Kampoeng Creative JFC yang (Ternyata) Belum Kreatif (?)

Mingggu, 21/05, matahari sore mulai tertutup mendung ketika saya menyusuri Kampoeng Creative Jember Fashion Carnival (KCJFC) Arjasa Jember. Beberapa anak dalam pengawasan orang tua bermain di lapangan. Beberapa remaja duduk santai di bagian depan sambil ber-selfie ria.

Kawasan ini awalnya merupakan ruang terbuka hijau (RTH) warisan rezim Faida-Muchit yang oleh rezim Hendy-Firjaun dipermak menjadi kawasan untuk menampung kreativitas seni, memperkenalkan budaya dan sejarah lokal, dan menumbuhkan ekonomi masyarakat.

Sambil melihat-lihat ogoh-ogoh hadiah dari Pemkab Jembrana Bali, saya bertanya kepada salah satu pedagang makanan di pinggir lapangan, apakah ada even kesenian yang diselenggarakan secara rutin di KCJFC?

Dengan lugas lelaki paruh baya tersebut menjawab, “Belum ada even sama sekali, Mas. Ya, cuma anak-anak bermain dan para remaja selfa-selfie.” Mendengar jawaban itu, saya pun segera berselancar di Google untuk mencari informasi terkait launching KCJFC dan berita-berita lain yang berkaitan dengan kawasan ini.

Keinginan Ideal Pemkab Jember dan Manajemen JFC

Berdasarkan telaah terhadap berita-berita tersebut, setidaknya, saya mendapatkan dua perspektif terkait KCJFC, yakni perspektif Bupati Hendy mewakili Pemkab Jember dan perspektif manajemen JFC (Jember Fashion Carnival). Kedua perspektif tersebut bisa dikatakan saling melengkapi.

Dalam pandangan Bupati Hendy, kehadiran kampoeng creative ini memiliki beberapa nilai dan manfaat strategis bagi Pemkab dan masyarakat Jember.

Pertama, selain sebagai destinasi wisata, KCJFC merupakan pintu masuk menuju berbagai destinasi wisata di Jember, sehingga diharapkan bisa berkontribusi pada pertumbuhan usaha pariwisata dan peningkatan ekonomi warga.

Tentu, apa yang dimaksudkan adalah wisatawan yang datang ke Jember melalui jalur utara, dari arah Bondowoso – Situbondo – Besuki. Dengan adanya kampoeng creative di Arjasa, diharapkan wisatawan akan mendapatkan banyak informasi dan layanan terkait potensi wisata Jember serta ragam kesenian dan budaya lokal, termasuk peninggalan purbakala yang melimpah.

Kedua, KCJFC menjadi wadah kolaborasi kesenian, sejarah, budaya, dan pariwisata. Dalam hal ini, keterkenalan JFC di lingkup regional, nasional, maupun internasional dimanfaatkan untuk memperkenalkan potensi sejarah, kesenian, budaya, dan potensi agar menarik kehadiran wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara.

Di kawasan Arjasa kita bisa menemukan beberapa situs yang cukup berharga karena menegaskan posisi Jember sebagai kawasan yang sejak masa purbakala sudah berpenghuni. Selain itu, kawasan Arjasa dan sekitarnya memiliki kekayaan dan keunikan kesenian seperti ta’buta’an (semacam ondel-ondel), jaranan, hadrah, dan yang lain. Belum lagi kawasan Jember yang lain, di mana ragam kesenian dan ekspresi budaya berbasis etnis masih berkembang.

Di sini juga terdapat pokdarwis yang mengawal pengembangan wisata berbasis situs, keindahan alam, dan budaya. Pemdes Arjasa juga sudah membuat bumdes berupa kolam renang dengan tiket masuk murah. Selain itu, Desa Arjasa juga mendapatkan piagam penghargaan sebagai Desa Wisata Adat Binaan Kemenparekraf dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia 2023.

Ketiga, KCJFC akan menjadi pusat bagi UMKM dengan produk unggulan tertentu untuk memamerkan dan menjual produknya. Dengan demikian, UMKM akan mendapatkan manfaat ekonomi dari keberadaan fasilitas dan atraksi di kampoeng creative. Tentu, harapan itu bisa diwujudkan ketika di tempat ini berlangsung kegiatan rutin yang menghadirkan wisatawan dan warga masyarakat.

Dari semua yang diinginkan oleh Bupati Hendy bisa dikatakan bahwa Pemkab Jember berusaha mengekor ketenaran JFC di ranah nasional dan internasional. Tentu itu tidak menjadi masalah, karena manajemen JFC sendiri juga membutuhkan dukungan dan fasilitasi dari Pemkab Jember untuk menyukseskan agenda tahunan mereka.

Apalagi, keinginan ideal Bupati Hendy ternyata berjalin-kelindan dengan apa yang dicita-citakan (alm) Dynand Fariz, founder JFC, yakni menjadikan Jember kota destinasi wisata karnaval dunia yang berkelanjutan, tidak hanya berhenti pada karnaval tahunan saja.

Menurut Budi Setiawan, manajer JFC, kampoeng creative ini akan menjadi titik nol untuk membangun Jember dalam konteks pemberdayaan sosial, sehingga kegiatan yang akan dilaksanakan nantinya akan banyak berinteraksi dengan masyarakat.

Untuk itu, manajemen JFC tidak hanya membuat kegiatan, tetapi membangun ekosistem yang melibatkan seniman, budayawan, masyarakat, dan organisasi perangkat daerah (OPD) untuk mewujudkan sinergi dan kolaborasi demi mewujudkan kota Jember sebagai destinasi wisata berkelanjutan.

Dengan demikian, KCJFC akan menjadi wadah kolaborasi untuk mengenalkan sejarah, budaya, ragam potensi wisata, dan kota karnaval kepada anak-anak, masyarakat luas, dan, bahkan, wisatawan, baik dari Nusantara maupun mancanegara.

Untuk mendukung tujuan tersebut, KCJFC menawarkan beberapa item yang cukup menarik. Pertama, Museum Jember Ekspos yang akan men-display dan memperkenalkan Jember secara utuh, dimulai dari sejarahnya. Di museum, pengunjung mendapatkan banyak informasi terkait seluk beluk sejarah, budaya, dan peradaban Jember dari masa lalu hingga masa kini.

Kedua, menyediakan pusat galeri informasi dan edukasi tentang JFC secara menyeluruh, seperti perjalanannya selama dua dasa warsa terakhir, penghargaan nasional dan internasional yang diraih, dan obituari Dynand Fariz yang berisi tentang perjuangannya dalam membesarkan karnaval fashion ini ke tingkat nasional dan internasional.

Ketiga, manajemen JFC akan melakukan pelatihan industri kreatif dan penampilan kolaboratif. Ini tentu sangat penting, karena pelatihan akan memberikan bekal kepada para peserta terkait bagaimana terlibat dalam aktivitas fashion carnival, tidak hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku, baik desainer kostum maupun model.

Untuk mewujudkannya, manajemen JFC akan bekerjasama dengan sekolah-sekolah di Jember melalui platform merdeka belajar yang digalakkan oleh pemerintah. Harapannya, para siswa bisa mendapatkan pengetahuan dan soft skill untuk meningkatkan kapasitas kreatif mereka.

Melihat Realitas 

Sebagai keinginan ideal, semua yang dilontarkan Bupati Hendy dan manajemen JFC tentu sah-sah saja. Apa-apa yang mereka sampaikan memang sangat manis ketika disebarluaskan oleh media sebagai wacana publik. Menjadi wajar kalau banyak warga yang menantikan realisasi apa-apa yang mereka ucapkan.

Memang, saat ini KCJFC mulai ramai dikunjungi warga yang ingin menemani anak-anak mereka bermain dan para remaja yang ingin bersantai dan ber-selfie dengan teman ataupun kekasih. Para pedagang makanan dan minuman pun mengais rezeki dari kehadiran mereka.

Sayangnya, keinginan ideal yang disampaikan Bupati Hendy dan manajemen JFC belum terlaksana (untuk tidak mengatakan “tidak terlaksana”). Museum untuk sejarah Jember dan galeri tentang perjalanan JFC belum dibuat. Demikian juga janji untuk melakukan kegiatan rutin yang melibatkan pelajar dan para seniman belum dilaksanakan. Pusat UMKM yang menghadirkan produk-produk unggulan juga belum ada.

Realitas ini tentu menyisakan pertanyaan. Saya tentu tidak dalam kapasitas untuk menjawab dan menjelaskan apa yang menyebabkan item dan kegiatan sebagaimana disebarluaskan melalui media belum bisa diwujudkan. Namun demikian, saya dan, bisa jadi, banyak warga Jember lainnya, bisa mengembangkan pertanyaan kritis terkait realitas belum adanya kegiatan rutin di KCJFC.

Pertama, apakah antara Pemkab Jember atau Disparbud belum ada koordinasi secara matang dan komprehensif dengan manajemen JFC terkait kegiatan-kegiatan akan diselenggarakan di KCJFC?

Kalau memang sudah ada diskusi menyeluruh terkait tanggung jawab masing-masing pihak, pendanaan, mekanisme kerja, pihak-pihak yang terlibat, satuan tugas atau kepanitiaan, dan tetek-bengek lainnya, tentu begitu di-launching pada bulan Maret, sudah ada kegiatan atau, setidaknya, jadwal kegiatan yang akan dilakukan.

Belum adanya kegiatan atau jadwal kegiatan bisa memunculkan tanda tanya besar di benak masyarakat. Jangan-jangan, masih ada masalah yang belum clear antara Disparbud dengan manajemen JFC, sehingga masing-masing pihak masih enggan atau, bahkan, belum tahu apa yang mesti dilakukan.

Kalau memang demikian, tentu ini menunjukkan kekurangseriusan untuk memikirkan keberlanjutan aktivitas di KCJFC pasca launching. Mungkin ada yang beralasan, “kan masih sekira dua bulan diresmikan, jadi wajar kalau belum ada kegiatan” atau “manajemen JFC dan Disparbud sedang banyak kegiatan, hadi harap maklum.”

Alasan itu sah-sah saja dilontarkan. Namun, waktu dua bulan semestinya bisa dimanfaatkan secara baik, setidaknya, untuk mendesain jadwal kegiatan atau membuat kegiatan awal setelah peresmian, ketika masing-masing pihak memang sudah memiliki kesepahaman siapa mengerjakan apa.

Kita tahu, manajemen JFC adalah kumpulan orang-orang hebat dalam mendesain acara berskala nasional dan internasional yang menjadi rujukan banyak pihak di Indonesia. Urusan mendesain kegiatan di tingkat lokal bukan sesuatu yang sulit. Kecuali, memang ada masalah yang bersifat birokratis yang sulit bisa diatasi.

Pertanyaan kedua, apakah mungkin Disparbud dan manajemen JFC masih belum bisa merangkul para pelaku budaya, pariwisata, dan UMKM serta pihak sekolah di kawasan Arjasa dan sekitarnya? Sebagaimana dijanjikan, KCJFC akan menjadi ruang kolaboratif untuk melakukan banyak aktivitas budaya dan pariwisata, tempat edukasi kreatif, dan wahana bagi UMKM.

Kalau memang mereka sudah merangkul para pelaku dan pihak sekolah, tentu tidak sulit untuk mendesain kegiatan budaya, pariwisata, dan edukasi secara berkala. Meskipun masih berupa jadwal atau gambaran kegiatan yang akan dilakukan secara jelas, publik akan senang karena ada kejelasan yang diberikan pengelola.

Yang menyedihkan adalah kalau para pelaku budaya dan wisata tidak dirangkul, baik oleh Disparbud maupun manajemen JFC. Sebuah informasi saya dapatkan dari penggerak wisata di kawasan Arjasa bahwa ia dan pokdarwis tidak dilibatkan dalam KCJFC, sehingga mereka lebih memilih tidak menghiraukan apa-apa yang terjadi dan terus bekerja untuk membesarkan kegiatan pariwisata di wilayahnya.

Kalau informasi tersebut benar, maka sangat disayangkan. Trend yang berkembang saat ini adalah pariwisata berbasis komunitas (community-based-tourism) di mana para pelaku dan warga masyarakat diharapkan menjadi subjek dari pertumbuhan pariwisata sehingga mereka bisa mendapatkan manfaat ekonomi, kultural, dan lingkungan.

Meskipun demikian, kondisi tersebut sejatinya tidak perlu terjadi ketika Disparbud dan manajemen JFC sudah menemukan kesepahaman untuk mengelola KCJFC. Ketika mereka sudah satu visi, merangkul para pelaku budaya dan pariwisata serta pihak sekolah tentu bukan hal yang sulit.

Sebagai warga Jember, saya masih berharap agar KCJFC tetap bisa dikembangkan sebagai kawasan kreatif untuk meningkatkan sektor wisata dan budaya yang bisa berdampak signifikan bagi pelaku budaya dan masyarakat. Jangan sampai KCJFC mengikuti kegagalam program lain yang begitu ramai di media, tetapi tidak ada realisasinya, seperti wisata aviasi.

Sudah saatnya Bupati Hendy dan Disparbud memikirkan program yang benar-benar didasarkan atas kajian dan kebutuhan masyarakat untuk pengembangan budaya dan pariwisata. Sudah bukan zamannya lagi menjalankan program yang bersifat reaksioner, tanpa kajian mendalam. Jangan sampai terkesan, bahwa Bupati Hendy dan Disparbud hanya bisa membuat program, tanpa bisa mengeksekusi dengan benar.

Oh iya, kalau ingin terlihat keren dengan menggunakan istilah bahasa Inggris, alangkah baiknya melihat kaidah yang benar. Mestinya yang benar adalah “Creative Kampong” bukan Kampoeng Creative. Jangan sampai muncul kesan, “lha wong namanya saja sudah salah kaprah, ya wajar kalau kegiatannya tidak jelas, alias salbut.”

Kalau sampai KCJFC ini mangkrak, sungguh sangat disayangkan. Bukan semata-mata karena sudah menggunakan dana APBD dalam penyiapannya. Lebih dari itu, nama baik manjemen JFC yang selama dua dekade berjuang mengembangkan Jember sebagai kota karnaval fashion juga akan menjadi sorotan. Tentu itu bukan hal yang baik bagi manajemen JFC.

Pos terkait

banner 468x60