Pertunjukan Kolosal Krida Sinatria Bhumi Watangan Ajak Warga Mencintai Agama, Budaya dan Lingkungan

  • Whatsapp
Sumber Foto : Panitia Kegiatan Krida Sinatria Bhumi Watangan

Sebagai upaya kreatif untuk terus berbudaya, beragama, dan berkerakyatan serta mencintai lingkungan, Pemerintah Desa (Pemdes) Lojejer bekerjasama dengan DeKaJe, Al-Ghofilin, NiraEntas FIB UNEJ, Pusakajaya-UNEJ, dan Daya-Jember menggelar pertunjukan kolosal yang menghadirkan bermacam karya kaum muda Jember. Acara yang malam puncak even Krida Sinatria Bhumi Watangan ini diselenggarakan di Halaman Balai Desa Lojejer, (25/6).

Pertunjukan kolosal yang dihadiri oleh lebih dari dua ribu warga ini mengambil tema “Ruwat Manusia Rumat Bumi.” Bahwa manusia memiliki nafsu luar biasa untuk menguasai segalanya dalam kehidupan ini. Nafsu itu seringkali memunculkan banyak masalah, termasuk menghancurkan sendi berbangsa dan merusak lingkungan hidup. Untuk itulah batin dan pikiran manusia perlu di-ruwat agar bisa kembali ke kondisi harmoni.

Acara gelar seni diawali sambutan Kepala Desa Lojejer, Mohamad Sholeh. Dengan riang gembira, Kades menegaskan bahwa acara Krida Sinatria Bhumi Watangan akan digelar setiap tahun. Penonton yang memadati halaman balai desa pun bersorak gembira mendengarnya.

“Atas nama Pemdes dan warga Lojejer, saya berharap tim DeKaJe, UNEJ, dan Al-Ghofilin selalu mendampingi untuk kegiatan-kegiatan budaya di Lojejer. Ini hanyalah awal dari impian kita bersama untuk memajukan budaya, agama sekaligus menjaga Watangan,” tutur Kades penuh semangat.

Sambutan berikutnya oleh Gus Baiquni Purnomo, pengasuh Majelis Sholawat dan Dzikir Al-Ghofilin Talangsari Jember. Gus Baiquni menyampaikan bahwa acara ini menunjukkan bahwa agama dan budaya bisa berjalan harmonis untuk membersamai warga masyarakat dalam permasalahan sosial, termasuk lingkungan.

“Jember harus menjadi titik awal kebangkitan untuk menyatukan kembali agama dan budaya. Karena keduanya itu menyatu untuk kebaikan umat manusia dan lingkungan,” ucap Gua Baiquni penuh empati.

Setelah doa yang dipimpin Gus Baiquni, para santri Al-Ghofilin menyuguhkan sendratari Roro Jonggrang Bandung Bondowoso. Sendratari ini menegaskan bahwa manusia harus berkomitmen terhadap janji, bukan mengkhianatinya hanya karena nafsu dan amarah. Kalau itu terjadi, semua tatanan yang baik akan berantakan.

Para santri remaja begitu total menggarap cerita legenda tersebut. Gus Jaddin Mujawad turun langsung melatih dan mengarahkan para santri. Kehadiran para santri ini menunjukkan bahwa lembaga agama bisa terlibat secara ajeg dalam pengembangan kreativitas kaum muda dan budaya secara umum. Tentu itu bisa menjadi model bagi lembaga-lembaga lain.

Gus O’ong Faturahman, pengasuh Kebun Sanggar Bermain (KSB) Mumbulsari, mengisi pertunjukan berikutnya dengan membacakan puisi “Dari Warga Lojejer untuk Presiden Joko Widodo”. Puisi ini berisi pertanyaan nylekit tentang posisi rakyat di ujung selatan Jember dalam peta Indonesia. Ketika pemkab dan pemprov kurang mempedulikan aspirasi warga dan para seniman, maka menyampaikan puisi kepada Presiden adalah sebuah pilihan. Bahwa warga dan anak-anak Lojejer masih ingin hidup bahagia, menikmati kesuburan tanah dan keragaman budaya. Bahwa mereka tidak ingin Watangan hancur oleh tangan-tangan angkara murka.

Penampilan berikutnya adalah atraksi Leak dan Caplokan yang menggambarkan kejahatan karena nafsu angkara murka. Para seniman muda dari Kelompok Citra Budaya Lojejer pimpinan Pak Natun menampilkan gambaran tersebut melalui adegan tari yang bergerak dinamis dan rancak ke segala penjuru mata angin.

Nafsu manusia untuk menguasai segalanya terus berlanjut, termasuk menguasai hutan dan segala isinya. Hutan yang begitu baik kepada manusia pun rusak. Satwanya punah. Itu digambarkan melalui adegan Can Macanan Kaduk atraktif yang ditampilkan oleh anak-anak muda Putra Sakti Pakusari.

Harimau yang dulu banyak terdapat di kawasan Jember pun punah. Kalau perusakam hutan secara massif terus dibiarkan, maka bisa berbahaya bagi kehidupan warga masyarakat. Bahkan, landasan bernegara, Pancasila dan UUD 1945 pun mau dirusak oleh para elit politik yang sudah dipenuhi hawa nafsu. Mereka mau menyiasati agar bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Tatanan yang sudah disiapkan para pendiri Republik mau dihancurkan. Ini tentu menjadi tanda bahaya yang sebenar-benarnya.

Para kesatria pun turun gunung untuk mengatasi semua kerusakan yang diperbuat manusia. Mereka adalah para kesatria yang tulus mengabdikan hidupnya untuk kebaikan manusia dan alam, rakyat, agama, budaya, bangsa dan negara. Tentu ini menjadi harapan kita semua. Adegan jathil perempuan menggambarkan itu semua. Untuk menghadapi semua kerakusan dan angkara murka, maka harus dilakukan dengan “niat ingsun” dan diwujudkan usaha sungguh-sungguh dan riang gembira.

Para bidadari turun memberikan energi positif mereka untuk terus melanjutkan kebaikan di muka bumi. Para penari dari Sanggar Sotalisa Jember, menggambarkan energi itu. Mereka menyapa lebih dari seribu warga yang menghadiri pertunjukan. Energi kebaikan harus terus disebarkan agar manusia dan bangsa ini bisa menuju cita-cita nasional sekaligus terus merawat ligkungan hidup.

Ketika manusia sudah mampu menemukan formula keseimbangan dan energi kebaikan, yang tumbuh adalah bhakti kepada bumi pertiwi. Harapan itu digambarkan melalui tari Bhekti Segoro  yang dipersembahkan oleh mahasiswa yang bergabung dalam UKM Kesenian Universitas Jember. Para penari mengingatkan bahwa lautan luas seperti Samudra Indonesia memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Maka, warga harus bersemangat untuk terus merawat laut dengan tindakan-tindakan baik.

Pertunjukan multibentuk malam ini ditutup dengan kehadiran Gus Jaddin bersama-sama semua talenta. Beliau mengajak seluruh warga yang hadir untuk terus memperjuangkan kebaikan berdasarkan agama dan budaya. Itulah kunci kebaikan, jalan kehidupan yang harus diperjuangkan dengan riang gembira.

Pos terkait