Di Indonesia kita mengenal pembagian agama menurut asal-usul turunnya dengan istilah agama samawi (agama langit) dan agama ardhi (agama bumi). Istilah agama samawi digunakan untuk menyebut agama-agama yang turunnya dari Tuhan melalui para nabi dan rasul, sedangkan istilah agama ardhi digunakan untuk menyebut agama-agama yang diciptakan dan dipopulerkan oleh manusia itu sendiri. Titik temu kedua ajaran tersebut adalah masing-masing mengajarkan nilai-nilai universal ketuhanan dan kemanusiaan. Agama samawi dan agama ardhi sama-sama memiliki prinsip dasar bagaimana melakoni kehidupan ini yang selaras dengan kemauan dan tujuan hidup manusia, yang pada gilirannya juga mempersiapkan diri untuk menghadapi hidup setelah kehidupan di alam dunia (materi) ini.
Lantas bagaimana dengan agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul, tetapi umat mereka sendiri yang telah menyelewengkan ajaran nabi dan rasulnya? Apakah agama seperti itu masih bisa dikatakan dengan istilah sebagai agama langit? Dan bagaimana juga dengan beberapa aliran dan sekte (baca mahzab) yang lahir dari agama langit yang telah ternodai tersebut? Benarkah agama langit memiliki mahzab? Apakah agama bumi benar-benar berakar dari seseorang atau komunitas tertentu? Apakah tidak mungkin bahwa agama bumi sebenarnya juga agama langit yang dibawa oleh nabi atau rasul yang telah diselewengkan oleh umatnya pada zaman itu sehingga saat ini karena kita kehilangan referensi keotentikan ajaran tersebut sehingga kita klasifikasikan ia sebagai agama bumi?
Akan muncul seabrek pertanyaan susulan yang akan membombardir benak kita kalau mau mengkaji lebih jauh istilah atau definisi “agama langit dan agama bumi”. Sebagai contoh, apakah saat ini agama langit itu banyak atau hanya ada satu? Apakah agama bumi benar-benar “salah” dipandang dari pemahaman agama langit? Lantas bagaimana dengan klaim sebagai agama langit tapi ia tidak bisa dioperasikan oleh umatnya sendiri secara menyeluruh, yang kalau boleh saya istilahkan dengan agama langit tapi tidak “membumi”. Apakah agama lngit dan agama bumi akan berakhir di tempat yang sama di sisi Tuhan (baca surga-kebahagiaan akhirat) setelah kehidupan alam dunia ini?
Tulisan ini tidak bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Tapi paling tidak, tulisan ini ingin mengantarkan kita untuk menjawab persoalan apakah agama itu perlu atau tidak bagi kita, dan kalau memang perlu apakah agama yang kita anut sudah sesuai dengan yang Tuhan inginkan atau tidak? Bukan bermaksud untuk mengotak-atik agama dan keberagaman agama yang sudah kita kenal, dan bukan juga bermaksud untuk mengacak-acak keyakinan sesorang dalam menentukan pilihan beragama, tapi sekadar ingin membangun cara berpikir kita dalam beragama.
Pertanyaan mendasar dan paling penting yaitu, apa itu agama? Kalau hanya memahami agama yang berasal dari akar kata “a” (yang berarti “tidak”) dan “gama” (yang berarti “kacau”), maka agama dengan makna “aturan hidup manusia yang dibuat agar hidupnya tidak kacau” sudah cukup memberikan gambaran, bahwa semua agama adalah sama. Karena pada dasarnya semua agama mengajarkan nilai, norma, dan hukum untuk mengatur hidup pemeluknya. Dari sini kita bisa menjawab pertanyaan apakah agama itu perlu bagi kita atau tidak. Kalau tidak perlu, mengapa kita sibuk dan repot mau diatur oleh agama baik itu secara sadar atau terpaksa. Dan kalau agama itu perlu bagi kita, anehnya seringkali kita meremehkan dan menggampangkan hidup ini dengan tidak serius untuk mendalami agama yang kita yakini sebagai agama yang “benar”.
Perlu disadari bahwa alam realitas ini terjadi tidak dengan sendirinya. Artinya, ada Maha Realitas yang kita sebut sebagai “Tuhan” yang telah mengadakan, menjadikan, dan menciptakan alam semesta ini. Dan perlu juga dipahami bahwa alam ini memuat hukum-hukum rasional dalam setiap pergerakannya. Termasuk di dalamnya adalah hukum keniscayaan, hukum kemestian, hukum kepastian, atau bahasa lain hukum kemutlakan, . Sebagai misal, kita pasti akan menua, kita pasti akan mati, kita pasti punya rasa lapar dan haus dan juga kita pasti butuh makan dan minum selama hidup, kita pasti punya kehendak dan keinginan, dan lain sebagainya.
Pembahasan dan argumentasi dua hal tersebut, kenapa kita perlu konsep Tuhan dan kenapa ada hukum keniscayaan, perlu pembahasan khusus secara filosofis. Tapi berkaitan dengan agama, meskipun kita tidak pernah “tahu dan kenal langsung siapa itu Tuhan”, cukup memberikan bukti secara rasional bahwa alam semesta ini “ada” yang mengatur. Dan keteraturan hukum alam ini yang di dalamnya memuat hukum keniscayaan juga pasti “ada” yang mengatur.
Keteraturan-keteraturan inilah yang minimal menjadi pijakan dasar kenapa manusia hidup itu perlu adanya aturan. Dan aturan hidup manusia itu kita kenal dengan “agama”. Sebab tidak mungkin, kita menjadi “ada” sebagai manusai saja pasti dengan aturan-aturan, lantas setelah kita menjalani kehidupan ini tidak ada aturan-aturan yang mengikatnya.
Pertanyaannya, bila ada manusia yang tidak ingin diatur dalam hidupnya, apakah ia sanggup melepaskan dirinya secara alami (baca kodrati) dari aturan-aturan alam? Sebagai contoh silahkan saja ia hidup tapi jangan makan, minum, menghidup udara, berpijak di atas bumi, terkena tua (menjadi tua), terkena sakit, dll. Kalau memang bisa, ia layak mendapatkan hidup tanpa aturan sedikitpun yang mengikatnya.