Tanggal 3 Juli 2024 tercatat oleh sejarah dengan dipecatnya Ketua KPU Pusat dalam sidang DKPP atas laporan dari salah satu anggota PPLN Belanda atas tindak kekerasan seksual pada dirinya. Pemecatan dengan tuduhan tindakan asusila yang dilakukan oleh Ketua KPU pada anggota PPLN Belanda ini, seolah menjadi sebuah validitas bahwa kondisi perempuan masih sangat rentan terhadap terjadinya kekerasan dan kejahatan pada dirinya.
Validitas ini didasarkan pada sebuah kondisi dimana, dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 sebagaimana temuan Komnas Perempuan, ditemukan adanya intimidasi dan teror terhadap caleg perempuan di Aceh dan NTT, pencurian dan pengalihan suara caleg perempuan di Papua, serta pemecatan caleg perempuan terpilih oleh salah satu partai politik di Sulawesi Selatan.
Pada titik ini, harusnya penyelenggara pemilu harus peka dan mengenali kerentanan perempuan dalam beragam bentuk kekerasan, baik kekerasan yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, ekonomi maupun siber, seperti yang terjadi, namun mirisnya, plot twist nya pada tahun 2024 ini, kekerasan pada perempuan dilakukan sendiri oleh Ketua KPU Pusat.
Sebenarnya, kekerasan seksual berupa penyerangan seksual terhadap calon kepala daerah perempuan pernah terjadi di Depok, Makassar dan Tangerang Selatan pada Pilkada tahun 2020. Kekerasan berupa ujaran kebencian dan tindakan rudapaksa dengan unsur SARA pernah terjadi pada Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017.
Kondisi- kondisi kekerasan pada perempuan yang seolah telah terjadi pembiaran oleh negara pada perempuan, pada akhirnya memunculkan kekhawatiran para perempuan di daerah rawan potensi konflik terhadap keamanan, baik sebelum, saat pelaksanaan dan setelah pemilihan, terutama menguatnya politisasi agama dan identitas yang menghambat mobilitas dan partisipasi perempuan dalam bersuara dan memberikan suara .
Eskalasi politik menjelang Februari 2024 meningkat tajam. Maka tugas negara dan penyelenggara pemilu adalah melakukan mitigasi risiko adanya kekerasan pada perempuan. Lalu bagaimana jika yang melakukan Ketua KPU, yang berada di pucuk pimpinan penyelenggara pemilu?
Mitigasi Resiko Penyelenggaraan Pemilu dan Kekerasan Pada Perempuan
Dalam artikel di Harian Kompas online, Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkap, ada empat kasus kekerasan seksual yang diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dari empat kasus itu, dua kasus melibatkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asyari sebagai pihak teradu. Satu kasus Nomor 90/PKE-DKPP/V/2024 telah diputus dengan keputusan Ketua KPU dipecat sebagai Ketua sekaligus Komisioner KPU.
Sedangkan dua kasus kekerasan seksual lainnya, yaitu yang diduga dilakukan oleh Ketua KPU Manggarai Barat dan Ketua KPU Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
Meskipun ada empat laporan kasus kekerasan seksual, kasus yang terjadi dengan PPLN Belanda adalah puncak gunung es. Kekerasan yang dialami korban kerap tidak dilaporkan karena tebalnya relasi kuasa antara korban dan pelaku. Dan juga seperti yang terjadi pada kasus-kasus rudapaksa lainnya, yang relasi kuasa dari para lelaki nya sangat kuat, membuat perempuan sangat rentan pada tindak kekerasan seksual dan ada ketakutan untuk melaporkan.
Belum lagi sikap dari masyarakat yang cenderung melakukan cemoohan dan perundungan secara verbal pada korban-korban seperti ini.
Pada bagian yang lain studi terbaru dari organisasi masyarakat sipil, Kalyanamitra menunjukkan bahwa pada pelaksanaan pemilu 2024, masih ditemukan perempuan yang mengalami kekerasan dalam politik atau kekerasan yang berbasis gender.
Korbannya sangat beragam dan berbagai kelompok masyarakat secara random, mulai dari pemilih perempuan dan kelompok rentan, perempuan kelompok ekonomi rendah, perempuan kepala keluarga, minoritas gender, disabilitas, LSM, lansia, akademisi, penyelenggara pemilu, caleg perempuan, hingga jurnalis perempuan.
Bukan hal yang baik jika kasus dan korban kekerasan yang terjadi sebelum, pada saat dan setelah pemilu.
Ada konsekuensi logis yang tak bisa dihindari. Pertama, jumlah perempuan dan kelompok rentan yang mencalonkan diri untuk jabatan politik dan/atau untuk penyelenggara pemilu, tentu akan semakin sedikit. Jika ini yang terjadi, maka afirmasi politik perempuan menjadi stuck dan jalan di tempat. Perempuan akan berusaha melindungi dirinya sendiri dari serangan dalam bentuk apapun.
Kedua, terbatasnya visibilitas perempuan dan kelompok rentan dalam partai politik dan/atau dalam penyelenggaraan pemilu, akan semakin mempersulit kandidat perempuan dan kelompok rentan untuk dikenal oleh masyarakat secara luas.
Beberapa bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi selama Pemilu 2024 pada Februari lalu, Pertama, Kekerasan dan Penyerangan berbasis gemder yang dilakukan secara online. Penyerangan ini berdampak besar terhadap elektabilitas caleg perempuan di Pemilu 2024.
Kedua, ditemukan caleg perempuan yang mendapat kampanye hitam di media sosial. Secara langsung itu sudah pasti mempengaruhi bagaimana publik melihat, bagaimana animo dari caleg perempuan ini sendiri dan kondisi kesehatan mental dari caleg perempuan ini.
Ketiga, Caleg perempuan yang dipaksa untuk mengundurkan diri oleh partainya, padahal dirinya mendapatkan suara terbanyak di dapilnya.
Organisasi perempuan seperti Forhati, Kohati, Muslimat NU, Fatayat, Aisyiyah, Nasyiatul Aisyiyah dan lain-lain sudah seharusnya dan semestinya dijadikan mitra oleh pemerintah untuk bisa memitigasi segala bentuk kekerasan pada perempuan khususnya ketika akan dihelat PEMILU yang sejatinya menjadi pesta demokrasi negara tersebut. PEMILU adalah salah satu alat demokrasi untuk bisa memperjuangkan sebuah kondisi kesetaraan gender.
Sebagaimana kita ketahui, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan serangkaian tujuan yang ditujukan untuk mencapai kehidupan di muka bumi ini menjadi lebih baik dan berkelanjutan bagi semua orang. Inilah yang kita sering dengar dengan istilah SDGs. Ada 17 tujuan SDGs yang saling terkait dan saling mendukung untuk mengatasi berbagai tantangan global kekinian.
Kesetaraan gender ada di tujuan no 5. SDGs ini disusun dengan prinsip inklusif, terintegrasi, no one left behind, serta partisipatif. Bappenas pun sudah mengadopsi SDGs ini adalah program-program pembangunan. Artinya, program mitigasi segala bentuk aneka rupa kekerasan pada perempuan menjadi program pemerintah yang harus melibatkan dan di sinkronkan dengan program-program dari organisasi-organisasi perempuan yang telah berdiri puluhan bahkan seratus tahun yang lalu seperti Aisyiyah. Sinkronisasi ini diharapkan dapat mempercepat proses mitigasi terjadinya kekerasan pada perempuan. Inilah pentingnya bagi pemerintah untuk senantiasa melibatkan organisasi perempuan secara aktif, agar tingkat partisipatif nya juga meningkat.