Kekerasan merupakan suatu fenomena yang bersifat instrumental yang pada dasarnya bertentangan dengan kekuasaan. Kekerasan akan bernilai positif jika digunakan sebagai cara untuk meruntuhkan kekuasaan, dan akan bernilai negatif ketika digunakan oleh pemegang kekuasaan. Hal tersebut mengertikan bahwa kekerasan menjadi alat tendensi negatif ketika suatu kekuasaan itu hilang.
Dalam “Risalah tentang Kekerasan” Pemikiran Hannah Arendt, kekerasan menjadi suatu hal yang niscaya dalam meruntuhkan kekuasaan, atas dasar pertimbangan watak dari suatu kekuasaan yang telah menjelma menjadi pemerintahan totalitarianism. Pemikiran Arendt menjadi tinjauan pustaka yang menarik jika dikaitkan relevansinya dengan situasi politik di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa Orde Baru, mekanisme pemerintahan Indonesia memiliki tendensi terhadap tipe kekuasaan totaliter.
Sejak awal berdirinya rezim Orde Baru, berbagai peristiwa kelam memperlihatkan bagaimana kekuasaan negara menjadi suatu terror yang sangat menakutkan. Peristiwa G30S menjadi salah satu peristiwa kelam dalam sejarah kekerasan di Indonesia. Banyak orang yang ditangkap, perempuan diperkosa, dipenjara, tanpa adanya proses peradilan dan pengadilan yang jelas.
Oie Tjoe Tat dalam laporannya mencatat bahwa sejak tahun 1965–1966, sebanyak 500.000 atau 600.000 orang yang terbunuh dalam peristiwa G30S (John Roosa, 2017:45). Tidak sampai disitu, berbagai pelanggaran HAM berat juga terjadi pada masa Orde Baru, seperti peristiwa Tanjung Priok 1984–1985, Pembunuhan Misterius 1982–1985, DOM di Aceh sejak 1980-an. Peristiwa Timor-Timur 1999, peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II tahun 1998–1999, dan masih banyak lagi. Pelanggaran HAM tersebut bukan semata-mata peristiwa yang terjadi pada masa lalu, namun dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Munurut pandangan Fukuyama, seringkali ketika suatu aktor ingin mencapai kekuasaan, maka tak jarang jalan yang digunakan untuk melenyapkan mereka yang dianggap musuh adalah menggunakan alat kekerasan. Kekerasan menjadi bagian integral dalam proses politik, terlebih ketika penggulingan kekuasaan dengan menggunakan kekerasan. Dalam kudeta militer misalnya, apabila kekerasan itu “tidak runtuh”, namun justru berada dalam kendali penuh, maka yang muncul adalah terror sebagai bentuk mekanisme pemerintahan yakni totalitarianisme.
Gagasan Arendt mengenai banality of evil, ternyata juga berkaitan dengan situasi politik Indonesia saat ini, bagaimana negara menciptakan kejahatan menjadi suatu hal yang dianggap lumrah. Propaganda dan terror yang dilakukan negara ternyata dapat menciptakan kepatuhan bagi warga negara. Hal tersebut yang menyebabkan orang enggan untuk berpikir dan tidak mampu menilai secara kritis dan objektif. Ketakutan dan kebencian masyarakat Indonesia terhadap PKI misalnya, merupakan wujud nyata bagaimana rezim Orde Baru dalam kekerasan negara kemudian menjalar pada warganya, menularkan sikap tanpa ragu terlibat dalam kejahatan.
Berbagai konflik yang terjadi di Indonesia memperlihatkan adanya banality of evil. Ketika terjadi kasus korupsi oleh aparatur negara, mereka memiliki dalih untuk terbebas dari jeratan hukum. Para petinggi militer dan polisi yang terlibat dalam pelanggaran HAM dalam peristiwa Trisakti, kerusuhan Semanggi I dan II, konflik Papua, dan bahkan tragedi Kanjuruhan Malang yang baru-baru ini terjadi pada 1 Oktober 2022. Ketika aparatur negara terlibat, maka dalih yang digunakan adalah patuh terhadap perintah demi stabilitas pertahanan keamanan, dan ketika masyarakat sipil terlibat alasan yang digunakan adalah karena terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak jelas identitasnya.
Kekuasaan pada dasarnya adalah suatu instrumen aturan, dan aturan tersebut tercipta atas “insting dominasi” sehingga dapat disimpulkan bahwa kekerasan sebagai manifestasi kekuasaan yang mencolok. Proses disintegrasi akibat kekerasan yang telah terjadi sedemikian nyata di Indonesia haruslah membangkitkan kesadaran kritis kita akan pentingnya nilai perjuangan, karena hanya perjuanganlah yang dapat mendorong kita untuk memikirkan kembali mana pihak yang dianggap sebagai musuh dan sekutu. Dengan demikian akan dapat mempertajam lingkaran solidaritas diantara yang tertindas dan melawan antagonisme sang penindas (penguasa).