Selama aktivitas jurnalisme saya di pers kampus, Que Sera Sera nyaris menjadi lagu utama yang menggema. Mendengar Que Sera Sera, saya merasa menjadi gadis kecil di pangkuan Ibu. Diikat rambutnya menjadi kepang dua; disulam dadanya seperti lapangan bola.
Layaknya Ibu lainnya, Ibu juga memberi nasihat, “Que sera sera whatever will be, will be”..
Dalam pembentukan selera musik, aktivitas sosial secara personal, menjadi bagian integral yang sukar dipisahkan. Musik bukan sekadar komoditas. Musik menjadi medium untuk merekam emosi. Atau pada sejarah kekerasan, musik dapat dijadikan untuk melihat masa transisi sosial dan politik. Sehingga, pada perjalanan yang penuh bunyi, berubahlah ia menjadi sangat intim dan subyektif.
Mula Jurnalisme Musik Indonesia
Semula, musik hanya sebagai agenda budaya. Setelah Orde Baru, musik tumbuh sebagai industri. Tulisan-tulisan musik pun turut masuk ke ruang riuh itu. Sederet majalah menghiasinya; membentuk prestise sekaligus selera. Dalam buku yang bertajuk Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya, Idhar Resmadi mengupasnya secara bernas dan lugas.
Sebelum Indonesia merdeka, pada 1940-an, muncul Soeara Nirom dan Swing. Kemudian pada 1950-1970an, ada Musika, Diskorina, Aktuil, Visita, dan Hai. Sementara pada 1990-1999an ada Citra Musik, Dangdut, MUMU, News Musik, dan Riplle. Dilanjutkan pada periode 2000an ada Trolley, Rock, MTV Trax dan Rolling Stone Indonesia.
Masing-masing majalah musik memiliki ideologi yang berbeda. Kemunculan Diskorina, menurut Idhar, mendorong perubahan budaya pada masa transisi Orde Lama menuju Orde Baru. Di mana pada masa Orde Lama, musik hanya sebatas apresiasi terhadap budaya. Khususnya pada kontestasi budaya Barat dan tradisional Indonesia.
Pada masa Orde Lama, Soekarno yang siap mengganyang budaya Barat, membuat musik Barat tidak mendapatkan ruang. Lahirnya majalah Aktuil pada masa Orde Baru, menjadikan musik Barat, khususnya rock, menjadi musik yang seolah merepresentasikan anak muda. Meminjam istilah Remy Sylado, awak redaktur Aktuil merupakan “propagandis rock Barat”.
Setelah reformasi, majalah Hai, Trax, dan Rolling Stone Indonesia mempunyai pengaruh yang besar pada jurnalisme musik Indonesia. Idhar berpendapat, ketiga majalah tersebut telah banyak memotret lanskap industri musik Indonesia. Kendati yang dimuat adalah musik mainstream, dengan sajian informasi yang menghibur dan ringan.
Pertarungan Kelas pada Musik
Kehadiran majalah-majalah tersebut juga memiliki agenda berbeda. Saat masa transisi Orde Lama ke Orde Baru, majalah Aktuil melakukan “pemBaratan”. Terbentuklah istilah “kampungan-gedongan”. Menurut idhar, kaum “kampungan” merujuk kepada mereka yang menyukai musik dangdut/melayu, dan kaum “gedongan” adalah mereka yang selera musiknya rock dan pop.
Melalui kontestasi dua kelas tersebut, Idhar berpendapat bahwa kuasa simbolis memiliki pengaruh dan peran yang besar. Terutama dalam membentuk selera kelas menengah. Pada ranah pertarungan kelas, golongan yang menyukai musik rock, bahkan direpresentasikan sebagai kaum yang berduit.
Sebaliknya, istilah kampungan yang melekat pada musik dangdut, Idhar menjelaskan bahwa mereka adalah kaum yang termarginalkan secara sosial. Dianggap sebagai kaum pemalas, pemabuk, suka berjudi, dan lainnya. Hal ini lantaran dangdut dianggap sebagai musik jalanan yang tidak seronok.
Pembentukan istilah tersebut, tidak lahir dari ruang hampa. Tetapi, muncul karena media massa juga turut membentuknya. Pada persoalan ini, akhirnya Idhar berada di titik kesimpulan, bahwa selera tidak hanya menyoal enak dan tidak enak. Tetapi juga dipengaruhi kepada interaksi sosial. Hal ini dimanifestasikan pada ulasan musik yang membentuk kuasa simbolis.
Ruang Gelap Kritikus Musik
Idhar Resmadi berpendapat, jurnalis musik atau penulis musik tumbuh layaknya seorang penggemar. Hal yang membedakan adalah jurnalis musik menyukai musik dengan mendalaminya, kemudian disebarkan melalui tulisannya di media massa. Sehingga, seperti halnya kritik budaya, jurnalisme musik menurut Idhar, adalah juga sebuah praktik menilai dan mengevaluasi.
Itulah yang membuat praktik jurnalisme musik berbeda dengan jurnalisme umum. Lantaran, yang menyajikan informasi pada jurnalisme musik adalah penulis atau kritikus musik.
Sementara pada jurnalisme umum adalah reporter. Informasi yang disajikan pun berbeda. Jurnalisme umum memuat informasi faktual, jurnalisme musik berorientasi pada penafsiran tekstual karya musik.
Tidak hanya itu, Idhar juga menekankan perbedaan antara jurnalisme musik dengan musikolog atau etnomusikolog. Kendati keduanya sama-sama menggali data mengenai musik, namun musikolog atau etnomusikolog cenderung menggali data empiris dari musik “etno” atau “tradisional”. Sedangkan jurnalisme musik, memiliki batas dan hanya di permukaan saja.
Tujuannya pun berbeda, musikolog atau etnomusikolog menunjukkan musik secara ilmiah. Dibuktikan dengan data empiris di lapangan. Sementara jurnalisme musik, terbatas pada fungsinya sebagai pusat informasi, kritik dan evaluasi karya musik. Pada praktiknya, jurnalisme musik masuk kepada jurnalisme spesialisasi. Lantaran memiliki struktur redaksi yang berbeda.
Produk yang disajikan oleh jurnalis musik, cenderung diracik dengan sangat subjektif. Penekanan tersebut, membuat jurnalis musik memiliki kedekatan dengan narasumber. Modal sosial dan modal kultural yang dimiliki jurnalis musik menjadi faktor kedekatan mereka. Tidak jarang, jurnalis musik juga merupakan bagian dari medan sosialnya.
Idhar pun menambahkan, produk jurnalisme musik tergantung pada medan sosial sekaligus wawasan sang penulis mengenai musik. Hematnya, jurnalis musik adalah perpanjangan tangan industri, yang berimplikasi membentuk selera. Misalnya pada edisi khusus “150 Lagu Terbaik Indonesia” yang dibuat oleh Rolling Stone Indonesia. Hal itu dapat membentuk prestise dan selera.
Selanjutnya, Idhar menegaskan bahwa jurnalisme musik adalah pilar penting dalam ekosistem industri musik. Khususnya dalam membangun apresiasi terhadap sebuah karya. Namun, sebagai kritikus karya bunyi, jurnalis musik mestinya bekerja di ruang gelap. Apresiasi hadir karena paduan mikrofon dan seperangkatnya yang seirama, bukan siapa saja pelakonnya.