Politik tak kenal kesedihan. Ia tak suka warna kelabu. Matanya tak ingin meredup
kecuali ingin menatap tubuhmu yang rubuh.
Tidak sedih, ia lebih suka takjub, tangkas mengambil tisu dari saku, menabur biji di kotak ajaib.
ia masukkan suaramu ke lubang tabungan lima tahunan. Suara yang lelah dan terhuyung melakukan penolakan.
Canggung, ia peluk bahumu, melupakan punggungmu yang lengkung.
Ia tak seperti hujan bagi tanah dan tumbuhan.
Ia tak mengenal paceklik dan hama.
Di matanya selalu menangkup musim panen lain,
meraup nikmat kantuk dan mata memejam
Politik tak mau muram. Ia semata ingin dengar suara kertas dilubangi paku atau obeng.
Suara yang mengharap digayuh beras dan minyak goreng, sambil melupakan peta yang robek terlindas truk trailer dan sedan
Ia hanya suka duduk. Udara dingin ac mengganti lumpur di sawah jadi tanda tangan dalam tabung waktu, seperti rahim ensiklopedi kwitansi dan nota belanja kosa kata
Seperti mantra pengasih bagi mata sedih yang berharap mukjizat dan keajaiban
Politik wajahnya terkenal sekaligus tak dikenal, bergelayutan di jalan jalan. Suaranya hilir mudik di perangkat gawai. Orang orang menontonnya. Mendengarnya. Baru sekaligus usang. Tidak saja di waktu senggang. Sering diklik untuk melupakan utang di sepanjang ingatan
Candra Politik
