Berbicara tentang satwa langka, Indonesia dikenal memiliki berbagai spesies endemik yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Salah satu satwa langka yang cukup unik ternyata tidak ditemukan di pulau besar seperti Kalimantan atau Sumatra, melainkan di sebuah pulau kecil yang terletak di tengah Laut Jawa. Pulau tersebut adalah Pulau Bawean, yang berada sekitar 135 kilometer di utara Kota Gresik, Jawa Timur.
Satwa langka yang dimaksud adalah Rusa Bawean (Axis kuhlii), mamalia khas Pulau Bawean yang memiliki ciri khas berupa ukuran tubuh kecil dan tanduk menyerupai kijang. Keunikan fisiknya membuat Rusa Bawean pernah dijadikan sebagai maskot Asian Games 2018 Jakarta–Palembang, dengan nama Atung, salah satu dari tiga maskot yang mewakili keberagaman fauna Indonesia, bersama Bhin-Bhin (Cendrawasih) dan Kaka (Badak Bercula Satu).
Meskipun pernah mendapat sorotan internasional, populasi Rusa Bawean kini berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data dari Balai KSDA pada tahun 2022, jumlah populasi satwa ini diperkirakan hanya sekitar 287 ekor. Jumlah tersebut tergolong sangat rendah, sehingga Rusa Bawean dikategorikan sebagai satwa “Critically Endangered” (CR) oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), yang berarti berisiko sangat tinggi terhadap kepunahan di alam liar.
Salah satu penyebab utama menurunnya populasi Rusa Bawean adalah perburuan liar, baik untuk konsumsi maupun perdagangan ilegal. Ironisnya, sempat ditemukan adanya akun media sosial yang secara terang-terangan memperjualbelikan satwa ini, yang jelas-jelas melanggar hukum. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAE), khususnya Pasal 21 ayat (2), tindakan menangkap, membunuh, memelihara, mengangkut, hingga memperjualbelikan satwa dilindungi, baik dalam keadaan hidup maupun mati, adalah tindakan yang melawan hukum dan dapat dikenai sanksi pidana.
Selain itu, karakter Rusa Bawean yang cenderung sensitif dan mudah stres saat berdekatan dengan manusia juga menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pelestarian. Satwa ini cenderung menghindari interaksi dengan manusia, sehingga habitatnya perlu dijaga dari gangguan luar.
Sejarah mencatat bahwa kelangkaan Rusa Bawean sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda. Saat itu, eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam menyebabkan berbagai satwa mengalami tekanan, termasuk Rusa Bawean. Namun, ironi terjadi ketika pemerintah kolonial justru sudah mulai menetapkan perlindungan terhadap rusa-rusa tertentu, termasuk upaya awal konservasi terhadap spesies ini.
Oleh karena itu, upaya pelestarian Rusa Bawean harus menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat lokal, peneliti, dan pihak swasta. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah pembangunan ekowisata berbasis konservasi, yang tidak hanya menjaga kelestarian ekosistem tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar secara berkelanjutan.
Dengan pendekatan yang kolaboratif dan berwawasan lingkungan, keberadaan Rusa Bawean sebagai simbol kebanggaan keanekaragaman hayati Indonesia dapat terus dijaga, sehingga tidak hanya menjadi kenangan sebagai maskot olahraga semata, tetapi benar-benar hidup dan lestari di habitat aslinya.