“Aku lebih senang pemuda yang merokok dan minum kopi sambil diskusi tentang bangsa ini, daripada pemuda kutu buku yang hanya memikirkan diri sendiri” –Ir. Soekarno. Begitulah caption yang ada dalam status WA salah satu pemuda yang berkuliah di kampus negeri ujung timur pulau Jawa. Pemuda yang lebih suka baca pesan dari dia daripada baca buku yang mencoba cari quotes pembenaran atas tindakan malas membaca. Semangatnya berapi-api mewarisi semangat dari presiden pertama, semangat yang tak pernah padam.
Malam itu ia ngopi dengan teman-temannya membicarakan tentang konspirasi dari lord Rangga dan kelesuan akibat pandemi. Seduhan kopi robusta panas ia seruputi perlahan. Kepulan asap rokok bergelombang-gelombang muncul berbarengan dengan gagasan dan aspirasi yang ia diskusikan bersama geng intelektualnya yang terinspirasi dari geng intelektual Ki Hadjar Dewantara, geng “Selasa Kliwon”.
Malam itu pemuda rantau dari pulau garam tersebut sedang ngopi di pojokan jalan Tidar, warung kopi dengan harga yang pas bagi kantong mahasiswa, tidak mahal juga tidak murah. Buku How To Have a Beautiful Mind Karya Edward De Bono, Rokok Sampoerna, dan tentunya segelas kopi menjadi background dalam status WA untuk menunjukkan eksistensinya menjadi mahasiswa. Ngopinya yang hampir tiap malam itu pun terinspirasi karena ingin menghilangkan kebodohan dan memunculkan sikap kiritis. Sebagaimana awal munculnya sikap kritisisme pada abad ke 17 di Eropa yang salah satunya dimulai dari menjamurnya coffe shop yang dijadikan tempat diskusi oleh pemuda yang tidak bisa menikmati bangku kuliah karena belum massifnya kampus pada zaman itu atau bagi mahasiswa yang ingin membicarakan hal yang tidak dibahas dalam perkuliahan. (The Cambridge History of Science Vol. 3)
Yah, begitulah salah satu kebiasaan mahasiswa yang kuliah di Jember. Daerah yang terkenal dengan karnavalnya, Jember Fashion Carnival (JFC). Karnaval tahunan terbesar di Indonesia yang digagas oleh almarhum Dynan Fariz pada tahun 2003 dengan jarak tempuh 3,6 kilometer di pusat kota. Di daerah kampus Jember, daerah Sumbersari banyak sekali warung kopi atau kafe untuk diskusi, nyari wifi, pasukan hape miring dengan game onlinenya, atau sekedar kongko-kongko dengan teman yang menarik untuk dikunjungi. Banyak tempat ngopi, mulai dari yang jualan di pinggir trotoar dengan kopi sachetan, penjual kopi keliling dengan sepedanya, kafe dengan model tradisional/vintage, kafe dengan model kekinian yang tempatnya penuh quotes, dan kafe-kafe mahal bagi kantong mahasiswa yang biasanya ada di mall atau di beberapa tempat di Jember. Kopi dengan segala macam variannya adalah minuman favorit hampir semua mahasiswa yang sudah biasa terpampang dalam status medsosnya dengan sedikit tambahan quote-quotes dari tokoh atau pemikirannya sendiri.
Warung kopi selalu menjadi ruang paling demokratis di kalangan mahasiswa, di mana semua kalangan dapat menjangkaunya, semua orang dapat bersuara tanpa ada tendensi dan intervensi dari siapapun. Tak peduli apapun jenis kopinya, mau Arabica, robusta, espreso, Americano, macchiato, moccacino, cappuccino, latte, atau bahkan bukan kopi. selalu ada waktu untuk menyisihkan duit bagi mahasiswa untuk ngopi sampai tidak sempat beli baju, hehehe
Menurut data dari BPS yang dilansir oleh katadata.id pada melemahnya konsumsi bidang pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan di kuartal IV 2019, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Sri Soelistyowati menjelaskan ada perubahan pola konsumsi pada generasi meilenial “anak-anak sekarang lebih senang nongkrong di kedai kopi daripada beli baju”. Lalu menurut Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Dr. Agung Wahyu Susilo, S.P., M.P. menyampaikan, “Tren konsumsi kopi cukup meningkat dalam waktu satu dekade terakhir dengan rata-rata naik 8-10 persen per tahun, di mana secara nasional perkapita atau perorang itu mengonsumsi 1,3 kilogram kopi per tahun”.
Yah hitung-hitung perilaku sering ngopi juga turut meningkatkan pendapatan petani kopi lokal dengan banyaknya permintaan dari kafe-kafe. Jember sendiri menurut data tahun 2020 memiliki luas area tanaman kopi 4.658 ha dengan produksi 2.369 ton dan produktivitas mencapai 11.859 kg/hektar. Bahkan menurut Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (APEKI) Jawa Timur, Misbachul Khoiri Ali Jember mampu memproduksi 7000 ribu ton kopi robusta pertahun. Hal ini juga dibarengi dengan keseriusan pemerintah Jember yang bekerja sama dengan Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakau dalam meningatkan pendapatan ekonomi di masa pandemi melalui potensi yang ada yaitu kopi.
Topografi Jember yang terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi juga sangat mendukung bagi perkebunan kopi. Jember memiiki kopi khas yaitu kopi Rengganis. Kopi ini tumbuh di lereng gunung Argopuro pada ketinggian kurang lebih 1400-1700 mdpl. Gunung Argopuro merupakan gunung dengan trek terpanjang di pulau Jawa dengan ketinggian 3.088 mdpl. Nama kopi Rengganis diambil dari nama salah satu dari tiga puncak gunung Argopuro yaitu puncak Rengganis. Kopi Rengganis memiliki keistimewaan dalam proses panen, pengeringan, dan pengelolaannya. Pertama menggunakan pemanenan honney. Proses pemanenan kopi yang memperhatikan warna dari buah kopi. kedua, dalam pengeringannya buah kopi dipisahkan dari kulitnya tetepi tidak dengan buah dagingnya. Hal itu yang membuat timbul rasa manis pada kopi Rengganis. Ketiga, dalam pengelolaannya biasanya menggunakan metode tubruk yang dihaluskan hingga ukuran 3, halus tapi sedikit kasar. Kopi Rengganis memiliki citarasa yang unik. Cobain aja deh saya kurang bisa menjelaskan jika soal rasa, hehehe.
Tentunya potensi-potensi daerah Jember dengan kopinya di atas perlu dikembangkan oleh berbagai pihak. Perlunya dukungan dan pembinaan dari otoritas setempat untuk meningkatkan kemampuan petani dalam mengolah dan menambah nilai pada produk kopi yang dihasilkan. Kesadaran penikmat kopi untuk turut membantu mendukung petani dengan mengonsumsi kopi lokal. Terutama bagi anak muda atau mahasiswa tetaplah ngopi karena selain bagus bagi akal sehatmu juga bagus bagi peningkatan ekonomi daerahmu.
Penulis : M. Ubaidullah Hadi (bukan pecinta kopi)