Pidato Emosional Bung Hatta Di Sidang Pleno KNIP

Bagaimana mungkin Hatta bisa seemosional itu? … Mungkin begitu yang terlintas di pikiran tokoh macam Soekiman Wirjosandjojo dan Suwirjo. Yang pertama adalah tokoh Masyumi dan yang kedua tokoh PNI. Keduanya mewakili fraksi kuat di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan tegas menentang politik perundingan yang dijalankan Kabinet Sjahrir. Hasil Perundingan Linggarjati menunggu ratifikasi dari kedua belah pihak yang bersengketa. Di Jakarta, dr. Van Mook dan pemerintah Belanda di Den Haag mulai berubah pikiran. Mereka hanya mau menerima hasil perjanjian yang sudah dimodifikasi sesuai kepentingan politiknya. Di Jogja, di Ibukota revolusi yang menjadi benteng terakhir pertahanan Republik, perpecahan telah muncul di depan mata. Perbedaan pendapat antara para pendukung dan penentang politik perundingan di tubuh Republik bisa pecah menjadi pertempuran terbuka setiap saat.

Pidato Bung Hatta di depan Sidang Pleno ke-5 KNIP di Malang yang berlangsung dari 25 Pebruari sampai 6 Maret 1947 itu memang unprecedented. Sidang KNIP di Malang ini sering dianggap sebagai sidang terpanas yang pernah berlangsung dalam KNIP. Di Gedung Sarinah yang semula bernama Societiet Concordia inilah kelangsungan hidup Republik Indonesia diperdebatkan dengan seru. Tidak pernah ada kejadian sidang KNIP sebelumnya sekeras di gedung bersejarah yang berlokasi di Kota Malang itu.

 

 

Gedung Sarinah Malang
Gedung Sarinah Malang 

 

Bung Hatta di depan corong menggunakan kata-kata yang tegas dan jelas-jelas mengarahkan pidatonya kepada para penentang ratifikasi Perjanjian Linggarjati. Soekiman yang juga senior Hatta saat memimpin organisasi Perhimpoenan Indonesia di Belanda, dan Hatta menggantikan kedudukannya saat jabatan Soekiman berakhir, benar-benar kaget. Di ujung pidato pria yang biasa lembut, santun, dan pandai menahan diri itu muncul kalimat bernada mengancam yang luar biasa serius. Hatta mengatakan bahwa revolusi dalam tahap kritis dan menentukan, perpecahan di kalangan para pemimpin akan membahayakan negara, dan kedudukan Republik harus diperkuat, baik di mata rakyat maupun di kalangan masyarakat internasional. Dwitunggal Soekarno-Hatta siap menghadapi masa-masa yang berat bagi kelangsungan hidup Republik itu.

“Jika saudara-saudara punya dwitunggal yang lain yang siap memimpin perjuangan silakan! Kami akan mengundurkan diri” Gertak Hatta dalam pidatonya sambil malangkrik, menyilangkan tangan di pinggang, persis seperti dalam foto yang diambil seorang fotografer Belanda dalam persidangan di Malang itu.

Pidato Bung Hatta di Sidang KNIP
Pidato Bung Hatta di Sidang KNIP

 

Orang-orang Masyumi dan PNI kaget. Biasanya hanya Bung Karno yang bisa begitu. Mereka juga bertanya-tanya, kenapa Bung Karno seolah memilih di belakang, dan memberi panggung kepada Hatta. Soal gertakan Hatta itu, Soekiman jauh hari mengatakan, bagaimana mungkin dalam tahap perjuangan segenting itu kita mengganti dwitunggal? Lagian, siapa lagi pemimpin kita yang punya wibawa setinggi dan sekuat Soekarno-Hatta?

Perlahan tersingkap, ternyata ada permainan politik tingkat tinggi di belakang pidato emosional Hatta. Makin jelas proses ratifikasi Perjanjian Linggarjati di KNIP akan dilakukan lewat cara di-stem atau voting. Para pendukung dan penentang politik perundingan mulai menghitung kekuatan mereka. Sebagian besar orang di KNIP sebenarnya tahu, jika Masyumi dan PNI tetap kompak bersikukuh menentang Linggarjati, voting akan dimenangkan para penentang.

Soekarno-Hatta paham persis suasana dalam KNIP. Akhirnya, ditempuh negosiasi dan lobby politik. Bung Karno menenangkan kawan-kawannya di PNI, dan Hatta melakukan hal yang sama ke orang-orang Masyumi. Hasilnya ternyata masih belum final. Gelombang penentangan terhadap Linggarjati masih kuat. Maka, cara terakhir yang masih dalam batas-batas konstitusional pun dilakukan. Bung Hatta misalnya, mengatakan bahwa status KNIP bersifat sementara dan KNIP menjalankan tugasnya bersama pemerintah. KNIP juga bukan hasil pilihan rakyat, dan dibentuk tidak melalui pemilu. Ini artinya, legitimasi KNIP tidak kuat. Pemerintah berpendapat, untuk memperkuat kedudukan KNIP, maka perlu diperluas keterwakilannya. Caranya adalah dengan menambah anggota baru KNIP.

Menambah anggota baru KNIP. Inilah politik tingkat tinggi dari Dwitunggal Soekarno-Hatta. Setelah keputusan menambah anggota KNIP disetujui, maka ditunjuk dan diangkatlah anggota baru. Diam-diam, para anggota baru ini diberi taklimat bahwa mereka mengemban misi menyelamatkan negara dalam situasi genting, dan karena itu harus membela ratifikasi Perjanjian Linggarjati. Anggota baru ini cukup banyak dan secara langsung merubah perimbangan kekuatan antara pendukung dan penentang Linggarjati di tubuh KNIP.

Maka voting pun dilakukan, hasilnya adalah suara para pendukung Perjanjian Linggarjati mengungguli suara para penentang perjanjian itu. Perjanjian Linggarjati dengan segala hasilnya akhirnya diterima dan diratifikasi oleh KNIP. Pemerintahan Sjahrir mandatnya diperkuat untuk melanjutkan politik perundingan. Di masa-masa yang demikian genting, kerjasama erat dan bahu membahu antara Soekarno-Hatta bisa menyelamatkan negara dan revolusi. Ratifikasi Perjanjian Linggarjati oleh kedua pihak yang bertikai, antara RI dan pemerintah Belanda, akhirnya dilakukan di Jakarta.

Negara dan revolusi memang berhasil diselamatkan. Kedudukan RI di dunia Internasional setelah ratifikasi Linggarjati makin kuat. Pengakuan terhadap kemerdekaan RI pun mengalir dari berbagai negara. Tetapi pada saat yang sama, kekuatan besar yang menentang perjanjian itu, baik di tubuh republik maupun di negeri Belanda sendiri, tengah memperkuat diri untuk menjalankan agenda politiknya masing-masing.

Agresi Militer Belanda yang pertama akhirnya pecah pada Juli 1947. Realitas politik dengan jelas menunjukkan politik Linggarjati sudah tak mampu bertahan. Kedua pihak yang bertikai pun merespon perkembangan itu dengan strategi masing-masing. Para pendukung politik perundingan dengan pihak Belanda mungkin tidak lagi bisa menentukan jalannya peristiwa dan perkembangan situasi. Tetapi ada warisan yang tak pernah berubah oleh perkembangan sejarah pada tahap berikutnya.

Politik Linggarjati yang dirancang dan ditempuh Sjahrir, lalu didukung dan diselamatkan oleh Soekarno-Hatta, telah sukses menjadikan masalah dekolonisasi Indonesia menjadi masalah internasional dan secara resmi menjadi agenda persidangan Dewan Keamanan PBB. Rancangan Sjahrir yang ahli hukum itu terbukti bisa mengikat dan mengendalikan nafsu kolonial Belanda yang mau menegakkan orde kekuasaannya kembali di Indonesia. Bahkan, kini masyarakat Internasional pun mendukung kemerdekaan Republik Indonesia dan memaksa Belanda mengakui realitas politik itu.

Pada titik Linggarjati inilah kejadian-kejadian berikutnya mendapatkan sumber political reasoning, meskipun akhirnya para penentang perundingan di belakang hari juga makin mendapatkan momentum dalam mewujudkan interpretasinya mengenai bagaimana seharusnya kemerdekaan nasional diperjuangkan.

 

Penulis : Hadi Winarto 

Penyunting : Redianto Hisyam Farisi

Pos terkait

banner 468x60