Belajar dari Rencana “Hibah Prematur” Lapangan Talangsari Jember

Belajar dari Rencana “Hibah Prematur” Lapangan Talangsari Jember
Sumber Foto : FB Kustiono M

Titian.id Publik Jember beberapa waktu lalu dihebohkan dengan beredarnya surat Bupati Jember kepada DPRD Nomor : 028/949/35.09.412/2022 tanggal 13 Mei 2021, perihal “Permohonan Persetujuan Hibah Tanah dan Bangunan Pagar untuk Kantor Pertanahan Kabupaten Jember.”

Sekilas surat tersebut tampak seperti surat dinas pada umumnya dengan isi yang biasa dalam penyelenggaraan pemerintahan. Seandainya, surat tersebut tidak beredar dan tidak menjadi wacana publik, maka surat tersebut akan menjadi peristiwa yang sangat biasa. Padahal, isi surat tersebut berpotensi menimbulkan implikasi dan problem sosial yang mungkin akan disesali banyak pihak.

Itulah alasan mengapa menarik mendiskusikan, mengulas, menganalisi, mengkritisi dan mempersoalkan isi yang terkandung dalam surat tersebut dengan mempelajarinya secara komprehensif dari berbagai sudut pandang. Tidak lupa, kita perlu mengaitkannya dengan perkembangan kondisi kultural, sosial, ekonomi, dan politik kekinian di Jember.

Memang, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil sudah melarang rencana hibah Lapangan Talangsari karena dimanfaatkan oleh masyarakat. Namun, bukan berarti kita harus begitu saja melupakannya. Ada pelajaran penting yang bisa kita ambil.

Bagi saya, semua yang terjadi seputar peristiwa surat-menyurat ini sangat menggelitik, aneh, dan malah menjurus pada ketidakwajaran norma dan nilai moral yang dipraktikkan oleh para aktornya, terutama mengingat kedududukan dan tanggungjawab mutlak mereka yang terlibat dalam urusan surat-menyurat tersebut.

Untuk itulah, kita perlu terelebih dahulu mengulas beberapa aspek yang terkait munculnya surat tersebut, antara lain: (a) tugas dan tanggungjawab para aktor yang terlibat; (b) tata cara hibah Barang milik Negara/Daerah; (c) fungsi yang terkandung dalam obyek hibah sebagai barang milik Negara/Daerah; (d) tujuan yang diharapkan dari pelaksanaan hibah; (e) implikasi sosial, politik, kultural dan ekonomi; dan, (f) indikator terpenuhinya tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan hibah.

Menyimak surat-menyurat yang beredar, kita bisa mengetahui peran para aktor yang terlibat. Mereka adalah Kepala BPN Kabupaten Jember, Bupati Jember, DPRD Kabupaten Jember, pengelola barang milik Daerah beserta tim yang mempersiapkan kelayakan pelaksanaan hibah, tokoh budaya, dan pelaku ekonomi seputar lokasi obyek hibah barang milik daerah.

Tulisan ini mencoba menguak secara formal dan non formal peran, tugas dan tanggungjawab baik karena jabatan maupun karena tanggungjawab sosial yang melekat erat pada para tokoh.

Apa yang menyebabkan kehebohan surat-menyurat antara Kepala BPN Jember, Bupati dan DPRD berpangkal pada persoalan hibah barang milik daerah berupa sebidang tanah yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang selama ini dimanfaatkan untuk lapangan sepak bola bagi warga Talangsari dan sekitarnya. Itulah mengapa warga lebih mengenalnya sebagai Lapangan Talangsari.

Tidak kalah penting yakni lapangan tersebut juga menunjang kegiatan budaya dan keagamaan yang dimotori oleh keluarga besar Bani Shidiq. Pertu diketahui, kegiatan tersebut sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun.

Lalu bagaimanakah seharusnya tata cara hibah barang milik daerah berupa tanah tersebut dilakukan?

Sekretaris Daerah Kabupaten Jember, Mirfano, ketika dikonfirmasi Xposfile menjawab singkat, “semua dokumen administrasi sudah sesuai dengan Permendagri 19/2016.” (https://www.xposfile.com/tega-bupati-hendy-lepas-lapangan-sepakbola-talangsari/)

Tentu saja, kita harus menguji jawaban Sekretaris Daerah tersebut, apakah sudah sesuai Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah (menunjukkan pemenuhan unsur mematuhi ) ataukah belum.

Pada Pasal 396 (1) dijelaskan bahwa hibah barang milik daerah dilakukan dengan pertimbangan kepentingan: (a) sosial; (b) budaya; (c) keagamaan; (d) kemanusiaan; (e) pendidikan yang bersifat non komersial; dan, (f) penyelenggaraan pemerintahan pusat/pemerintahan daerah.

Secara tersurat, Pasal 396 (1) menegaskan bahwa hibah barang milik daerah bisa dilakukan dengan pertimbangan untuk kepentingan sosial, budaya, keagamaan dan pendidikan yang bersifat non komersial. Kepentingan-kepentingan itu lebih diprioritaskan dari pada kepentingan penyelenggaraan pemerintahan pusat/pemerintahan daerah.

Norma yang telah digariskan dalam ketentuan pasal 396 ayat(1) seharusnya menjadi pertimbangan moral utama bagi Bupati selaku pemimpin daerah yang memegang mandat sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD).

Seharusnya sebelum melayangkan surat permohonan persetujuan hibah kepada DPRD, Bupati Jember mengajak bicara unsur-unsur yang merepresentasikan kepentingan sosial, budaya, keagamaan dan pendidikan bersifat non komersial. Mengapa? Karena mereka secara faktual selama berpuluh-puluh tahun telah memanfaatkan keberadaan Lapangan Talangsari.

Kelalaian semacam ini memunculkan kesan bahwa Bupati Jember sengaja menantang, melecehkan dan meremehkan keberadaan unsur-unsur yang merepresentasikan kepentingan sosial, kultural, keagamaan dan pendidikan non komersial tersebut.

Risiko besar yang muncul akibat kebijakan tersebut bisa saja memantik kecurigaan bahwa Bupati dan BPN memiliki “agenda dengan keuntungan besar” dibalik permohonan dan persetujuan hibah Lapangan Talangsari.

Di sisi lain ketika mengajukan permohonan dengan menunjuk obyek permohonan secara langsung yaitu tanah Lapangan Talangsari untuk kepentingan pembangunan kantor BPN supaya lebih representatif, secara vulgar menunjukan bahwa BPN kurang paham akan tugas dan tanggungjawabnya serta tidak memiliki kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya.

Peraturan Presiden RI Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasal 2 menegaskan bahwa lembaga ini memiliki dua fungsi utama. Pertama, perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan penertiban penguasaan dan pemilikan tanah, serta penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai rencana tata ruang. Kedua, perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penanganan dan pencegahan sengketa dan konflik serta penanganan perkara pertanahan.

BPN Jember berkantor di kawasan Talangsari, bertetangga dengan kawasan pondok pesantren, kawasan pendidikan non komersial. Tentu saja, para pejabat dan staf BPN sering menjumpai kegiatan ziarah, sema’an Al-Qur’an, sholawatan, haul dan kegiatan budaya dan keagamaan lainnya yang mencolok mata.

Kegiatan-kegiatan tersebut tentu membutuhkan sarana penunjang untuk kawasan parkir, tempat istirahat para jama’ah, dan aktivitas lainnya yang diselenggarakan di kawasan Talangsari. Selama ini, Lapangan Talangsari bisa menjadi penunjang kegiatan-kegiatan budaya dan keagamaan yang di Talangsari, tentu selain sebagai ruang publik olahraga.

Dapat dibayangkan seandainya Lapangan Talangsari benar dipergunakan untuk bangunan gedung perkantoran BPN yang baru, maka seabrek kegiatan yang melibatkan puluhan ribu orang akan kesulitan sarana penunjang, seperti kawasan parkir dan tempat istirahat. Selain itu, keuntungan ekonomis bagi rakyat kecil juga berpotensi hilang.

Artinya, kalau hibah dan pembangunan kantor baru BPN Jember tetap dijalankan, bisa memunculkan potensi terjadinya permasalahan publik seperti konflik kepentingan, ketidaktertiban kawasan, dan kemungkinan terjadinya bentrok antar komponen yang berkepentingan.

Manakala potensi risiko ini sama sekali tidak masuk dalam mitigasi risiko yang dikedepankan para pejabat BPN ketika mengajukan permohonan hibah tanah Lapangan Talangsari, maka bisa dipastikan bahwa mereka kurang seksama dalam mengkaji persoalan untuk dijadikan sebagai landasan keputusan kebijakan. Bukankah pejabat BPN seharusnya paham akan tugas, tanggungjawab dan amanah yang sudah digariskan dalam Peraturan Presiden RI Nomor 48 Tahun 2020?

Untuk itu, sudah seyogyanya kepala BPN Jember yang baru menarik kembali surat permohonan hibah yang telanjur disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Jember atas usulan dari pejabat BPN yang lama.

Lalu, bagaimanakah peran Pengelola Barang dan Tim Peneliti Pemkab Jember dalam tahap ini? Apakah hasil penelitianya? Apakah saran pertimbangannya sehingga Bupati mengajukan permohonan persetujuan hibah kepada DPRD? Apakah tanggungjawab moral yang akan dijadikan sandaran manakala ternyata pemahaman terhadap ketentuan Permendagri menjadi biang persoalan hibah tersebut? 

Pertaruhan kompetensi inilah yang menjadikan seseorang memikul tanggungjawab dalam birokrasi, bukan karena unsur suka dan tidak suka. Tentu, kita berharap tidak ada kepentingan transaksional yang akan mengkhianati maksud dan tujuan reformasi birokrasi.

Untuk itu, ada baiknya kita menengok kembali Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 Pasal 397 (1) yang menegaskan bahwa barang milik daerah (selanjutnya disingkat BMD) dapat dihibahkan apabila memenuhi persyaratan: (a) bukan barang rahasia negara; (b) bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak; atau, (c) tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kalau kita membaca isi pasal di atas, kita bisa berasumsi bahwa obyek hibah, Lapangan Talangsari, oleh Pengelola Barang dan Tim Peneliti serta Bupati diposisikan sebagai bukan merupakan barang yang menguasai hajat orang banyak.

Padahal, berdasarkan perjalanan historisnya, selama berpuluh-puluh tahun Lapangan Talangsari dimanfaatkan sebagai sarana olahraga, rekreasi, penunjang ekonomi, dan penunjang kegiatan budaya dan keagamaan masyarakat. Itu semua merupakan indikator bahwa obyek hibah tersebut berkaitan atau menguasai hajat hidup orang banyak.

Manfaat yang bisa dirasakan atas kehadiran Lapangan Talangsari adalah tersalurkannya kebutuhan olahraga, rekreasi, ekonomi dan juga kemudahan akses jama’ah menghadiri kegiatan-kegiatan budaya dan keagamaan. Contoh sederhana dari manfaat lapangan ini adalah dari aktivitas olahraga, dimana warga bisa mendapatkan kesehatan serta mengembangkan bakat-bakat muda olahragawan. Dengan aktitivas keagamaan, masyarakat bisa memperoleh ketenangan batin dan mengusahakan hidup dalam kerukunan.

Ketika aspek manfaat diatas tidak menjadi pertimbangan dalam pengajuan hibah, maka bisa dikatakan bahwa pihak-pihak terkait lebih mengedepankan aspek kewenangan dibandingkan pertimbangan obyektif yang wajib dipenuhi dalam memutuskan suatu kebijakan. Kombinasi kebijakan dan kebajikan yang menjadi karakter khas pemimpin adil dan bijaksana ternyata jauh dari harapan dalam roda pemerintahan Jember saat ini.

Bisa dipastikan, sebelum kepemimpinan saat ini, belum pernah ada bupati di Jember yang secara arogan mengajukan hibah Lapangan Talangsari kepada instansi pemerintah sehingga bisa beralih fungsinya.

Pemanfaatan oleh masyarakat sekitar atas Lapangan Talangsari juga memberi kontribusi bagi pemenuhan syarat dalam Pasal 397 ayat (1) huruf c, masih digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan daerah karena Bupati Jember sebagaimana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 65 ayat (1) mempunyai tugas memeliharan ketentraman dan ketertiban masyarakat. Tugas ini tentu tidak ringan karena esensi pemerintahan sebenarnya terletak pada syarat ini.

Tugas tersebut selama ini terbantu dari kegiatan-kegiatan budaya dan keagamaan yang berlangsung di Lapangan Talangsari sejak zaman KH. Ahmad Siddiq sampai sekarang. Kegiatan-kegiatan tersebut menyejukkan hati, menentramkan jiwa, dan senantiasa dilakukan secara tertib dan teratur. Maka, pihak-pihak yang selama ini telah memberi kontribusi nyata dalam kehidupan social, ekonomi, keagamaan dan kultural masyarakat tersebut selayaknya diajak rembuk untuk mendayagunakan BMD tersebut secara lebih efektif.

Menjadi wajar, ketika mendengar rencana hibah Lapangan Talangsari untuk Kantor BPN, warga langsung menyuarakan penolakan, bahkan perlawanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa suasana tentram dan situasi tertib yang semestinya merupakan tugas Bupati justru berpotensi sebaliknya manakala kebijakan hibah tersebut dilaksanakan.

Bupati yang seharusnya memiliki kewajiban menciptakan ketentraman dan ketertiban justru menjadi sebab timbulnya potensi kekacauan dan keresahan dalam masyarakat. Ketika ini terjadi—dan tampaknya mulai terjadi—maka publik bisa saja berasumsi bahwa tugas utama sebagai bupati dalam memimpin Jember sebenarnya telah gagal.

Masyarakat terdampak juga bisa saja membangun opini bahwa demi kepentingan politik pribadi, bupati banyak melakukan manuver “test the water” (tes ombak). Namun, tampaknya saat ini perlu diingatkan bahwa rangkain tes tersebut telah memasuki wilayah offside.

Adalah hal yang berbahaya ketika manuver tersebut tidak segera diakhiri karena potensi konflik akan terjadi sepanjang kepemimpinan Bupati Hendy Siswanto hingga akhir masa jabatannya. Sikap bijak sebagai seorang negarawan perlu dikedepankan. Kepentingan politik pribadi sementara disimpan sampai waktu memungkinkan hal tersebut dilakukan.

Ada baiknya, kita juga menengok Pasal 403 Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa Pengelola Barang mengajukan permohonan persetujuan hibah kepada Gubernur/Bupati/Walikota dan (2) dalam hal hibah memerlukan persetujuan DPRD, Gubernur/Bupati/Walikota terlebih dahulu mengajukan permohonan persetujuan.

Melihat banyaknya aspek yang menjadi pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah sebagaimana ketentuan Permendagri 19 tahun 2016 yang diabaikan bahkan tidak masuk dalam alam pikir dan pertimbangan sampai-sampai Bupati Jember melayangkan surat permohonan persetujuan hibah kepada DPRD, menunjukkan bahwa bisa jadi Tim Peneliti dan Pengelola Barang tidak sedang bekerja secara independen dan objektif.

Jadi, jangan salahkan publik kalau mereka mengembangkan kesimpulan yang menduga-duga bahwa surat tersebut lebih merupakan kepentingan Bupati Jember dengan menggunakan kewenangannya alih-alih pertimbangan-pertimbangan objektif berdasar ketentuan regulasi dan kondisi faktual di masyarakat.

Seandainya Menteri Sofyan DJalil tidak melarang rencana hibah tersebut, bisa jadi bola liar berada di tangan DPRD. Surat dari Bupati Hendy Siswanto akan bernasib seperti apa, semua bergantung kepada DPRD. Kecuali setelah muncul penolakan dan perlawanan di masyarakat, lalu Bupati dengan jiwa besar menyampaikan permohonan maaf dan menarik surat permohonan kepada DPRD.

Namun, publik tentu mencatat bahwa sudah banyak kebijakan Bupati Hendy Siswanto yang berakhir dengan permintaan maaf, sehingga masyarakat Jember mengenalnya sebagai “Bupati yang hobi mohon maaf alih-alih mohon izin.”

Andai saja Bupati Hendy Siswanto dan pihak berwenang meminta masukan dan memohon izin kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan pemanfaatan Lapangan Talangsari serta memperhatikan secara mendalam aspek regulasi terkait hibah, tentu permasalahan tidak akan terjadi.

Pos terkait

banner 468x60