Adikku masih menyusun bahasa untuk mencandra bumbu di luar cecap lidah dan langit langit mulutnya seperti mengusir nyamuk di rimbun semak kebun belakang rumah. Bahasa dan kata yang menetes dari puting susu ibu beku dengan batas kadaluarsa seperti kambing yang dimasukkan kaleng.
Ibu sudah lama mematikan kompor bagi jemblem dan telo goreng. label dan stereoform membawa hujan rasa rasa ke kamar. Dengan diantar kerlap lampu, pendingin ruangan mengkalungkan syal dan selimut bagi matahari gosong yang ditinggalkan diluar jendela. Bapak tidak mewariskan lidahnya pada adik sebab telinganya sudah mabuk pidato. Ia lebih suka mendengar kesunyian bantal dan langit langit kamar. Ia tambal baju bajunya dengan hurup hurup berlidah penyanyi rap dan blues dan ia suka mengenakaannya di ruang tamu yang membuat bapak melempar sandal, kegaduhan yan tak tercatat di luar. Adik terbahak pada pidato bapak yang sudah dipigura dan digantung di dinding, berulang ulang, dipasang dan dirayakan di rumah rumah.
Pagi ini adikku bisu sehabis mengantri daging dan telur, megap megap terbekap kantong plastik yang ia bawa pulang. Ibuku tak lagi masak. Ia hanya mencampur bumbu, cabai dan garam ke atas meja seminar dan jurnal internasional.
Adikku terus menambal lidahnya yang bocor untuk ibu yang lupa cara membersihkan sisik ikan yang tidak lagi dilahirkan empang. Untuk bapak yang bahasanya tidak pernah pulang
Adikku
