Penganiayaan di Boyolali dan Kekerasan Militer yang (Tidak Boleh) Berlanjut 

Saya yakin masih banyak tentara baik di Republik ini. Mereka adalah tentara yang dengan prinsip Sapta Marga mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. Sayang sekali, kebaikan itu dicoreng oleh tentara yang masih melakukan tindak kekerasan seperti mereka yang mengeroyok dan menganiaya relawan Ganjar Mahfud di Boyolali hingga bonyok. Penganiayaan yang dilakukan tentara dari Yonif Raider 408 terjadi pada Sabtu, 30/12/23, setelah para relawan mengikuti kampanye di Boyolali.

Informasi yang beredar mereka melakukan pengeroyokan dan penganiayaan karena para relawan menggunakan knalpot brong. Narasi ini yang menjadikan banyak warganet dan buzzer dari pihak tertentu mendukung tindakan tentara pengeroyok, meskipun lebih banyak pihak yang tidak setuju dengan tindakan tersebut. Bahkan, ada warga yang mengirim karangan bunga sebagai bentuk dukungan terhadap tindakan tentara. Gimmick seperti itu memang tidak dilarang, tetapi bisa memproduksi wacana dan praktik yang mendukung dan mewajarkan kekerasan militer berlanjut di Republik ini. Tentu saja, hal itu bisa menjadi sinyal mundurnya supremasi sipil dalam kehidupan demokrasi.

Saya sepakat bahwa suara knalpot brong itu bising. Namun, apakah para tentara itu berhak melakukan pelanggaran HAM dengan membuat bonyok para relawan Ganjar Mahfud MD hanya karena suara bising motor? Kalau memang mereka melanggar peraturan di jalan, bukankah ada polantas, bukankah ada Bawaslu? Atau, alih-alih menganiaya, bukankah para tentara pengeroyok itu bisa memperingatkan para relawan dengan menghentikan mereka?

Apa yang membuat para tentara pengeroyok itu menjadi  jumawa? Apakah karena status tentaranya? Apakah mereka dididik seperti itu dalam memperlakukan rakyat? Tentu tidak. Ingat, sehebat apapun tentara mereka makan dari gaji yang berasal dari pajak rakyat. Menjadi sadis ketika aparat yang digembar-gemborkan menjadi pelindung rakyat malah memamerkan kekerasan.

 

Penganiayaan ini menegaskan bahwa kekerasan oleh aparat negara nyatanya masih  berlangsung dan mengkhianati cita-cita besar Reformasi untuk meniadakan otoritarianisme sebagai warisan Orde Baru. Lebih dari itu, supremasi sipil yang mengedepankan keberdayaan dan keterlibatan masyarakat dalam proses bernegara dan berbangsa, termasuk pemilu, diciderai secara serius oleh kekerasan sadis tersebut.

 

Apa yang lebih mengerikan dari peristiwa ini adalah tindakan teror yang menyebabkan trauma bagi para korban dan masyarakat sipil secara luas. Keinginan mereka untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi melalui ragam ekspresi harus berhadapan dengan kekerasan militer yang memunculkan ingatan historis terkait tragedi di era Orde Baru. Kondisi inilah yang bisa saja menghadirkan trauma yang berujung pada keengganan masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses pemilu.

Selain itu, kekejaman yang dilakukan para pengeroyok tersebut bisa mempertebal kemarahan masyarakat yang masih menyimpan ingatan kolektif tentang kekerasan militer dari masa Orde Baru hingga saat ini. Kondisi itu, kalau dibiarkan bisa menyulut keberanian masyarakat untuk bertindak secara massif sebagai subjek yang ditindas. Ketika prinsip melindungi diubah secara semena-mena menjadi menganiaya masyarakat akan merekamnya sebagai kesewenang-wenangan yang seharusnya tidak dilakukan oleh tentara. Maka, mengubah logika kepatuhan menjadi perlawanan bukanlah hal yang susah. Kalaupun masyarakat masih diam dan memilih saluran lain untuk mengekspresikan kemarahan, seperti media sosial, itu lebih karena mereka masih ingin melihat keseriusan Mabes TNI untuk menindak para tentara pengeroyok tersebut.

Kita harus mengapresiasi tindakan masyarakat, khususnya para relawan Ganjar Mahfud dan anggota PDIP, yang tidak terpancing untuk membalas tindakan para tentara pengeroyok itu dengan melakukan demonstrasi besar-besaran atau amuk di markas Yonif Raider 408. Alih-alih, mereka dari tingkat bawah hingga pusat, memilih untuk menempuh jalur hukum yang berlaku dengan catatan proses hukumnya dilakukan dengan serius. Ini menunjukkan semakin dewasanya mereka dalam memahami permasalahan  yang melibatkan aparat negara. Lebih dari itu, kekerasan oleh aparat negara tidak harus ditiru atau dijadikan rujukan oleh masyarakat untuk membalas tindakan otoriter tersebut.

Tindakan tegas sedang ditunggu oleh para korban, keluarga mereka, dan masyarakat. Keputusan keluarga mengembalikan bingkisan dari institusi tentara akibat tindakan para pengeroyok merupakan sinyal gamblang bahwa publik sudah muak dengan cara-cara yang tampak simpatik tetapi sejatinya berpotensi mengaburkan masalah yang sebenarnya.  Alih-alih, mereka ingin Mabes TNI melalui institusi terkait memberikan tindakan tegas kepada para pelaku sehingga bisa menghasilkn efek jera. Rakyat kecil sudah cerdas dan kritis dalam menyikapi kejahatan oleh aparat negara.

Kita mengapresiasi langkah cepat Mabes TNI yang cepat memproses para tentara pengeroyok itu melalui Denpom Surakarta. Namun, apa yang lebih penting adalah memastikan bahwa kekerasan militer seperti di Boyolali tidak terulang lagi. Jangan sampai pelanggaran HAM yang dilakukan terus terjadi. Supremasi sipil adalah tujuan utama dari demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, ketika masih banyak aparat militer menunjukkan arogansi melalui tindak kekerasan, itu adalah kemunduran demokrasi. Dengan tindakan tegas Mabes TNI, masyarakat sipil akan merasa aman. Selain itu, anggapan sebagian publik bahwa aparat negara tidak netral dalam pemilu 2024 tidak akan menguat.

Apa yang semestinya tidak dikembangkan oleh pihak-pihak yang menangani kasus penganiayaan ini adalah narasi kesalahpahaman. Dari video CCTV yang beredar dan pengakuan korban, para tentara pengeroyok langsung menghadang dan menganiaya mereka. Jadi, penganiayaan itu adalah tindakan sengaja. Kalau kesalahpahaman, semestinya di antara pihak pengeroyok dan korban terjadi komunikasi atau perdebatan terkait knalpot brong yang berujung pada terjadinya salah paham dan kekerasan. Maka, narasi kesalahpahaman sejatinya bisa dibaca sebagai wacana untuk mengurangi atau meniadakan aspek kesengajaan dalam penganiayaan di Boyolali.

Tidak lupa kita harus mengingatkan kepada partai politik, tim kampanye, dan warga agar mengurangi dan kalau bisa menghindari konvoi yang menimbulkan suara bising berlebihan. Memang banyak yang beranggapan bahwa musim kampanye sudah biasa peserta menggunakan motor brong. Namun, itu tidak harus dijadikan tradisi setiap musim kampanye. Konvoi dan pengerahan massa tentu tidak menjadi masalah, tetapi harus tetap mengendepankan etika yang dari dari waktu ke waktu harusnya semakin baik. Pendidikan politik yang mengedepankan partisipasi, kritik, dan kedewasaan masyarakat harus terus dijalankan sehingga kesadaran publik terhadap proses demokrasi tidak hanya meriah pada saat kampanye dan konvoi.

Pos terkait

banner 468x60