Memungut Makna Eko-Kultural dan Keberlanjutan dari Rokat Sombher

Tampilan sesaji pada acara Rokat Shomber. (Sumber Foto: Ikhwan Setiawan)

Selepas Ashar, puluhan warga Jambuan dan panitia Rokat Sombher sebagai bagian dari Purnama di Jambuan (PDJ), berkumpul di jalan setapak di Lingkungan Jambuan, Kelurahan Antirogo, Jember. Di kanan dan kiri jalan, daun bambu kering berserak, menyampaikan kabar tentang musim kemarau yang hadir di bumi Jember.

Meskipun suhu udara masih lumayan hangat, banyaknya rumpun bambu yang mengelilingi Jambuan, menjadikan warga merasakan suasana yang cukup segar. Alunan alat musik glundengan (semacam gamelan dari kayu nangka/bayur) yang dimainkan oleh lima penabuh mengiringi langkah para peserta menuju mata air Bebhegan.

Tidak sampai lima belas menit berjalan, setelah menuruni jalan setapak di bawah rumpun bambu, tokoh sesepuh sekaligus tokoh agama beserta peserta sampai di Bebhegan. Setelah semua sesajen ditempatkan di bangku dan meja yang terbuat dari bambu, tokoh agama segera memimpin doa rokat yang berkaitan dengan air. Warga dan panitia dengan khusuk mengaminkan apa yang dipanjatkan tokoh agama.

Jangan membayangkan rokat ini seperti ritual besar yang masuk kalender wisata. Rokat Sombher sangatlah sederhana, baik dalam hal sesajen maupun rangkaian acara. Sesajen yang disiapkan layaknya sesajen slametan dalam masyarakat Jawa dan Madura. Ada nasi rasul, tumpeng, ingkung, ketupat, lepet, pala pendem (seperti ketela rambat, singkong, talas), \dhemar kambeng, dan yang lain.

Pakaian panitia dan warga yang juga biasa saja, tidak terlalu istimewa. Para wanita mengenakan kebaya sederhana; sebagian berjilbab, sebagian lagi tidak. Para pria juga ada yang mengenakan pakaian serba hitam khas Jawa dan Madura lengkap dengan blankon dan udheng, banyak pula yang hanya mengenakan kaos dan celana jeans.

Ini menegaskan bahwa Rokat Sombher memang tidak diorientasikan sebagai cultural display, pameran budaya, sebagaimana banyak ritual di Indonesia yang sudah menjadi agenda pariwisata di masing-masing daerah. Alih-alih, Rokat Sombher merupakan ritual yang menekankan kepada makna ekologis yang menyampaikan pesan praksis untuk merawat mata air.

Kawasan sombher juga tidak dipermak sedemikian rupa agar terkesan indah. Para warga hanya membersihkannya beberapa hari menjelang ritual. Sampah plastik yang berasal dari bungkus samphoo, sabun, makanan, dan yang lain disapu. Semak-semak yang tinggi dibersihkan. Tidak lupa, dibuat bangku dan meja dari bambu untuk menempatkan aneka sesajen rokat.

Tidak ada sambutan pejabat ataupun pengurus Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) dan Pusat Kajian Pemajuan Kebudayaan (Pusakajaya-UNEJ) sebagai institusi yang menginisiasi ritual ini. Begitu sampai di mata air, warga langsung menempatkan sesajen di bangku dan meja dari bambu. Tanpa diinstruksikan, tokoh agama, Pak Wahyu, langsung mengajak panitia dan warga memulai ritual.

Ia berdiri di dekat sombher, sembari membaca doa. Sekira lima belas menit, doa kepada Tuhan, para nabi, rasulullah, dan para wali serta sapaan kepada para penunggu ghaib selesai dilaksanakan. Tokoh agama pun mengajak warga dan panitia untuk meninggalkan sombher, menuju tempat berkumpul di bawah rumpun bambu.

Warga dan panitia berbincang tentang makna penting melakukan Rokat Sombher. Bahwa rokat ini bukanlah tindakan syirik. Alih-alih mengajak warga untuk selalu merawat mata air, baik dalam bentuk doa maupun tindakan praksis seperti tidak membuang sampah di sembarang tempat dan menanam pohon yang bisa menyerap dan menyimpan air hukan di dalam tanah. Perbincangan ini ditutup dengan makan bersama. Nasi, ayam ingkung, dan lauk lain yang berasal dari rokat dimakan bersama dengan hati senang.

 

Menciptakan Tradisi Berbasis Budaya Keterlibatan

Apakah warga Jambuan sebelumnya memiliki tradisi Rokat Sombher? Menurut warga tidak ada tradisi ini dari leluhur mereka. Namun, bukan berarti tidak ada tradisi rokat atau slametan dalam masyarakat Jambuan. Sepertihalnya masyarakat Jawa, masyarakat Madura juga memiliki ritual yang berkaitan dengan siklus hidup dan juga bumi.

Maka, ketika pada tahun 2022 kami memulai ritual ini bersama warga, tak ada yang menolak. Mereka tidak asing lagi dengan rokat, meskipun kami mengusulkan nama berbeda. Selain itu, kami juga memberi penjelasan bahwa rokat ini bertujuan untuk berdoa dan bersyukur kepada Tuhan Sang Pencipta serta berharap agar mata air terus mengalirkan air.

Ritual yang dekat dengan Rokat Sombher adalah Rokat Bhume (Bumi). Ritual ini merupakan doa dan harapan masyarakat kepada Tuhan Pemilik Semesta agar mereka berhasil dalam bercocok tanam dan mendapatkan berkah dari hasil panen. Warga juga berdoa agar agar tanamannya terhindar dari hama. Artinya, meskipun Rokat Sombher tidak ada rujukan historisnya di Jambuan,warga tidak mempermasalahkannya karena bertujuan baik.

Dalam konteks kebudayaan, menciptakan sebuah tradisi baru bukanlah hal yang dilarang. Semua tradisi yang kita katakan “tradisional” saat ini dulunya adalah karya cipta manusia dan masyarakat. Karena ditransfer secara ajeg kepada generasi penerus maka karya tersebut lama-kelamaan disebut tradisi.

Meskipun Rokat Sombher merupakan tradisi baru, bukan berarti doa dan sesajen yang dibawa ke mata air sama sekali baru. Pak Wahyu mengatakan bahwa semua sesajen yang dibawa sudah biasa disajikan warga Madura Jambuan ketika melaksanakan slametan. Doa yang dilafalkan juga dipilih yang berkaitan dengan tolak bala, keselamatan, dan harapan yang berkaitan dengan bumi dan air.

Pilihan seperti itu memudahkan panitia dalam menyiapkan ritual serta lebih mudah mengajak warga karena berkaitan dengan kebiasaan dan ingatan mereka terkait budaya yang biasa mereka jalani. Sebagai acara gotong-royong yang tidak memungut biaya dari warga dan tidak mendapatkan dana dari dinas-dinas terkait, kami mesti menjalankan siasat agar mereka tidak terbebani dan mau berpartisipasi dengan riang gembira.

Pada tahun ketiga pelaksanaan rokat, warga sudah tak perlu diberi arahan untuk mengenakan pakaian ini dan itu, atau sebaiknya membuat sesajen ini dan itu. Semua warga yang secara sukarela terlibat sudah paham harus berpakaian seperti apa, harus membuat sesajen apa. Inilah wujud “budaya keterlibatan” yang lahir dari komunikasi ajeg antara pengurus DeKaJe dan Pusakajaya-UNEJ dengan warga. Komunikasi terebut tidak hanya mensyaratkan kesetaraan antara kami dengan warga. Alih-alih, kami sebagai ‘tamu’ mesti memahami bagaimana sejarah, budaya, masalah, harapan dan kebiasaan sehari-hari warga serta kondisi geografis Jambuan.

Pemahaman komprehensif tersebut memudahkan upaya kami untuk masuk ke dalam kehidupan warga dan terlibat dengan permasalahan yang mereka hadapi. Maka, ketika kami menawarkan PDJ dengan Rokat Sombher sebagai salah satu even-nya, tokoh agama, sesepuh, dan warga masyarakat pun tidak ada yang menolak. Mereka terlibat aktif dalam acara ini, dari urusan menyiapkan sesajen, membersihkan sombher, hingga melakoni ritual. Budaya keterlibatan menjadi kunci kelancaran dan keberlangsungan ritual di masyarakat, meskipun itu baru beberapa tahun diciptakan.

 

Memungut Makna, Memperjuangkan Keberlanjutan 

Dalam rancangan besar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dikampanyekan PBB dan diadopsi dalam kebijakan banyak negara termasuk Indonesia, terdapat tiga pilar yang mesti diperhatikan, yakni kesejahteraan ekonomi, pemberdayaan masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup. Tiga pilar tersebut diyakini mampu menopang pembangunan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup yang berkualitas untuk masa kini dan generasi mendatang.

Pilar-pilar tersebut saling terhubung satu sama lain. Kesejahteraan ekonomi harus menekankan aspek keadilan, sehingga manusia bisa merasakan kemudahan dalam menjalani hidup. Namun, kesejahteraan tidak boleh menghancurkan alam dan mengabaikan keberdayaan masyarakat. Warga masyarakat harus menjadi subjek aktif yang terus meningkatkan keberdayaan melalui organisasi sosial dan penguatan kualitas sumber daya manusia agar mampu mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.

Untuk mewujudkannya, pembangunan mesti melibatkan ragam budaya yang hidup dalam masyarakat karena memiliki substansi yang berkaitan erat dengan kondisi lingkunga alam dan permasalahan sosial dalam masyarakat. Budaya lahir sebagai respons manusia terhadap apa-apa yang ada di semesta dan aneka permasalahan yang dihadapi. Maka, memasukkan budaya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan akan memperkuat posisi masyarakat dan mengurai mekanisme dalam tata kelola ekonomi yang tidak rakus dan tidak merusak alam.

Ketika kerangka tersebut kita bawa ke Jambuan, maka kita akan menjumpai realitas ekonomi bahwa mayoritas warga bergantung kepada sektor pertanian dan sebagian sektor lain seperti menjadi kuli bangunan. Adapun sektor pertanian ini terletak di kawasan subur di mana mata air mengalir sepanjang tahun dan ragam pepohonan menjadi penopang banyak aktivitas hidup warga.

Sayangnya, kawasan subur yang menghidupi warga terancam oleh pembangunan rumah modern yang diizinkan oleh Pemkab Jember. Di kawasan Jambuan yang dekat dengan jalan raya, beberapa perumahan berdiri, mengurangi lahan pertanian. Ini membuktikan bahwa Pemkab Jember tidak begitu memperhatikan aspek keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi karena merusak kawasan produktif yang menjadi ruang hidup masyarakat petani di pinggiran kota.

Kawasan pertanian diwacanakan indah berkaitan dengan ketahanan pangan, tetapi mudah ditiadakan ketika dibutuhkan untuk pembangunan. Rayuan uang besar pengembang menjadi faktor petani melepas lahan mereka dan berpindah ke tempat yang lebih ke pinggir. Masih baik kalau mereka bisa membeli lahan baru. Ketika uang hasil menjual sawah habis untuk membeli barang mewah seperti motor dan mobil, maka mereka pun tidak punya sumber daya ekonomi. Menjadi kuli bangunan adalah pilihan, meskipun bayaran yang mereka terima seringkali telat.

Dampak lanjutan yang tak kalah mengerikan adalah perusakan kawasan lahan bambu serta pepohonan oleh proyek perumahan yang mengakibatkan rusaknya mata air. Akibatnya, petani dan warga masyarakat yang masih mempertahankan hak milik mereka bisa kesulitan untuk mendapatkan air. Kalau hal ini terjadi, tentu bisa menjadi bencana ekologis yang menyedihkan.

Dalam konteks demikian, pilihan memulai tradisi Rokat Sombher membawa makna, ajakan, dan harapan multidimensi. Makna ekologis-kultural melekat pada dimensi religi berupa doa dan sesajen yang menyimbolkan bagaimana semestinya manusia memahami relasi harmonis dengan Tuhan Sang Pencipta, para utusan, para malaikat, makhluk ghaib lain, dan lingkungan alam. Relasi harmonis itulah yang di masa lalu melahirkan banyak ritual demi keselamatan manusia melalui upaya nyata menghormati dan memperlakukan dengan baik lingkungan alam.

Nalar ekspansionis kapitalis mengabaikan itu semua, sehingga dalam membangun berbasis legitimasi negara, mereka tidak memperhatikan lagi keberlanjutan manusia dan komunitas, budaya lokal, dan nasib generasi mendatang. Mayoritas masyarakat yang masih mempertahankan ruang mereka sadar bahwa lahan produktif Jambuan menjadi incaran para pengembang. Maka, memperkuat keyakinan dan solidaritas komunal untuk mempertahankan kawasan Jambuan merupakan semangat yang disebarluaskan melalui Rokat Sombher dan even-even lain dalam PDJ. Ini sekaligus menunjukkan bahwa pengorganisasian sosial untuk memperkuat kapasitas berpikir dan bertindak masyarakat bisa dilakukan dengan jalan kebudayaan.

Sebagai aktivitas kultural, Rokat Sombher mangajak warga untuk menempatkan alam sebagai budaya begitupula sebaliknya. Para leluhur mengajarkan bagaimana semestinya manusia menempatkan alam dalam kehidupan sehari-hari dan budaya. Manusia, masyarakat, budaya, dan religi terkait erat dengan alam dalam membentuk lanskap biokultural yang beragam. Pemahaman ini yang saat ini dikembangkan para pakar lingkungan internasional, berbeda dengan warisan revolusi industri yang menempatkan alam sebagai objek pasif yang bisa dieksploitasi manusia.

Kebersamaan dan solidaritas melalui ritual ini diharapkan mampu menjalin erat batin, pikiran, dan harapan warga juga panitia untuk selalu membawa misi eko-kultural dalam laku kebudayaan mereka. Seperti dhemar kambeng (damar kambang, pelita berupa sumbu menyala yang diletakkan mengambang di minyak) di tengah sesajen yang diletakkan di atas Sombher Bebhegen, misi eko-kultural tersebut akan menjadi “cahaya atau penerang” bagi warga masyarakat untuk terus mempertahankan dan melanjutkan laku hidup, laku budaya, dan laku ekologis yang berdampak positif bagi kehidupan saat ini dan mendatang.

Mengalirnya air secara ajeg dari Sombher Bebhegen dan sombher lain di Jambuan merupakan metafor indah yang menggambarkan bagaimana keberlanjutan sebagaimana digemakan secara internasional dan nasional bisa tercapai ketika masyarakat lokal memiliki keberdayaan untuk meningkatkan kapasitas pemahaman terhadap persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan berbasis budaya lokal.

 

Pos terkait

banner 468x60