The Panturas dan Perempuan yang Melawan

Saya terbilang agak terlambat mengetahui ada The Panturas di jagad musik nusantara. Padahal, grup musik ini sudah ada sejak 2015. Tahun dimana saya lebih suka menghabiskan waktu dengan laptop di depan kantin sekolah. Sembari menikmati fasilitas penunjang berupa Wi-Fi. Barang tentu untuk mendengarkan musik dan menonton film.

Grup musik ini terdiri dari Abyan yang akrab disapa Acin (vokalis dan gitaris), Rizal (gitaris), Bagus Patria (bas), dan Surya (drum). Mulanya, saya tertawa saat mendengar Acin bernyanyi. Sebab, di telinga saya yang awam dengan berbagai genre musik, suara Acin seperti orang yang sedang mabuk. Ini mabuk minuman keras loh, ya. Bukan mabuk cinta…

Selain itu, nama The Panturas sepintas seperti milik grup musik penyanyi dangdut. Padahal, ternyata itu diambil dari plesetan The Ventures, grup musik asal Amerika Serikat. Kemudian, saya mencoba menonton beberapa video wawancara Acin. Pantas, respons pertama kali setelah mendengar Tafsir Mistik, saya tertawa. Ternyata vokalisnya saja seperti dilahirkan jenaka.

Kemudian, saya mencoba membaca beberapa rujukan, genre musik The Panturas adalah vocal surf. Itu merupakan sub genre dari surf rock atau rock selancar. Genre surf rock identik dengan gitar elektrik yang mengubah gelombang pendukung untuk menyampaikan bunyi reverb lantas terdengar becek dan tidak menggunakan instrumental vocal.

Sementara yang menggunakan vokal seperti The Panturas, dinamakan vocal surf. Band asal Jatinangor, Sumedang, ini cukup menarik perhatian saya. Selain genre musik yang asing terdengar, band ini juga berani menggunakan konsep musik video yang anti mainstream!

Perempuan dalam Kacamata The Panturas

Setelah menonton musik video single “Tafsir Mistik”, saya mulai intens mendengarkan The Panturas. Dilansir dari www.whiteboardjournal.com, “Tafsir Mistik” dikomposisikan oleh sang vokalis, Acin. Ia mengangkat problematika sosial pemikiran karbitan yang tumbuh karena media sosial. Akibatnya, muncul keyakinan bahwa idealisme mereka yang paling benar.

Berangkat dari keresahan yang tidak “ecek-ecek”, The Panturas secara menggemaskan, menggandeng Mbak Sha Ine Febriyanti untuk music videonya. Itu, lho.. Nyai Ontosoroh di film Bumi Manusia. Mbak Ine digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki power, ia dapat menerkam siapa saja yang akan mengganggunya.

The Panturas juga menabrak pemikiran kaum konservatif. Mbak Ine dibuat merokok dalam musik videonya. Dalam pemikiran kaum konservatif, rokok hanya dimiliki oleh salah satu jenis kelamin, yakni laki-laki. Padahal, seharusnya, perdebatan apakah boleh merokok atau tidak, sebatas dari sisi kesehatan. Bukan seks atau gender.

Itulah mengapa perempuan harus dibebaskan dari pemikiran semacam itu. Tidak boleh dikotak-kotakkan, tidak boleh dikucilkan. Setelah berhasil membunuh semua orang yang ada di tempat, Mbak Ine menari dan merokok kembali. Seolah menyimbolkan bahwa perempuan boleh menikmati setiap pilihannya.

Selain itu, The Panturas juga mempersembahkan short movie dari “All I Want”. Senada dengan “Tafsir Mistik”, perempuan bernama Ida menjadi pemeran utama dalam film pendek tersebut. Pemeran utama yang diperankan oleh Prisia Nasution, dikisahkan sebagai korban kebengisan pada masa lalunya.

Sewaktu kecil, ia menyaksikan Bapaknya dibunuh dan Ibunya diperkosa. Selama belasan tahun, ia mencari pelakunya. Untuk membalas dendam, Ida menggantung pelaku di pemotongan daging sate miliknya. Saat Ida diajak menikah, ia meminta laki-laki tersebut untuk membunuh pelakunya. Laki-laki tersebut menolak.

Barangkali, Ida merasakan persis seperti korban kasus pemerkosaan anak yang diangkat oleh projectmultatuli.org kemarin. Ida tidak mendapatkan keadilan lantaran #PercumaLaporPolisi, akhirnya ia memutuskan untuk memutilasi pelaku, dengan tangannya sendiri. Dari dua karya tersebut, The Panturas berhasil merepresentasikan perempuan mempunyai ruang melawan.

Pos terkait

banner 468x60