MBG Program Pemenuhan Gizi atau Pemenuhan Janji

Program MBG yang dijalankan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran mengalami banyak permasalahan, baik dalam tubuh penyelenggara, perancangan, hingga pada produk yang didistribusikan terutama kepada para siswa. Banyak obstacle yang perlu diselesaikan dari akarnya, seperti potensi adanya korupsi dalam pendanaan yang bukan main besar jumlahnya. Pembiayaan program MBG (Makan Bergizi Gratis) dengan APBN, dengan uang rakyat harusnya dikelola secara transparan dengan bijak dan penuh tanggungjawab. Permasalahan yang bisa diterka dan sangat ditakutkan terjadi oleh rakyat adalah potensi terjadinya korupsi sangatlah tampak nyata, kecurangan ini bisa kita rasakan, bisa kita lihat langsung dalam porsi yang disajikan.

Baru-baru ini viral, menu MBG di Cisayonng, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Program yang katanya dibuat untuk membantu menurunkan angka stunting dengan peningkatan gizi yang diawasi langsung oleh BGN (Badan Gizi Nasional) ternyata tidak semulus yang dibayangkan, menu yang disajikan untuk siswa di Cisayong sangat jauh dari tujuan tersebut. Menu yang didapati oleh siswa di Cisayong hanya berisikan empat buah stroberi, tiga potong kentang rebus, seiris tempe, sayur buncis, saus, serta sepotong kulit ayam tanpa daging banyak menuai kritik.

 

Tidak hanya masalah jumlah menunya yang sedikit, namun juga secara kualitas. Tidak sedikit dari penerima program MBG mengeluhkan bahwa mereka mendapati makanan yang tidak lagi segar, beraroma tidak sedap, makanan yang hampir basi, dan terdapat ulat yang ada dalam makanan. Seperti hasil survey yang dilakukan pada bulan April sampai Agustus oleh KPAI mendapati bahwa 583 anak menerima makanan dalam kondisi rusak, bau dan basi. Bagaimana bisa program pemerintah, yang dilaksanakan dengan APBN dilakukan secara sembrono, tidak dengan perhitungan yang tepat. Pemerintah dalam hal ini bisa dibilang gagal terutama dalam hal mendasarnya saja, yakni pemenuhan gizi melalui menu makanan.

 

SPPG Sebagai Penyedia Makanan Siswa

SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) menjadi sektor yang banyak dilirik, sebab munculnya permasalahan terkait produk makanan diproduksi di sini. Meski sudah ada standarisasi dan sertifikasi ternyata tidak cukup untuk memunculkan oknum-oknum yang lolos dari ketentuan tersebut. Terbukti pada Kabupaten Subang, Jawa Barat, dari total 44 SPPG yang berdiri, ternyata hanya 3 saja yang memiliki sertifikat tersebut. Kelalaian hal dasar sebagai penyedia saja masih belum bisa terselesaikan, jadi bagaimana rakyat bisa menilai bahwa MBG ini adalah program yang dilakukan secara serius oleh pemerintah.

Tidak hanya dalam pembahasan menu saja, kekurangan program kali ini adalah ada pada perencanaan dari pihak pemerintah selaku pemilik program, sehinngga program yang dijalankan tidak bisa kita bilang berjalan maksimal. Ketidaksiapan dan perencanaan yang kurang matang mengakibatkan munculnya problem-problem baru yang melebar dan perlu disegerakan untuk diselesaikan atau perlu keputusan yang bijak terhadap program yang banyak mengalami permasalahan.

 

MBG yang Tidak Merata

Permasalahan pertama yang bisa kita nilai dan dirasakan adalah tidak meratanya program ini merupakan penyebaran yang tidak merata. Pada bulan Agustus kemarin, mengutip artikel yang diunggah oleh laman berita tempo.co pada saat kepala BGN yakni Dadan menemui wakil gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan di Gedung Sate pada tanggal 31 Juli 2025. Ia mengungkapkan bahwa masih tercapai 9% dari total target 82,9 juta yang akan diselesaikan pada akhir tahun. Sejak diresmikannya program ini pada tanggal 6 Januari 2025 sampai setidaknya Juli, telah berjalan selama 7 bulan dan baru mencapai 9% dari target? Lalu bagaimana kita ingin yakin bahwa program yang dirancang ini adalah program yang serius untuk memperbaiki gizi siswa Indonesia? Atau memang program ini dibuat hanya untuk meraup suara rakyat ketika pemilu saja? Hasil yang tercapai masih jauh dari kata berhasil, belum lagi masalah-masalah mengenai produk yang didistribusikan.

 

MBG Makanan Beracun Gratis

Masalah keracunan tentu tidak bisa kita anggap hanya berupa data statistik dari keberhasilan yang telah dicapai. Kita tidak bisa menganggap itu hanya ketidaksengajaan dari pihak produksi meski perbandingannnya mungkin hanya 2 per 10. Adanya kasus keracunan yang banyak terjadi, menurut Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) sudah mencapai 5.360 anak dan warga terdampak. Tiga lembaga pemerintah seperti Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan, dan BPOM memiliki data berbeda, tapi jumlah total korban tetap berada di kisaran 5 ribu orang.

 

Ada banyak desakan yang muncul kepada pemerintah terkait permasalahan tersebut agar program MBG diberhentikan untuk dievaluasi secara total. Namun, melalui Wakil Mentri Sekretaris Negara yakni Juri Ardhianto mengungkapan bahwa kritik akan diterima untuk kebaikan, namun tidak memberhentikan program MBG secara total.

 

Permasalahan MBG merupakan masalah yang bisa menggambarkan tidak becusnya pemerintah menangani tiap permasalahan yang terjadi pada program MBG. Program yang memakan anggaran yang besar, tidak berjalan sesuai ekspektasi. Penaganan terhadap permasalahan yang terjadi tidak ditindak secara cepat dan mengevaluasi secara keseluruhan. Permasalahan mengenai makanan yang bau, busuk, rusak, dan berulat masih banyak ditemui, permasalahan tentang kasus keracunan masih banyak terjadi dan yang terbaru di Jawa Barat pada rentan 2 hari pada hari senin dan rabu tanggal 22 dan 24 September jumlah total siswa yang diduga keracunan MBG di Kecamatan Cipongkor mencapai 911 siswa.

 

Awal munculnya kasus keracunan MBG sudah terjadi di Sukoharjo baru 10 hari setelah diresmikan dijalankannya program MBG yakni pada tanggal 16 Januari 2025. Dadan memaparkan pihaknya membagi kasus keracunan tersebut ke dalam tiga wilayah. Rinciannya, wilayah pertama terdiri dari kawasan Indonesia bagian barat dengan total 7 kasus, lalu wilayah kedua meliputi pulau Jawa terdiri dari 27 kasus, dan wilayah ketiga meliputi Indonesia bagian timur dan kawasan sebanyak 11 kasus. Dengan rentang terjadinya kasus pertama hingga sekarang harusnya masalah ini bisa terselesaikan dan diminimalisir, namun kenyataannya, justru jumlah korban meningkat, seperti kasus yang terbaru terjadi hampir mencapai 1.000 korban.

 

Refleksi Bagi Pemerintah

Alangkah baiknya kita mencontoh negara-negara yang telah berhasil menjalankan program makan siang di tiap sekolah mereka. Salah satunya adalah Jepang, program yang disebut kyushoku. Program yang dijalankan ini melibatkan siswa, sekolah, dan ahli gizi. Program tersebut telah ditetapkan sebagai sebuah program melalui undang-undang makan siang sekolah pada tahun 1954 setelah perang dunia ke-2. Program tersebut diterima oleh semua siswa dan menyebar secara nasional, dan produksi makanan dilakukan oleh pihak sekolah sendiri melalui dapur sekolah. Efeknya adalah tidak ada lagi makanan yang basi, bau, dan berisikan ulat sebab langsung diproduksi di sekolah. Tidak hanya dalam kesegaran, namun juga pada masalah menu. Menu yang disajikan lebih variatif, dan akan lebih mudah untuk mengidentifikasi terkait adanya kemungkinan alergi yang dimiliki oleh siswa.

 

Sebaiknya pemerintah sekali-kali cobalah untuk mendengarkan aspirasi rakyatnya. Seperti apa yang telah disuarakan oleh siswa-siswa di Papua, yakni pendidikan gratis, pemerataan fasilitas Pendidikan, dan kesejahteraan tenaga pendidik. Jika siswa sudah nyaman dengan lingkungan belajar dan tenaga pendidik sudah tidak lagi berfikir akan makan apa di rumahnya ketika pulang sebab gaji yang jauh dari kata cukup, maka pembentukan kualitas insan cita dengan proses dan perbaikan yang konsisten akan tercapai, dan program pemenuhan gizi akan berjalan selaras dengan pemerataan fasilitas pendidikan, perkembangan kualitas siswa dan tenaga pendidik yang sejahtera.

Pos terkait

banner 468x60