Semalam (03/05), kami bersama pengurus Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) memenuhi undangan dari Paguyuban Lita Arman Budoyo yang menggelar jaranan, reog, dan campursari di Desa Tisno Gambar, Kecamatan Bangsalsari Jember. Pertunjukan ini digelar untuk merayakan setahun berdirinya paguyuban tersebut.
Ketidakpedulian Negara
Sebelum pertunjukan dimulai, kami berbincang dengan Mas Zainul Anwar, Ketua Paguyuban, dan para seniman senior yang hadir. Ditemani manisnya pisang barlin dan harumnya kopi nangka, perbincangan kami mengalir bersama hangatnya suasana. Ruang tamu rumah Mas Zainul menjadi ruang publik kecil di mana kami saling sahut-menyahut menyampaikan pendapat terkait ketidakpedulian negara dan komitmen para seniman rakyat untuk terus memajukan kebudayaan.
“Sejak remaja saya masih ikut kelompok jaranan yang dikelola Lek hingga mendirikan paguyuban ini, tak ada sama sekali sekedar kunjungan dari pejabat terkait. Apalagi yang namanya dapat program atau anggaran, babar blas, nggak ada. Tapi, ya gimana, namanya kita ini senang, ya tetap berjuang,” tutur Mas Zainul yang diamini para seniman lain.
Pada era Jokowi Widodo hingga Prabowo Subianto, pemerintah pusat memiliki dana abadi Indonesiana yang salah satu peruntukannya untuk memfasilitasi aktivitas budaya, baik perorangan maupun lembaga/kelompok. Kementerian terkait dan Balai Pelestarian Kebudayaan memiliki wewenang untuk menyalurkan dana hibah.
Sayangnya, yang lebih banyak mendapatkan adalah lembaga atau perorangan yang bisa membuat proposal. Adapun mayoritas seniman rakyat atau kelompok seni di desa tidak merasakan dana fasilitasi tersebut. Mengapa? Ya karena mereka tidak bisa membuat proposal.
Memang, ada lembaga yang berhasil mendapatkan hibah fasilitasi pemajuan kebudayaan dari kementerian yang melibatkan seniman rakyat, tetapi apa yang mereka dapatkan biasanya hanya ongkos transportasi dan konsumsi untuk jasa pentas. Bukan program berkelanjutan seperti pendampingan yang bisa memungkinkan mereka mengakses hibah tersebut.
Tentu itu sangat disayangkan. Miliaran rupiah setiap tahun digelontorkan negara untuk memfasilitasi pemajuan kebudayaan tetapi lebih banyak dinikmati oleh para pemburu proyek dan kurang berdampak bagi perjuangan pemajuan kebudayaan yang sebenarnya. Sejatinya, kalau hibah tersebut bisa dirasakan oleh kelompok seni di desa-desa yang diberikan pendampingan, tentu akan sangat bermanfaat dan berdampak. Kita bisa membayangkan kalau di setiap kecamatan di Jember digelar even bersama yang melibatkan banyak seniman rakyat, tentu akan memunculkan ekosistem budaya yang mengalirkan semangat positif bagi pemajuan kebudayaan.
Maka, Kementerian Kebudayaan, Balai Pelestarian Kebudayaan, dan dinas terkait sudah seharusnya memikirkan sinergi untuk menghasilkan strategi pendampingan kepada kelompok seni di desa untuk bis membuat dan mengirim proposal. Jangan sampai peluang sudah dibuka lebar oleh kementerian, tetapi realitasnya banyak kelompok yang tidak mampu membuat proposal sehingga anggaran, lagi-lagi, hanya dinikmati para pemburu proyek kebudayaan. Kita perlu terus mengkritisi persoalan ini karena sampai sekarang kondisinya memang belum jauh berubah.
Kalau anggaran dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jember memang tidak perlu diharapkan. Dibandingkan dengan hibah yang diberikan untuk JFC, anggaran kebudayaan untuk seluruh Jember hanya ratusan juta. Bandingkan dengan JFC yang tahun ini mendapatkan 1,9 M. Sepertinya, pemimpin Jember dari era Hendy hingga Fawait kurang begitu memberikan penekanan kepada politik anggaran yang berpihak kepada pemajuan budaya Jemberan. Dampaknya, jumlah anggaran yang disiapkan sangat terbatas dan tidak ada program yang jelas-jelas didesain untuk menciptakan ekosistem budaya di tengah-tengah dinamika masyarakat.
Di zaman Bupati Faida, DeKaJe pernah mendesain rencana program Festival Berdesa bersama Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa yang salah satu tujuannya adalah untuk memfasilitasi upaya pengembangan aneka budaya lokal di tengah keterbatasan anggaran yang dimiliki Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Sayangnya, pemimpin Jember tidak merestui dengan alasan yang kurang jelas.
Ironisnya lagi, banyak pemerintah desa di Jember yang acuh tak acuh terhadap upaya konkrit untuk pemajuan kebudayaan. Padahal, desa semestinya menjadi penyangga utama keberlangaungan aneka kesenian rakyat dan ekspresi budaya lainnya. Bahkan, sekedar cipratan dari Dana Desa yang miliaran itu juga tidak pernah mereka dapatkan.
Rupa-rupanya, banyak pemerintah desa di Jember yang sepertinya tak peduli dengan UU Pemajuan Kebudayaan yang mestinya menjadi dasar untuk memberikan anggaran atau membuat program rutin di desa. Atau, jangan-jangan mereka memang tidak tahu ada UU tersebut?
Salah satu ketua paguyuban jaranan dan pencak silat di wilayah Bangsalsari pernah mengusulkan kepada kepala desa agar membuat even budaya tahunan untuk memeriahkan peringatan kemerdekaan RI. Semua paguyuban seni dikasih kesempatan untuk tampil. Tak perlu dibayar, cukup diberi konsumsi. Itupun si kepala desa tak peduli.
Artinya, ketidakpedulian tersebut bersifat cukup massif, dari pusat hingga desa. Selagi tidak ada upaya serius untuk memperbaiki situasi tersebut, bisa kita katakan bahwa “kita harus melestarikan budaya bangsa” hanya menjadi pemanis yang diharapkan meningkatkan nasionalisme rakyat.
Terus Bermain dan Memukau
Ditengah ketidakpedulian dan ketidakjelasan negara dalam mendorong lahirnya ekosistem budaya di level desa, para seniman jaranan yang mayoritas berusia muda, seperti yang bergabung di LITA ARMAN, terus berupaya eksis dengan membuka ruang-ruang bermain baru di tengah debu desa.
Para pengrawit dengan penuh semangat dan rasa gembira memainkan gamelan dan kendang. Para jathil laki-laki dan wanita bergantian menyuguhkan tari yang menyambut semilit angin dari kawasan Pegunungan Argopuro di sisi Utara. Para pemain cemeti menggelegarkan energi yang menyambut ratusan warga desa. Pembarong dadak merak dengan penuh cinta menghadirkan kasanah budaya Panaragan di bumi Madura, sebuah proses kultural yang asyik. Tidak lupa, para pelantun gending Banyuwangian dan campursari dengan pakaian Janger menembangkan lagu yang menarik minat para penyawer.
Meskipun bayaran yang diperoleh para seniman rakyat dalam setiap pertunjukan hanya cukup buat membeli rokok atau sabun, tetapi ada cinta yang melebihi materi di tengah hantaman peradaban pasar. Ketika para pelaku dunia hiburan dibayar mahal untuk setiap pementasan, para seniman desa hanya mendapatkan bayaran yang ‘pantas untuk ukuran mereka’ meskipun sangat tidak nyucuk, hanya sedikit, menurut cara pandang orang awam. Bahkan, di tengah pertunjukan tidak ada jarang ada pihak-pihak yang minta uang jasa keamanan sejumlah ratusan ribu. Sungguh menyesakkan dada.

Rasa seneng alias cinta menjadi jawaban dari para seniman muda yang ikut bermain jaranan. Kalau diukur dengan standar materi, tentu akan lebih baik mereka menikmati kopi atau cangkruk bersama kawan-kawan sebaya. Namun, keasyikan ketika mereka menari, bahkan seringkali trance, memunculkan kebahagiaan tersendiri yang memperkuat cinta mereka kepada jaranan. Cinta itu pula yang memperkuat solidaritas sehingga ketika ada pertunjukan kelompok lain, tanpa diundang pun mereka akan datang.
Ketika kaum remaja dan muda masih bersemangat untuk melakoni jaranan, regenerasi akan terus berjalan. Tentu ini menggembirakan karena soal regenerasi sering menjadi masalah serius yang bisa berdampak langsung kepada eksistensi kelompok kesenian di kawasan desa. Mungkin yang perlu diupayakan adalah memberikan pelatihan kepada para mereka terkait gerakan tari jaranan serta kemungkinan pengembangannya di Jember.
Bagi warga desa di Jember yang sudah terbiasa dengan pengajian dan sholawatan, nanggap jaranan memang tidak seramai pada era 1970-an hingga 2000-an awal. Namun, bukan berarti mereka sudah tidak menggemari adegan demi adegan jathilan, celengan dan reog serta gending campursari. Ratusan warga desa, tua, muda hingga anak-anak selalu memenuhi pertunjukan jaranan, termasuk yang dihadirkan oleh Paguyuban Lita Arman Budoyo.
Artinya, mereka masih terpukau oleh pesona jaranan. Bahkan, banyak di antara penonton yang memvideokan adegan demi adegan jaranan dengan kamera HP untuk kemudian di-unggah di YouTube, Facebook, dan Instagram. Masuknya kesadaran media baru di tengah-tengah warga desa mendorong mereka untuk menyebarluaskan keunikan budaya selain aktivitas sehari-hari lainnya. Setidaknya, selain pertunjukkan offline, penyebarluasan pertunjukan secara online juga bisa memperluas ruang bermain bagi para seniman rakyat.