekaligus berfungsi sebagai penasihat.
Sebagai pelayan masyarakat dan pengemban amanat politik lainnya, tidak seharusnya Pak Miftah merendahkan harkat dan martabat sesiapapun, menertawakan dan beberapa kondisi lain, bersikap patriarki dan merendahkan perempuan. Tidak diketahui apa kompetensi beliau sehingga diberi amanah sebagai utusan khusus. Lupakan etika, moral dan logisme, apatah lagi berdialektika tentang kesejahteraan, kemajuan dan kesadaran bersama serta pemberdayaan perempuan. Disinilah seharusnya, Presiden melalui Kemenko PMK mulai menerapkan sistem merit, karena bagaimanapun juga Menteri adalah jabatan politik yang sekaligus menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara (ayat 1 pasal 8).
Dari mundurnya Pak Miftah dari jabatannya sebagai pejabat publik, ada tiga hal penting yang bisa kita sorot, yaitu Pertama, tentang akuntabilitas publik, dimana sesuai amanat UU, Pejabat dan pegawai negeri harus selalu bertanggung jawab kepada rakyat, melayani mereka dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas, loyal pada negara dan bangsa, dan seluruh tindakannya (harusnya) efisiens; bertindak dengan patriotisme dan keadilan, serta menjalani kehidupan yang sederhana.
Kedua, ”mengedukasi” dan mendorong terus menerus agar tumbuh sebuah kesadaran pada pejabat publik dan ASN untuk tidak men-sakral-kan jabatan, apatah lagi sampai mengerahkan buzzer demi melindungi jabatannya.
Ketiga, budaya mengakui kesalahan, budaya malu karena telah melakukan kekeliruan dan kemudian mengundurkan diri dari jabatannya.
Oleh karena itu, sangat penting diingat, bahwa penyelenggaraan negara harus sesuai dengan nilai kerakyatan karena rakyat adalah elemen paling utama dalam negara. Negara yang tidak memiliki rakyat, tidak bisa dianggap negara karena penyelenggaraan negara pada hakikatnya adalah mengatur dan menangani seluruh urusan atau hal-hal yang berkaitan dengan rakyat.