Wapres Gibran Rakabumingraka, tengah menjadi sorotan warganet Indonesia karena kesalahan fatalnya mengucapkan “para-para kyai” dan “para-para” yang lain ketika menyampaikan pidato dalam acara resmi sebuah lembaga sosial keagamaan. Pengulangan kata “para” yang bermakna banyak merupakan kesalahan mendasar dalam penggunaan bahasa Indonesia. “Anak SD pun tahu bagaimana menggunakan kata “para” yang benar,” begitu ucapan warganet.
Warganet rupa-rupanya tidak bisa menerima kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh seorang wapres. Apalagi penggunaan “para” dengan makna jamak sudah diajarkan sejak pendidikan dasar. Tak ayal, “keusilan historis” warganet pun menyasar riwayat pendidikan dan bermacam kekurangcakapan Wapres Gibran, seperti pidato sambutan dengan membaca teks.
Di mata para pendukung dan pemujanya, kesalahan pengucapan “para-para” mungkin dianggap kesalahan kecil yang terlalu dibesar-besarkan oleh warganet yang tidak bisa move on karena capres-cawapres jagoan mereka kalah dalam Pilpres 2024. Banyak di antara mereka mengatakan bahwa kesalahan seperti itu sangat biasa karena manusia biasa selip lidah. Jadi, terlalu berlebihan kalau dikaitkan dengan minimnya kapasitas Gibran sebagai wapres.
Namun, apakah benar kekeliruan dalam pengucapan “para-para” hanya masalah sepele yang semestinya tidak perlu dibesar-besarkan atau dijadikan isu untuk berpolemik di media berita ataupun media sosial? Saya pikir tidak sesederhana itu. Bagaimanapun juga, Wapres Gibran adalah pemimpin negara yang wajib paham penggunaan bahasa Indonesia yang benar dalam keperluan dinas.
“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri,” begitu bunyi Pasal 28 UU Nomor 24 Tahun 2009. Tidak hanya untuk pidato resmi, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 32 dan 33, dalam forum nasional dan lingkungan kerja pemerintah dan swasta, bahasa Indonesia wajib digunakan.
Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut tentu bukan bahasa Indonesia informal yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari, tetapi bahasa formal, Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang terikat aturan baku dalam pengucapan maupun penulisan. Itulah mengapa dalam Pasal 33 Ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2009 dinyatakan, “Pegawai di lingkungan kerja lembaga pemerintah dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia.”
Meskipun perintah tersebut tidak secara eksplisit menyasar presiden, wakil presiden, para menteri, pimpinan DPR, dan pimpinan lembaga negara lainnya, kita bisa menggunakan tafsir progresif, bahwa sebagai pemimpin dari para pegawai mestinya mereka memiliki kecakapan berbahasa Indonesia. Maka, kalau belum mampu berbahasa Indonesia, atas dasar kesetaraan konstitusional, mereka wajib pula untuk mengikuti pembelajaran. Adapun model pembelajarannya bisa diatur sedemikian rupa, menyesuaikan kesibukan mereka.
Kecakapan dalam penggunaan bahasa Indonesia memang harus dikuasai pemimpin dan para pejabat negara karena setiap ucapan mereka akan diperhatikan publik, termasuk warganet. Kalau ucapan mereka baik dan benar, tentu akan menjadi teladan para warga negara. Sebaliknya, kalau ucapan mereka salah menurut kaidah, jangan pernah menyalahkan publik ketika mereka mengkritisi, mencemooh, atau mengejek.
Apakah itu ekspresi kebencian karena Wapres Gibran bukan pilihan mereka? Bisa jadi faktor tersebut ikut mempengaruhi cemoohan publik. Namun, kita juga tidak menyalahkan mereka karena bersuara di tengah ramainya media baru adalah hal yang wajar dan menjadi hak konstitusional di negara demokrasi. Apalagi, kesalahan Wapres Gibran dalam menggunakan “para-para” memang bisa dikatakan keterlaluan. Jadi, wajar, banyak warganet, baik yang tidak mendukung Prabowo-Gibran ataupun golput dalam Pilpres 2024, mengkritisi dan mencemooh.
Era media baru menghadirkan mega-fleksibilitas dalam memaknai relasi kuasa, antara penguasa dengan warga negara. Dalam kondisi tersebut, relasi dominan-subordinat yang sangat kuat di mana pihak rakyat dilarang mencemooh penguasa mengalami pelemahan secara massif. Rakyat melalui bermacam saluran media sosial menemukan ruang publik baru di mana mereka bisa bersuara, baik dengan bahasa kritis-analitik maupun dengan bahasa yang sangat kasar dan vulgar. Sedikit saja kesalahan penguasa akan menjadi jejak digital yang seolah wajib hukumnya untuk diramaikan dengan bermacam ucapan, bahkan cacian.
Maka, kasus “para-para”-nya Wapres Gibran semestinya bisa menjadi bahan refleksi bagi Kantor Komunikasi Kepresidenan ataupun para pejabat dan staf yang bertugas untuk wapres agar benar-benar menyiapkan kecakapan berbahasa wapres dalam pidato atau acara-acara resmi kenegaraan. Sebagai Bahasa NKRI, bahasa Indonesia bukan hanya menjadi alat komunikasi.
Lebih dari itu, bahasa Indonesia merupakan identitas nasional yang tata bahasa, kosa kata, dan tuturannya menggambarkan nuansa kebangsaan dan budaya. Dengan kecapakan berbahasa Indonesia, semua warga negara, tak terkecuali Wapres Gibran akan menjadi bagian dari proses kebangsaan, kenegaraan, kebahasaan, dan kebudayaan Indonesia yang berbeda dengan negara-negara lain.