World Giving Report 2025 menempatkan Nigeria sebagai negara paling dermawan di dunia. Laporan ini juga menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat kedermawanan tertinggi bukan berasal dari kelompok negara maju, melainkan mayoritas dari negara-negara berkembang, terutama di Afrika. Sementara Indonesia yang turun peringkat, menduduki posisi ke-21 dari 101 negara yang disurvei, dinilai memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin filantropi di kawasan Asia Tenggara
World Giving Report 2025 (WGR 2025) merupakan pengembangan dari World Giving Index (WGI) yang sebelumnya rutin dirilis oleh Charities Aid Foundation (CAF). Laporan ini dirancang untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap dan inklusif tentang kegiatan kedermawanan di seluruh dunia. Penelitian ini menggunakan survei publik di 101 negara dengan wawancara langsung, online, serta telepon kepada responden tentang kegiatan menyumbangnya pada tahun 2024. Kegiatan survei di Indonesia dilakukan bekerjasama dengan Perhimpunan Filantropi Indonesia.
Berbeda dengan WGI, survei WGR 2025 menerapkan pendekatan pengukuran yang lebih luas dan mendalam terhadap kedermawanan, dengan tiga jalur sumbangan dana/uang yang diukur secara eksplisit:: 1) Menyumbang dana langsung kepada individu atau keluarga yang membutuhkan; 2) Menyumbangkan dana kepada badan amal/filantropi atau organisasi sosial; 3) Menyumbang dana untuk organisasi atau keperluan agama. Selain frekuensi memberi, survei juga mengumpulkan data tentang pendapatan responden dan besaran donasi yang diberikan, sehingga dapat menghitung proporsi pendapatan yang didonasikan di setiap negara. Survei juga mengkaji aspek motivasi menyumbang, serta tingkat kepercayaan dan persepsi masyarakat terhadap lembaga sosial dan peran pemerintah.
WGR 2025 menampilkan gambaran mengenai pola kedermawanan di 1001 negara sepanjang 2024. Secara global, laporan ini mencatat hampir dua pertiga populasi dunia (sekitar 64%) memberikan donasi dalam bentuk uang untuk mendukung berbagai tujuan sosial. Sebagian besar donasi (40%) disalurkan langsung kepada individu atau keluarga yang memerlukan, sementara 36% melalui badan amal dan 24% melalui lembaga atau kegiatan keagamaan. Data ini mengindikasikan bahwa masyarakat global masih mengandalkan bantuan langsung sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan, di samping Lembaga filantropi atau sosial. Proporsi pendapatan yang didonasikan secara rata-rata global adalah sekitar 1,04%, namun distribusinya sangat bervariasi antara benua dan negara. Dalam konteks regional, Afrika menjadi benua paling dermawan dengan rata-rata donasi mencapai 1,54% dari pendapatan, sementara Eropa mencatat angka terendah, yaitu 0,64%.
Survei global ini juga mengungkapkan bahwa negara-negara dengan tingkat kedermawanan tertinggi bukan berasal dari kelompok negara maju, melainkan mayoritas adalah negara-negara berkembang, terutama di Afrika. Afrika menempatkan 5 dari 10 negara paling dermawan di dunia di mana Nigeria menduduki peringkat pertama dengan rata-rata donasi mencapai 2,83% dari pendapatan per kapita. Sementara Mesir (2,45%), Tiongkok (2,19%), Ghana(2,19%), dan Kenya (2,13%) melengkapi lima negara paling dermawan, dengan rata-rata masyarakat di negara-negara tersebut menyumbang lebih dari 2% dari pendapatan mereka.
Laporan ini juga mengungkap motivasi utama menyumbang adalah “peduli pada isu sosial atau ingin membuat perubahan” (65%). Sebanyak 31% responden menyebut “kewajiban moral” sebagai alasan menyumbang, sementara 29% responden lainnya didorong oleh agama. Donatur yang menyumbang karena motivasi agama rata-rata memberikan donasi dua kali lebih besar dan mendukung lebih banyak tujuan atau misi sosial. Dalam hal kegiatan kerelawanan (volunterisme), sekitar 26% responden terlibat dalam kegiatan kerelawanan pada 2024, dengan rata-rata lama waktu relawan sekitar 9 jam per orang. Warga di Negara-negara Afrika memiliki proporsi relawan tertinggi dengan melakukan kegiatan kerelawanan rata-rata 14 jam 30 menit, sedangkan warga di benua Eropa menyumbangkan kerelawanan terendah (sekitar 6 jam 30 menit).
Terkait kegiatan kedermawanan di Indonesia, WGR 2025 melaporkan bahwa Indonesia memiliki profil kedermawanan yang kuat di tingkat global dengan menempati posisi ke-21 dari 101 negara yang disurvai dengan proporsi pendapatan yang didonasikan sebesar rata-rata 1,55%. Angka ini menempatkan donasi Indonesia di atas rata-rata global (1,04%) dan mengungguli banyak negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Donasi di Indonesia umumnya disalurkan secara langsung kepada individu yang membutuhkan dan melalui lembaga amal dan organisasi keagamaan yang mencerminkan keberagaman cara memberi yang luas. Selain itu, masyarakat Indonesia cenderung mendukung berbagai tujuan donasi, dengan rata-rata pemberian ke 3-4 tujuan berbeda. Pengentasan kemiskinan, perlindungan anak-anak/remaja, serta bantuan kemanusiaan merupakan program yang banyak disumbang di Indonesia.
Hamid Abidin, peneliti filantropi di PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), melihat turunnya peringkat Indonesia di WGR 2025 sebagai hal yang wajar karena penelitian ini menggunakan metodologi yang berbeda, yang lebih terperinci dan inklusif dengan memasukkan aspek nilai donasi terhadap pendapatan serta keragaman jalur pemberian. Pendekatan ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kedermawanan global dibanding WGI yang mengandalkan frekuensi aktivitas memberi. Perubahan ini juga berpengaruh terhadap rangking negara-negara yang sebelumnya menduduki posisi atas di WGI. Meski tetap menunjukkan kedermawanan tinggi secara global, Indonesia tidak lagi menduduki posisi pertama dan tergeser oleh negara-negara dengan proporsi pendapatan donasi yang lebih besar, seperti Nigeria, Mesir dan Tiongkok, yang menempati 3 urutan teratas.
Hamid menekankan pentingnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amal atau filantropi sebagai faktor kunci dalam membangun budaya kedermawanan yang kuat. Tingkat kepercayaan terhadap lembaga amal dan organisasi sosial sangat berkorelasi dengan budaya menyumbang masyarakat. Tingkat partisipasi dan nilai donasi masyarakat jauh lebih tinggi jika mereka menilai lembaga filantropi/amal di negaranya dapat dipercaya dan memiliki peran penting dalam kehidupan sosial. Tren ini juga tergambar dalam WGR 2025 yang menunjukkan bahwa negara-negara dengan kepercayaan tinggi pada organisasi amal/filantropi (Afrika dan asia) menunjukkan tingkat partisipasi dan donasi yang lebih tinggi. Secara global, skor rata-rata untuk penilaian pentingnya peran lembaga amal dalam masyarakat adalah 10,98 dari 15, sedangkan skor kepercayaan terhadap Lembaga amal adalah 9,22 dari 15. “Tingkat kepercayaan ini berperan ganda, tidak hanya mendorong masyarakat untuk berkontribusi secara finansial, tetapi juga mendukung keterlibatan sukarela dan advokasi yang menyokong keberlanjutan sektor filantropi dan nirlaba,”katanya.
Hamid juga mengingatkan urgensi kebijakan dan dukungan pemerintah dalam membangun ekosistem filantropi yang berdampak pada meningkatnya keterlibatan dan jumlah donasi masyarakat. Kebijakan dan dukungan pemerintah melalui insentif, kampanye publik, maupun regulasi yang mempermudah dan memfasilitasi kegiatan filantropi akan memperkuat motivasi dan norma sosial tentang berbagi, serta mendukung budaya filantropi yang strategis dan berkelanjutan. Hal ini juga tergambar dalam WGR 2025 yang mencatat tingginya donasi di 42 negara yang pemerintahnya dinilai aktif mendorong kegiatan filantropi. Di negara-negara tersebut rata-rata pendapatan yang didonasikan oleh masyarakat lebih tinggi 1,7 kali lipat dibanding negara di mana pemerintah tidak mendorong kegiatan filantropi.
Menurut Hamid, Laporan WGR 2025 ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin filantropi di kawasan Asia Tenggara jika dukungan kebijakan pemerintah dan peningkatan kapasitas dan akuntabilitas lembaga filantropi terus ditingkatkan. Budaya kedermawanan yang kuat di Indonesia, yang diperkaya oleh motivasi agama dan sosial, memberikan landasan yang kokoh untuk memperluas dampak sosial melalui filantropi terstruktur dan inovatif. Sayangnya, banyak regulasi terkait filantropi sudah usang, bersifat restriktif dan tidak menyediakan insentif yang memadai bagi perkembangan kedermawanan.
Hamid mencontohkan belum direvisinya Undang-Undang 9/1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) yang sampai saat ini masih jadi rujukan bagi kegiatan penggalangan sumbangan di Indonesia. Sementara kebijakan insentif pajak untuk donasi di Indonesia juga jauh tertinggal dibanding negara-negara lain di dunia, bahkan di Asia Tenggara. “Secara global, Indonesia menjadi contoh inspiratif bagaimana negara berkembang dapat menggabungkan tradisi sosial dan modernisasi dalam meningkatkan kedermawanan yang berkelanjutan, sekaligus menunjukkan bahwa filantropi memainkan peran vital dalam pembangunan sosial di tengah tantangan ekonomi dan perubahan sosial yang dinamis. Potensi kedermawanan ini bisa lebih optimal jika pemerintah segera merevisi regulasi PUB yang sudah usang dan meningkatkan insentif pajak yang saat ini cakupan dan nilainya masih minim” katanya.