Lumajang di Ambang Bahaya: Premanisme Mengancam Pilkada 2024

Beberapa minggu lagi, tepatnya pada 27-29 Agustus 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lumajang akan resmi membuka pendaftaran calon Bupati dan Wakil Bupati Lumajang. Kabar di tengah masyarakat Lumajang menyebutkan bahwa Pilkada kali ini kemungkinan besar hanya akan diikuti oleh dua calon kuat: Cak Thoriq, mantan Bupati Lumajang dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Bunda Indah, mantan Wakil Bupati Lumajang dari Partai Gerindra.

 

Kedua tokoh ini memiliki basis massa yang cukup seimbang. Cak Thoriq mendapat dukungan kuat dari simpatisan Nahdlatul Ulama (NU) baik secara kultural maupun struktural. Di sisi lain, Bunda Indah sebagai Ketua DPC Gerindra Lumajang yang berhasil memenangkan Pemilu 2024, mendapat dukungan dari kalangan Muhammadiyah dan Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Kondisi ini membuat Pilkada Lumajang 2024 menjadi ajang kompetisi yang sangat menarik untuk diamati.

 

Namun, di balik persaingan politik ini, ada sebuah masalah yang lebih mendalam dan mengkhawatirkan. Kabupaten Lumajang kini menempati peringkat kedua sebagai daerah paling rawan dalam Pilkada 2024 di Jawa Timur, setelah Kabupaten Sampang. Hal ini menjadi perhatian serius, terutama bagi masyarakat yang berharap proses Pilkada di Lumajang dapat berlangsung aman dan damai.

 

Menurut Kasatgas Preemtif Operasi Nusantara Cooling System (NCS) 2024 Polda Jatim, tingginya tingkat kerawanan di Lumajang disebabkan oleh maraknya praktik premanisme yang kerap digunakan oleh peserta Pilkada. Di Lumajang, fenomena premanisme bukanlah hal baru. Mulai dari aksi begal, pencurian, hingga intimidasi dalam aktivitas tambang pasir telah lama menjadi bagian dari realitas suram kota ini.

 

Kondisi ini semakin memprihatinkan ketika praktik premanisme juga merambah ke ranah politik. Beberapa waktu lalu, terjadi insiden penembakan di rumah salah satu relawan Cak Thoriq yang hingga kini belum terungkap pelakunya. Di sisi lain, rumah relawan Bunda Indah juga menjadi sasaran teror bom ikan. Kedua insiden ini belum menemukan titik terang, tetapi mengisyaratkan betapa tingginya tingkat ancaman dalam Pilkada Lumajang kali ini.

 

Jika kondisi ini terus dibiarkan, Pilkada Lumajang 2024 bisa berubah menjadi ajang yang menakutkan. Bayangkan, kedua calon yang ada sudah memiliki dukungan kuat dari kelompok premanisme, ditambah dengan dukungan ormas besar di belakang mereka. Polarisasi masyarakat Lumajang sangat mungkin terjadi, mengingat adanya potensi konflik horizontal yang dipicu oleh perbedaan pilihan politik.

 

Untuk mencegah situasi yang lebih buruk, perlu ada langkah konkret dari berbagai elemen masyarakat. Akademisi, kyai, jajaran birokrasi, dan legislatif harus bersatu padu memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi. Di era post-modernisme ini, dimana kemajuan teknologi dan media sosial sangat mempengaruhi persepsi publik, masyarakat perlu diajarkan untuk lebih kritis dalam menyikapi informasi yang beredar, terutama dalam membedakan antara berita yang valid dan hoax.

 

Perbedaan pilihan politik adalah hal yang wajar dalam sebuah kompetisi. Namun, politik yang dimaknai sebagai alat untuk menghancurkan lawan adalah bentuk kebodohan yang jauh dari idealisme politik sebagai jalan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Inilah yang seharusnya menjadi pemahaman bersama, terutama bagi para calon bupati Lumajang.

 

Pada akhirnya, kita harus merenungkan bersama: pemimpin seperti apa yang kita harapkan untuk membangun Lumajang ke depan jika cara-cara yang digunakan untuk meraih kekuasaan masih bobrok dari segi etika politik dan moralitas? Jawaban atas pertanyaan ini akan sangat menentukan masa depan Lumajang, bukan hanya dalam Pilkada 2024, tetapi juga untuk generasi mendatang.

 

 

Pos terkait

banner 468x60