Lumajang adalah Kabupaten di Jawa Timur dengan nilai historis yang panjang. Terhitung usia Kabupaten Lumajang berdasarkan naskah yang tercatat di Prasasti Mulamarulung, pada tahun 2023 menginjak usia ke 768. Oleh karena itu, daerah yang sudah berabad-abad usianya ini pasti punya budaya ke-khasannya sendiri.
Tapi sungguh ironis, ketika suatu daerah dengan budaya yang bervalue tinggi tapi generasi mudanya tidak mengenalnya. Lantas timbul sebuah diskursif, untuk siapa budaya ini dan untuk apa budaya ini ada. Mungkin saja budaya ini ada dimaksudkan agar generasi muda Lumajang bisa berpikir bahwa dahulu kala para leluhur Lumajang sangat inovatif. Tetapi jika kebudayaan ini dilupakan generasi muda Lumajang. Maka sudah dipastikan Lumajang akan tiba di fase krisis kebudayaan.
Hal ini membuat penulis merasakan keresahan yang begitu dalam. Para penggiat kesenian dan kebudayaan di Lumajang hampir kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah Lumajang. Mereka-mereka ini hidup dengan serba keterbatasan. Ya keterbatasan dalam hal ekonominya. Rata-rata penggiat kesenian dan kebudayaan asli Lumajang hidup dalam bayang-bayang ekonomi yang memprihatinkan.
Budaya asli Lumajang sendiri sangat beragam. Mulai dari yang memadukan tarian manusia menggunakan hewan yakni Jaran Kencak. Yang dimana pada tahun 2015, Jaran Kencak diresmikan menjadi warisan budaya tak benda milik Lumajang dibuktikan dengan ditemukannya relief kuda berhias di Candi Kedungsari, Desa Kedungmoro, Kecamatan Kunir, Kabupaten Lumajang.
Jaran kencak terdiri dari dua jenis yakni Jaran Kencak Manten dan Jaran Kencak Manjeng (berdiri atau atraksi). Perbedaannya, Jaran Kencak Manten dipenuhi dengan aksesoris seperti manik-manik dan pelana berhiaskan bulu merak. Biasanya digunakan sebagai arak-arakan. Sedangkan Jaran Kencak Manjeng minim aksesoris. Biasanya hanya dilengkapi dengan selempang dan penutup mata yang dihias. Setiap satu jaran kencak memiliki satu orang pawang dan satu orang pendamping.
Dari pengembangan Jaran Kencak. Masyarakat Lumajang berhasil mengembangkan dan menghasilkan kesenian baru bernama Jaran Slining. Jaran Slining sendiri merupakan pertunjukkan tari asal Lumajang yang merupakan turunan dari kesenian Jaran Kencak. Biasa dimainkan oleh dua orang berpasangan. Kesenian ini biasa digunakan untuk pengiring manten kawin atau manten sunat. Satu orang sebagai penari yang menunggangi kuda-kudaan dan satu orang lagi sebagai pengencak yang membawa yang membawa pecut. Keduanya menari diiringi dengan iringan musik dari gendang, danglung, dan gong.
Kemudian ada kesenian Tari Topeng Kaliwungu. Tari Topeng ini merupakan akulturasi dari Tari Topeng Madura dan Tari Topeng Jawa. Dari sinilah lahir Tari topeng Kaliwungu. Tari Topeng Kaliwungu sendiri merupakan tari tunggal, dengan menggunakan topeng sebagai properti. Secara filosofis, Tari Topeng Kaliwungu ini memiliki makna seburuk-buruknya manusia pasti memiliki kelembutan dalam hatinya.
Warisan leluhur ini merupakan kekayaan local wisdom Lumajang yang bilamana dikelola dengan baik akan mengangkat nama Lumajang dikanca Nasional maupun Internasional. Sayangnya, harapan ini seakan utopis dilakukan jika melihat beberapa tahun ke belakang tidak ada satu pemimpin Lumajang yang consen berbicara di bidang kesenian dan kebudayaan tersebut. Tapi penulis berkeyakinan jika usaha kesadaran yang dimulai dari pemimpinnya nanti untuk sungguh-sungguh mengelola kesenian dan kebudayaan asli Lumajang tadi, akan sampai pada besarnya kekayan budaya Lumajang yang lebih dikenal banyak orang.
Bicara soal Pemimpin, Masyarakat Lumajang akan menghadapi pemilihan bupati yang akan digelar pada tanggal 27 November 2024 mendatang. Hari termakan waktu, Pilkada Lumajang semakin dekat dan lagi-lagi tidak ada satu bakal calon bupati Lumajang yang berkomitmen untuk membahas secara fundamentalis kesenian dan kebudayaan khas asli Lumajang.
Hal ini merupakan sebuah kontradiktif besar ketika ada bakal calon bupati yang menggembor-gemborkan bahwa dirinya asli Lumajang tapi enggan membahas kesenian dan kebudayaan asli Lumajang untuk tidak dibahas mendalam. Bakal calon pemimpin seperti itu harusnya malu punya mindset yang menganggap rakyat tidak lebih dari sebuah suara untuk kemangan belaka.
Para calon pemimpin tersebut hanya sibuk bertamasyah di desa-desa sambil membagikan minyak goreng dan baju yang terpampang besar foto dirinya. Mereka tidak membawa gagasan soal kesenian dan kebudayaan Lumajang yang dewasa ini kian dilupakan. Sampai kapan hal ini dibiarkan.
Terlebih para pelaku kesenian dan kebudayaan Lumajang pun ke distrak apabila calon pemimpin Lumajang nantinya lupa akan budaya daerahnya sendiri. Hal ini tentu akan berakibat di claim nya budaya khas Lumajang oleh daerah lain. Memang, kebiasaan dari Pemerintah memang selalu mencari payung ketika hujan dengan maksud selalu bertindak ketika sudah kejadian. Bukannya mempersiapkan terlebih dahulu. Tulisan ini merupakan bentuk krtik keras penulis terhadap siapapun bakal calon Bupati Lumajang yang akan maju di Pilkada Lumajang 2024 tetapi tidak membawa gagasan tentang kesenian dan keudayaan asli Lumajang.