Squid Game: Bermain dalam Bingkai Komunikasi Politik

Artikel ini mengandung spoiler, bagi yang belum menonton Squid Game tidak diperkenankan membaca. Sebab, saya juga misuh-misuh sepanjang akhir. Selain karena setiap permainan dibuat menegangkan, juga karena sudah tahu siapa dalang Squid Game dari Twitter. Menonton film memang lebih baik berangkat dari ruang kosong. Setelahnya kita bisa merasa sesak, marah, bahkan kecewa secara alamiah.

Series Netflix Squid Game menyorot konflik sosial di Korea Selatan. Ratusan orang mengalami masalah finansial. Mereka terlilit hutang, sulit membayar akses kesehatan, dan terjebak dalam lubang kemiskinan. Sutradara Squid Game, Hwang Dong Hyuk menjadikan permainan anak di Korea Selatan sebagai plotnya.

Biasanya, permainan anak digunakan sebagai aktivitas rutin yang menyenangkan. Namun, dalam series Squid Game, sang sutradara mengelaborasi perasaan takut dan tegang dalam sebuah permainan. Kita akan menyaksikan orang dewasa bermain permainan anak. Namun, yang dipertaruhkan bukan hanya rasa malu atau beberapa kelereng, tetapi nyawa mereka.

Ada enam jenis permainan dalam series ini, yakni Red Light, Green Light, Dalgona atau Ppopgi, Tarik Tambang, Kelereng, Permainan Pijakan Kaca, dan Squid Game. Setiap permainan, masing-masing pemain harus berhasil sampai finis. Sementara yang kalah akan mati dalam keadaan bersimbah darah.

Dari ratusan orang yang berpartisipasi, hanya menyisihkan satu pemenang yang membawa pulang 45,5 miliar won. Sehingga, dalam setiap permainaan tercipta kontestasi. Dengan berbagai cara, meski harus mecundangi kawannya. Jika tidak menusuk dari belakang secara diam-diam, maka akan ditembak secara terbuka. Di depan mata.

Bentuk Komunikasi Politik dalam Squid Game

Series Squid Game melibatkan ratusan partisipan. Ada beberapa adegan krusial dalam series, yang menggunakan komunikasi politik untuk melancarkannya. Ketimbang mengklaim Squid Game sebagai representasi Teori Politik Hobbes. Saya lebih tertarik untuk menguraikan apa saja bentuk komunikasi politik dalam series ini.

Dari sekian definisi yang ditawarkan oleh para ahli politik, saya akan mengutip definisi milik Dan Nimmo. Nimmo mendefinisikan komunikasi politik sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik.

Menurut Nimmo, ada tujuh bentuk komunikasi politik yakni retorika, agitasi politik, propaganda, public relation, kampanye politik, lobi politik, dan lewat media massa. Saya akan menguraikan tiga bentuk komunikasi politik dalam series ini berupa retorika, agitasi, dan propaganda.

Aristoteles mendefinisikan retorika sebagai seni persuasi dengan uraian yang singkat, jelas, dan dapat meyakinkan dengan penggunaan bahasa yang indah. Retorika menjadi kunci utama dalam series ini. Apabila kemampuan retorika perekrut peserta yang diperankan Gong Yoo tidak apik, tidak ada satupun peserta yang akan ikut dalam permainan.

Pada perekrutan Seong Gi-Hun, Gong Yoo membujuknya dengan kalimat yang meyakinkan. Kurang lebih seperti ini, ”Pak, kau bisa dapat banyak uang dengan memainkan ini. Apa kau mau mencobanya?”

Mulanya, Seong Gi-Hun yang kelak akan menjadi peserta nomor urut 461, menolaknya. Gong Yoo sigap menghadapi penolakan tersebut, ia langsung menjelaskan lingkaran setan yang tengah dihadapi oleh Seong Gi-Hun. Sebagai pertemuan kali pertama, Gong Yoo sangat marah. Merasa identitasnya yang malang dilucuti oleh orang asing.

Namun, dengan penuh percaya diri dan tanpa fafifu. Gong Yoo mengatakan ini kepada Seong Gi-Hun, “Sisa slot kami tak banyak. Hubungi aku.” Kalimat itu sontak membuat Seong Gi-Hun seolah tidak punya pilihan lain. Dan berhasil mengantarkan Seong Gi-Hun menjadi peserta nomor urut 461.

Seandainya, Gong Yoo tidak berhasil memikat Seong Gi-Hun (serta ratusan peserta lainnya), kebengisan dalam Squid Game tidak pernah terjadi. Kemampuan retorika Seong Gi-Hun sangat krusial. Kemampuannya menjadi pintu sekaligus ujung tombak dalam Game Squid.

Hal lain yang sama krusialnya adalah agitasi. Agitasi adalah upaya untuk menggerakkan masa melalui lisan maupun tulisan untuk membangkitkan emosi. Setelah perekrutan selesai, ratusan peserta dikumpulkan dalam satu ruang. Mereka digiring untuk melakukan permainan Red Light, Green Light.

Rupa-rupanya, para seperti kaget bukan kepalang. Para peserta yang gugur dalam permainan, langsung dibunuh. Dari 461 peserta, menyisakan 201. Mereka kemudian memohon belas kasihan agar dibiarkan hidup. Dan berjanji akan melunasi hutang-hutangnya.

“Aku tak butuh hadiah uang atau apapun itu. Tolong biarkan aku keluar dari sini,” ungkap peserta nomor urut 066. Luapan emosi tersebut memancing peserta nomor urut 218 Cho Sang-Woo, sebagai peserta terpintar, untuk angkat bicara. “Pasal 3 di formulir persetujuan, permainan bisa dihentikan. Jika mayoritas setuju. Apa benar begitu?” tanyanya.

Pertanyaan tersebut dibenarkan, akhirnya Cho Sang-Woo bernegosiasi meminta dilaksanakan voting. “Kalau begitu, biarkan kami mengambil suara. Jika mayoritas ingin meninggalkan tempat ini, kau harus melepaskan kami,” ungkap Cho Sang-Woo. Akhirnya, para peserta mengambil suara. Hasilnya, permainan dihentikan.

Kendati mereka berhasil keluar, realitas tetap berkata bahwa hidup mereka sedang dililit konflik yang, barangkali dapat membunuh mereka pelan-pelan. Seperti tidak ada pilihan lain, mereka kembali ke arena. Salah satu upaya untuk bertahan hidup, mereka melakukan propaganda. Agar menang, membawa pulang uang.

Sementara propaganda merupakan salah satu komunikasi yang berkaitan erat dengan persuasi. Persuasi kerap dikatakan upaya untuk menyampaikan informasi/pesan dengan cara tertentu untuk membuat seseorang terpengaruh dengan informasi/pesan yang diberikan. Permainan yang sarat dengan propaganda adalah kelereng.

Pada permainan kelereng, Cho Sang-Woo melancarkan aksinya dengan melakukan propaganda. Ia meyakinkan Ali untuk menyerahkan kelerengnya. Sudah bertahan dengan melewati beberapa permainan, Ali tidak mungkin menyerahkannya. Lantas, Ali menolak. Namun, Cho Sang-Woo berusaha membalikkan keadaan.

Cho Sang-Woo menggunakan keluguan Ali untuk memenuhi kepentingannya, dengan cara memberikan alasan atau prospek yang meyakinkan. Cho Sang-Woo meminta Ali untuk mencari lawan peserta lain, agar sama-sama bisa melanjutkan permainan. Sebagai manusia yang murah hati, Ali melakukan itu.

Sementara di belakang Ali, Cho Sang-Woo mengganti kelereng Ali dengan kerikil. Ali marah, kecewa, dan berujung mati dengan bersimbah darah. Dalam hal ini, komunikasi politik hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan. Cho Sang-Woo mengelaborasi komunikasi politik dengan tipu muslihat. Layaknya kerja politisi yang wajahnya lebih sering muncul di jalan-jalan.

Pos terkait

banner 468x60