Agama Bumi (Bagian 2) 

Agama adalah fitrah. Seseorang ingin hidup teratur dan layak adalah fitrah dan keinginan semua orang. Jadi kalau ada orang yang tidak ingin hidup dalam beragama, berarti ia belum sadar dan belum kembali pada fitrahnya. Kebanyakan manusia menjadi munafik terhadap dirinya sendiri dan seringkali menipu diri dengan mengatakan bahwa dirinya tidak memerlukan agama, sementara ia hidup di alam realitas yang sarat dengan aturan, baik fisik sebagai aturan alam dan non fisik yang mengatur ruhani spiritual. Banyak orang percaya konsepsi tentang Tuhan dan membenarkannya, tapi tidak mau tunduk kepada orang yang ditunjuk Tuhan sebagai nabi dan rasul untuk mengajarkan bagaimana cara hidup dalam beragama. Artinya, dengan egonya seseorang mengatakan bahwa kita semua adalah ‘sama’ dihadapan Tuhan, jadi tidak perlu ada orang yang mengklaim dan mengaku sebagai nabi dan rasul. Atau, ada juga yang mengatakan, ‘yang penting hidup ini baik-baik saja terhadap sesama sudah cukup dan urusan kita dengan Tuhan itu adalah urusan masing-masing dan pribadi jadi tidak perlu direpotkan maupun didebatkan’, dan masih banyak pendapat lain yang ingin permisif bahwa ia tidak ingin diatur oleh “agama”.

 

Memang agama adalah urusan individu dan bersifat personal. Seseorang bebas memilih apakah ia hidup dengan menjalani hidupnya dengan beragama atau tidak. Atau, apakah ia punya komitmen dengan agama yang dianut menjadi penganut yang saleh atau tidak. Terlepas dari itu semua, keniscayaan adanya daya pikir manusia (akal) secara fitrah cukup menjadi alasan seseorang untuk menjadi bijak dan adil dalam memahami hidup ini dengan mengikatkan dirinya pada agama. Agar apa? Tentu saja agar hidupnya selamat.

 

Manusia selain memiliki dimensi fisik material (jasadi) juga memiliki dimensi non fisik spiritual (ruhani). Kebutuhan untuk menjaga dua dimensi yang ada pada manusia ini agar tetap berjalan cukup memberikan bukti sekaligus menandaskan bahwa kebutuhan beragama bagi manusia sebenarnya adalah alami dan fitrah. Manusia memerlukan makanan, air, udara, pakaian, rumah, kendaraan, dll untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara fisik material. Tapi di sisi lain, manusia juga memerlukan sesuatu yang “maha tak terbatas” yang dikonsepsi sebagai “Tuhan” untuk menjawab kebutuhan nonmaterialnya. Bagi seseorang mungkin kebahagiaan dan kedamaian secara material manakala itu terpenuhi memang sudah cukup, tapi bagi mereka yang ingin terus berpikir dan merasakan bahwa hidup itu tidak hanya sekedar makan, minum, tidur, meneruskan keturunan, dll, akan berbeda memandang makna kebahagiaan dan kedamaian hidup.

 

Seringkali ketenangan batin seseorang tidak didapatkan hanya dengan memenuhi kebutuhan materi saja, tapi ia justru menemukan jawaban kegelisahannya dengan “menghamba” pada “Realitas Tak Terbatas” yaitu Tuhan. Di sanalah seseorang dapat menemukan ketenangan ruhani spiritualnya dan mendapatkan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Ia tidak takut lagi merasa kehilangan, dan tidak terlalu bahagia apabila mendaptkan sesuatu yang berlebih dari orang lainnya.

 

Seseorang begitu tenang dalam hatinya saat menjalani hidupnya dan akan selalu siap manakala ajal telah menjemputnya. Ia tidak ragu dan sangat kuat sekali pada keyakinannya bahwa Tuhan tidak zalim menempatkan hamba-hambanya yang saleh di akhirat kelak. Ia bangga dan tersenyum bahagia mendapati dirinya menghadap Tuhan kelak dengan menghabiskan waktu mengabdi kepadaNYA dengan sibuk melayani umat manusia. Bahkan ada yang rela membela dengan memilih jalan syahid (gugur di medan perang) demi tegaknya agama. Kenapa itu bisa terjadi, karena ia dengan pahaman terhadap agamanya sudah sedemikian rupa menyatu, sehingga manakala agamanya terancam sama saja saja berarti telah mengancam dirinya sendiri.

 

Sudah cukup sejarah menceritakan kepada kita, karena agama manusia bisa berperang, saling bunuh, saling bantai, dan saling caci-mencaci. Berapa banyak nabi dan rasul yang membawa ajaran Tuhan justru menjadi incaran pertama kali umat manusia zaman itu untuk dibunuh. Berapa banyak pewaris agama (ulama) harus menghadapi tekanan, bahkan pembunuhan juga karena agama yang dianutnya.

 

Apakah dengan kejadian itu semua lantas agama menajdi mandek, stagnan, berhenti, dan punah? Bahkan sampai sekarang agama tetap lestari dan terwarisi dari zatu masa ke masa lainnya, dari umat ke umat lainnya, dan dari generasi ke generasi lainnya. Sudah banyak orang, sekelompok manusia, dan kekuasaan telah berusaha memusnahkan agama dari bumi ini. Tapi apa yang terjadi? Justru telah berlalu manusia-manusia itu tapi agamlah yang tetap hidup. Agama bisa mati jika dan hanya jika seluruh umat manusia telah mati. Artinya, dengan bahasa yang lain, agama karena merupakan kebutuhan fitrah manusia akan tetap lestari selama ada umat manusia di muka bumi ini.

 

Will Durant, sebagai orang yang tidak percaya kepada agama, bahkan mengatakan dalam bahasannya mengenai sejarah dan agama:

‘Agama memiliki seratus jiwa kehidupan. Segala sesuatu bila dibunuh pada kali pertama itu ia sudah mati untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia dibunuh seratus kali (berkali-kali), ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu’.

 

Agama dan Kemanusiaan

 

Sudah bisa dibuktikan, setuju atau tidak, bahwa agama adalah kubutuhan fitrah manusia dalam mengarungi gelombang kehidupan ini. Kini mari kita beralih pada pertanyaan, sejauh mana kebutuhan kita terhadap agama? Apa kriteria ia bisa dijadikan pedoman hidup sebagai agama? Apakah tanpa agama manusia pasti akan bertabiat buruk, rendah, dan bersifat hewani?

 

Humanisme atau perikemanusiaan merupakan kodrat bagi manusia secara esensial. Jadi jangan sampai ia hadir sebagai bentuk dan sosok manusia, tapi prilakunya lebih dari prilaku hewan atau binatang. Sebab jika demikian, maka ia sebenarnya binatang berbentuk manusia. Perikemanusiaan pastilah berbeda dengan makna perikebinatangan. Karena manusia disebut sebagai manusia jika ia mampu menunjukkan sifat-sifat kemanusiaannya, bukan menunjukkan sifat kebinatangannya.

 

Adanya nilai-nilai luhur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat pada hakekatnya itu sudah alami dan sesuai dengan kodratnya. Adapun agama, sebenarnya hanyalah “bingkisan agung Ilahi” untuk manusia yang di dalamnya memuat dan mengatur secara universal nilai-nilai manusia yang berujung pada nilai benar, nilai kebaikan, nilai keindahan, dan nilai kesempurnaan atau kesucian.

 

Memang tidak selalu berarti, bahwa orang yang tidak beragama tidak memiliki akhlak dan adab. Karena banyak terjadi juga sebaliknya mereka yang mengaku paling benar beragama justru jatuh dalam lembah kenistaan. Tapi agama hadir ke muka bumi ini karena memang berkaitan dengan sifat dasar manusia yang punya potensi untuk jatuh pada sifat-sifat hewan. Untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan ruhani manusia, baik mental dan spiritual, maka dibutuhkan aturan dan undang-undang yang mengikatnya, yang kita kenal dengan sebutan “agama”.

 

Seberapa perlu kita terhadap agama, adalah cara lain mengatakan, seberapa perlu kita bertahan dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada diri kita.

 

Selama kita ingin memupuk sifat-sifat kemanusiaan kita, maka selama itu pula kita perlu menjaga kesalehan dalam beragama. Kalau hidup di bumi ini, sebagai contoh, seseorang mencuri diberi hukuman, tidak membawa SIM saat mengendarai kendaraan di jalan raya ditilang, dan dihukum mati bagi mereka yang membunuh orang lainnya, lantas hukuman apa yang pantas diberikan di akhirat kelak kalau orang tersebut melanggar norma-norma agama seperti berzina, minum yang memabukkan, makan yang haram, membunuh orang lain, mencuri atau mengambil hak orang lain, menghardik dan menyakiti orang tua yang telah melahirkan kita, mengolok-olok sesama, dll?

Pos terkait

banner 468x60