Pendidikan merata dan berkualitas adalah impian dari semua orang, meskipun agak terdengar seperti lelucon karena realita di lapangan tidak sesuai dengan ekspektasi. Pendidikan seharusnya menjadi jalan bagi setiap individu untuk tumbuh, berkembang, dan memperbaiki taraf hidup. Akan tetapi, di tengah realitas hari ini, kualitas pendidikan yang seharusnya menjadi hak semua warga negara justru menjelma menjadi barang mewah yang sekan-akan terbatas, mahal, dan tidak selalu ramah bagi masyarakat kecil.
Dibalik jargon “merdeka belajar” dan proyek-proyek reformasi pendidikan, sistem pendidikan Indonesia hari ini seakan-akan tidak bisa lepas dari yang namanya kepentingan politik dan komersialisasi. Sekolah dan universitas berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikan, sementara ruang akademik dipenuhi oleh agenda politis dan pencitraan para kaum elite. Pendidikan diperlakukan layaknya barang atau komoditas yang dapat diperjualbelikan, bukan menjadi ruang pembebasan intelektual.
Sekolah atau universitas sekarang sudah berubah wujud bagaikan mall, dimana masyarakat kalangan bawah hanya bisa menggigit jari dan berkeliling melihat mall dibandingkan dengan orang kaya yang bisa memilih barang mana yang mau dibeli. Akibatnya, esensi pendidikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan mencerdaskan kehidupan bangsa secara perlahan hilang.
Pendidikan berkualitas sering kali hanya menjadi mimpi yang sukar untuk digapai. Biaya pendidikan yang tinggi memaksa banyak keluarga untuk mengambil pilihan pragmatis dengan menyekolahkan anaknya dengan sebatas kemampuan yang dimiliki, atau bahkan menghentikannya sama sekali mimpi belajar anaknya hanya demi bekerja. Contoh nyata sederhana yang sering terjadi bagi Masyarakat kelas bawah: seorang anak lulusan SMA bertekad ingin untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, akan tetapi karena keterbatasan biaya, orang tua menyuruh sang anak untuk lebih baik bekerja saja untuk menambah penghasilan keluarga daripada sekedar hanya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang nantinya akan menghabiskan banyak uang keluarga. akhirnya, anak tersebut harus merelakan keinginannya dan harus mengubur dalam-dalam impiannya tersebut. Contoh nyata lainnya adalah ketika terjadi kenaikan UKT yang terus melonjak, sehingga memaksa mahasiswa dari kalangan bawah terpaksa harus bekerja agar tetap bisa berada di bangku perkuliahan, sementara kampus sibuk berlomba-lomba membangun kualiats bangunan kampus sebaik mungkin demi tercapainya nilai akreditasi yang bagus tanpa melihat kondisi dari mahasiswanya. Di titik seperti ini, keadilan sosial dalam pendidikan menjadi pertanyaan serius, siapa yang benar-benar bisa menikmati pendidikan tinggi dengan layak dan seharusnya? Apakah pendidikan memang diperuntukkan untuk kalangan atas saja? Atau kaya dulu baru bisa merasakan pendidikan yang berkualitas?
Ruang akademik seolah sudah kehilangan marwah sebagai ruang pembebasan bagi kaum intelektual. Alih-alih sebagai tempat untuk menghasilkan segudang pemikir intelektual, ruang akademik kini menjadi ajang kontestasi bagi para elite politik sebagai tempat pencitraan. Jika pendidikan masih terus dibiarkan dan nantinya terseret oleh arus kapitalisme dan politik transaksional, maka jangan heran lagi apabila nanti kedepannya, anak-anak bangsa ini akan kehilangan kepercayaannya terhadap sekolah dan nantinya akan menyebabkan cita-cita bangsa ini untuk mencerdaskan kehidupan bangsa hanya akan tinggal slogan kosong belaka.
Sudah saatnya kita kembali menegaskan bahwa pendidikan adalah hak milik kita bersama, bukan arena kontestasi kekuasaan atau bahkan pasar bebas. Negara wajib hadir untuk memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, bisa mengakses pendidikan berkualitas tanpa diskriminasi ekonomi atau geografi. Kita butuh sistem pendidikan yang tidak hanya mengedepankan angka dan akreditasi, tetapi juga memanusiakan manusia, membebaskan akal, dan membuat harapan.