Sumpah Pemuda dan Peringatan Keras Untuk Bangsa

Sembilan puluh enam tahun yang lalu, bangsa ini mengalami lompatan kesadaran bersama yang dipelopori oleh kaum muda. Mereka terhimpun dalam organisasi kepemudaan yang menyadari pentingnya kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa. Dari gejolak rasa nasionalisme dan patriotisme yang tumbuh, lahirlah pada tanggal 28 Oktober 1928 sebuah ikrar yang kini kita kenal sebagai *Sumpah Pemuda*. Sumpah ini menjadi landasan filosofis tentang persatuan dan kesatuan yang menjadi harapan bagi masa depan bangsa.

 

Kini, saat kita memperingati Sumpah Pemuda, tiba waktunya bagi kita untuk merenungkan dan memikul kembali tanggung jawab sejarah tersebut. Sejak masa pra-kemerdekaan hingga pasca-reformasi, pemuda selalu menjadi ujung tombak penyelamatan bangsa dari berbagai tantangan. Namun, di era modern ini, tantangan yang dihadapi pemuda Indonesia jauh lebih kompleks. Globalisasi membawa dampak yang meresap ke dalam budaya, serta mengancam semangat nasionalisme dan patriotisme. Jika tantangan ini diabaikan dan tidak ditangani dengan serius oleh negara, maka ada risiko besar bagi jati diri bangsa. Ketika semangat kebangsaan luntur, peradaban Indonesia dapat kehilangan identitasnya.

 

Di era sekarang, permasalahan pemuda semakin mendesak untuk segera diselesaikan, terutama dalam menghadapi potensi *bonus demografi* yang menjadi dasar menyongsong Indonesia Emas 2045. Jika masalah ini tidak diatasi dengan tepat, pemuda yang seharusnya menjadi aset bangsa bisa menjadi beban demografi. Tentu, untuk menghindari hal ini, bukan hanya negara yang harus berperan, tetapi juga seluruh elemen masyarakat sipil. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah mengadopsi *otoritarianisme gaya baru* dalam dunia pendidikan. Intervensi ini diperlukan untuk memastikan negara mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan siap menghadapi tantangan di bidang masing-masing.

 

Otoritarianisme gaya baru di sini bukanlah dalam arti kekangan kebebasan, melainkan kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat konstitusi. Negara perlu melakukan pemetaan dan sinkronisasi terhadap pemuda yang menganggur dan yang putus sekolah, karena ini adalah dua masalah yang berbeda. Setelah itu, langkah berikutnya adalah memberikan pelatihan berbasis digital bagi pemuda yang menganggur dan menyediakan beasiswa penuh bagi mereka yang putus sekolah hingga jenjang pendidikan tinggi. Langkah-langkah ini harus dilakukan dengan tepat sasaran, dan didukung oleh pemerintah yang benar-benar memahami tantangan di lapangan. Harapannya, kebijakan ini dapat diadopsi oleh pemerintah selanjutnya.

 

Jika langkah ini dianggap banal, kenyataannya, sistem demokrasi yang dijalankan selama ini belum sepenuhnya berhasil mengatasi masalah mendasar bangsa, seperti kemiskinan, kesehatan, dan sosial. Demokrasi memang adalah sistem yang baik, tetapi hanya jika didukung oleh SDM yang berkualitas. Faktanya, masyarakat kita masih perlu lebih siap dalam menghadapi demokrasi secara ideal.

 

Inilah refleksi dari seorang pemuda desa di Kabupaten kecil, Jawa Timur. Sebagai pemuda harapan bangsa, kita harus terus memegang teguh semangat keindonesiaan. Semangat inilah yang menjadi bekal untuk melangkah ke depan dan berkontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pos terkait

banner 468x60