Karya Sastra dan Gairah Film Adaptasi di Indonesia

Ketika saya sering menyusuri deretan kios-kios buku beberapa kota di Jawa Timur, seperti Surabaya dan Malang beberapa tahun silam, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka tak mudah didapatkan. Pemburu buku yang beruntung mungkin bisa menemukan cetakan lama novel ini di antara tumpukan buku-buku bekas penuh debu. Pembaca sastra dari kalangan remaja, yang akrab dengan nama Andrea Hirata, Dewi Lestari, Hanum Rais dan pengarang ternama mutakhir lainnya, juga tak banyak mengenal sosok Buya Hamka.

 

Ketika film adaptasi novel Buya Hamka tersebut diputar di bioskop-bioskop novel karya Hamka mendadak mudah ditemukan di kios-kios buku. Banyak yang ingin meraup keuntungan dengan mengedarkan novel tersebut. Sambutan yang luar biasa bergairah dari penonton terhadap film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck membuat novel yang pertama kali muncul sebagai cerita bersambung di majalah Pedoman Masyarakat Medan pada tahun 1938 ini, menjadi dikenal. Balai Pustaka yang pertama kali menerbitkan novel ini tahun 1951, pada tahun 2014 menerbitkannya kembali setelah adaptasi filmnya beredar.
Produser dan sineas menyadari nama besar Buya Hamka dan kekuatan cerita novel karya Hamka akan mendongkrak penjualan film. Film-film adaptasi telah berkonstribusi dalam membangkitkan gairah film Indonesia. Faktor ekonomi (komersialisasi) dengan demikian menjadi salah satu alasan kuat melakukan adaptasi, selain alasan ideologis, kultural dan agenda politik. Adaptasi karya sastra ke layar lebar sudah sejak lama dilakukan. Ketika teknologi yang digunakan dalam pembuatan film hanya bisa menghasilkan gambar bergerak berwarna hitam dan putih, karya-karya sastra sudah ditransformasikan ke film dan sinetron dan mendapat apresiasi khalayak luas. Novel terbitan balai pustaka lainnya, Siti Nurbaya (terbit pertama tahun 1922), diadaptasi alam Sinetron Seri di TVRI tahun 1991 dengan dibintangi Gusti Randa dan Novia Kolopaking.

Masyarakat sastra Indonesia tentunya, terlepas dari faktor komersil dan pasar, bisa saja menanti film adapatasi dari novel-novel berpengaruh yang ditulis oleh sastrawan Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, Kuntowijoyo, Budi Darma, selain yang ditulis oleh Buya Hamka. Apalagi sudah terlalu banyak film-film adaptasi dari novel berlatar mancanegara dan buku serupa catatan perjalanan (99 di Langit Eropa, Assalamualaikum Beijing, Negeri 3 Menara, 9 summers 10 autumns, dsb) yang diadaptasi karena popularitas karya-karya ini di pasar.

Ketika menonton film adaptasi dari karya sastra, penonton kadangkala kecewa karena harapan atas kesesuaian dan keaslian dari novel tidak seratus persen didapatkan. Hal inilah yang juga terjadi dalam film adaptasi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Pada konteks ini, Huetcheon menegaskan bahwa ketidaksuksesan sebuah film adaptasi bukan terletak pada ketidaksamaannya dengan teks yang diadaptasi tetapi lebih pada miskinnya kreativitas dan ketrampilan untuk menangkap keutuhan tuh teks tersebut (2006:20). Penambahan, pengurangan, penghapusan, dan penyesuaian atas bahan-bahan baku dari novel yang diadaptasi disesuaikan dengan segmentasi pasar yang dibidik. Pada tataran ini, konfrontasi antara aspek idealisme dan ekonomis sangat potensial terjadi.

Novel Tenggelamnya Kapal Van Den Wijck merupakan novel yang sangat menarik karena menceritakan konflik dalam masyarakat multikultural dan juga pengaruh budaya barat, khususnya, Belanda pada budaya Indonesia. Novel ini diadaptasi ke dalam film dengan mempertahankan banyak bagian novelnya dengan beberapa kreatifitas. Pembuka dalam film yang menggambarkan pertemuan awal Hayati, gadis Minangkabau, yang sedang naik Delman dengan Zainudin, lelaki berdarah Bugis dan Minang, di pematang sawah jelas berbeda dengan bab awal dalam novel. Ini kreasi yang mengesankan upaya membangun lanskap romantis sejak permulaan film. Adegan dramatis romantis di akhir sebagaimana dinarasikan Hamka dalam novel, yaitu ketika Hayati dan Zainudin bertemu terakhir kali di rumah sakit juga ditunjukkan dalam film. Dalam film zainudin mencium Hayati yang meninggalkannya untuk selamanya. Di bagian akhir novel Hamka menuliskan,” dia (zainudin) meniarap laksana budak mencium tangan penghulunya (Hayati) beberapa saat lamanya, tidak dia bergerak dan tidak melengong kiri kanan, kemudian dibarutnya kening mayat itu sekali lagi, dan diciumnya bibir yang telah pucat itu”Lanskap romantis inilah yang tertanam dalam penonton terutama muda-mudi yang mengagungkan film-film percintaan.

Upaya Sunil Soraya untuk menangkap ruh kultural Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck misalnya terlihat dari upaya melakukan adaptasi bahasa yang digunakan dalam novel ini. Puitika kata-kata berbasis dialek minangkabau sebagai medium komunikasi tokoh dipertahankan oleh Sunil Soraya dengan misalnya tetap menghadirkan surat-surat puitis yang ditulis oleh tokoh Zainudin dan Hayati. Dialek dan logat yang digunakan dalam percakapan-percakapan tokoh memperkuat identitas budaya yang mengakar di latar novel yang ditulis Hamka ini. Meskipun Pevita Pierce dan Herjunot Ali tidak menguasai dialek Minang, namun keduanya berlatih untuk bisa menggunakan bahasa tersebut dengan baik. Ada tutor bahasa yang telah disiapkan untuk melatih mereka berdua. Proses teknis pelatihan ini merupakan proses yang tak bisa dipisahkan dari upaya untuk menghadirkan atmosfer kultural yang kental.

Dalam aspek busana, meskipun Hamka tidak memberikan informasi mengenai busana apa yang dikenakan Zainudin pada saat ia bertemu dengan Hayati pertama kali, Sunil membangun kesan religius pada sosok Zainudin melalui busana yang ia kenakan. Zainudin mengenakan baju lengan panjang mirip baju koko dan juga mengenakan sarung. Di awal novel Hamka juga tidak mendeskripsikan secara detail sosok Hayati sebagai gadis minangkabau yang rajin menggaji melalui deskripsi busana yang dikenakan. Ketika Hayati bertemu Zainudin sepulang dari ia mengaji bersama teman-teman perempuannya, Hayati mengenakan kerudung, berbeda dengan tokoh-tokoh lain dalam novel yang terpengaruh budaya Belanda.

Sementara kuasa matrilineal Minangkabau yang ingin dikritisi Hamka juga terepresentasikan dalam film. Zainudin yang terlahir dari seorang ibu Bugis Makasar dan ayah asli Minangkabau Padang, tidak mendapat penerimaan yang baik di Minang. Bahkan Zainudin menegaskan masyarakat Minangkabau tidak menerimanya sehingga ia merasa teralineasi. Dalam novel Hamka menuliskan kegelisahan Zainudin dan ini juga dinarasikan dalam film: “Sebab di negeri Mengkasar Sendiri saya dipandang sebagai orang Padang, bukan asli Bugis atau Mengkasar. Sebab itu di sana saya rasa senantiasa dalam kesepian. Sekarang saya datang kemari, Hayati. Tak Ubahnya dengan seorang musafir di tengah gurun yang luas keputusan air; tiap-tiap langkah dilangkahkannya tampak juga olehnya danau yang luas di mukanya. Demi, setelah sampai kepada yang kelihatan itu, danau itu hilanglah, berganti dengan pasir semata-mata, kering dan panas!”Kontestasi dan dialektika Minangkabau dan Bugis yang melahirkan masalah kultural dan potret diskriminasi dari kuasa suatu etnis serta keyakinan atas garis keturunan turut mewarnai film adaptasi garapan Sunil Soraya ini.

Sebagian penonton film yang memang belum pernah mengenal Hamka dan membaca novelnya ini, mungkin saja penasaran dengan novelnya. Kemudian mereka berusaha melacak novel di kios atau toko buku dan membaca secara tuntas dari awal sampai akhir sehingga bisa menyelami baik novel dan filmnya. Novel-novel yang mengusung nilai-nilai universal, memang tak akan pernah lekang oleh waktu, sehingga menarik sineas untuk menfilmkannya.

 

 

Penulis : Yusri Fajar (Sastrawan Dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya)

 

Pos terkait

banner 468x60