Gus Dur Mencari Saya

Foto momen wafatnya Gus Dur. Sumber foto : Dokumentasi Praminto Muhayat

Kamu dicari Gus Dur. Mengapa tidak menemui beliau langsung kalau wawancara. Gara-gara pernyataan di tabloid kampusmu, Gus Dur ditegur Kiai Langitan. Begitu perkataan seorang kawan pegiat pers kampus dari Kota Malang yang masih saya ingat.

Empat belas tahun lalu, tepatnya 30 Desember 2009, Presiden keempat Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid wafat. Kepergian Gus Dur meninggalkan duka mendalam bagi bangsa ini.

Indonesia kehilangan sosok yang multidimensi. Gus Dur adalah seorang ulama, intelektual, politisi, dan budayawan. Swargi Gus Dur dikenal sebagai sosok yang sederhana, humoris, dan toleran.

Saya tak hendak mengupas persona Gus Dur dalam tulisan ini, karena ada yang lebih mumpuni untuk menjelaskan siapa Gus Dur. Saya hanya sekadar bercerita kenangan kecil, tentang sekelumit ingatan pengalaman tak langsung dengan Gus Dur semasa mahasiswa dahulu.

Sekira tahun 1997, Gus Dur pernah memberikan kuliah umum di Gedung Soetardjo Universitas Jember, Jawa Timur. Kalau tak keliru, saat itu Gus Dur adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Gedung Soetardjo penuh sesak oleh mahasiswa dan masyarakat Jember. Mereka ingin mendengarkan kuliah dan ceramah dari Gus Dur.

Saya yang kala itu berkecimpung di Lembaga Pers Mahasiswa Ideas Fakultas Sastra Universitas Jember mengetahui Gus Dur akan hadir di kampus, segera mengadakan diskusi rapat redaksi untuk meliput kuliah umum. Esoknya, kami hadir di lokasi acara merekam ceramah Gus Dur. Hasil rekaman dari pita kaset kemudian ditranskrip hingga beberapa lembar.

Rapat redaksi kami gelar kembali. Kalau semua transkrip kuliah umum Gus Dur dimuat, halaman Tabloid Ideas akan penuh. Rapat mengambil keputusan, memuat pernyataan Gus Dur sesuai dengan tema yang diangkat redaksi Tabloid Ideas yakni, sekitar konflik tanah yang merugikan rakyat. Tim redaksi Tabloid Ideas sebelumnya sudah meliput dan wawancara narasumber di lokasi konflik lahan petani di Jenggawah, Jember hingga ke Sendang Pasir di Buleleng, Bali.

Media massa umum sebelum reformasi 1998 mayoritas ‘tiarap’ bungkam terhadap persoalan agraria. Kalau bersikap kritis kepada pemerintah, redaksi akan ditelpon untuk self censorship atau mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) hingga breidel. Pers mahasiswa dinilai menjadi alternatif bisa menyuarakan aspirasi rakyat yang ditindas orde baru. Namun, pemerintah juga acapkali menekan kampus untuk breidel pers mahasiswa.

Pernyataan Gus Dur saat kuliah umum kami turunkan untuk menambahi laporan utama Tabloid Ideas edisi kedua. Kami beri judul “Bukan Revolusi Sosial”. Tulisan itu menyuarakan tuntutan petani terkait lahan. Bahwa tanah adalah alat produksi utama petani Indonesia. Dari mengolah tanah petani dapat menghidupi keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Kemudian Tabloid Ideas terbit. Tim redaksi lantas mengirimkan edisi tersebut melalui pos kepada berbagai lembaga dan institusi pemerintah maupun non pemerintah di Jakarta, Surabaya, Jember, Malang, dan kota-kota lain serta jaringan lembaga pers mahasiswa di seluruh Indonesia. Kawan redaksi juga ada yang mengirim tabloid ke teman-temannya semasa sekolah. Juga membawa pulang ke rumah untuk dibagikan cuma-cuma ke masyarakat. Persebaran Tabloid Ideas sangat meluas. Ini terbukti dari respon balik, banyak surat pembaca dan artikel mengalir masuk ke redaksi.

Ingatan saya melenting ke belakang, kepada kawan sesama pegiat pers mahasiswa dari Malang. Dia berkata, “Kamu harus menemui Gus Dur. Saat saya ke Jakarta, beliau hampir tidak mau diwawancarai karena artikel di tabloid kampusmu. Setelah kemukakan alasan, akhirnya Gus Dur bersedia interview.”

Ingin rasanya sowan menemui Gus Dur. Menjelaskan latar belakang dan tujuan tulisan di Tabloid Ideas itu. Namun apa daya, mahasiswa ‘minus’ seperti saya selalu kesulitan ongkos untuk pergi ke Jakarta.

Ketika sudah tinggal di Jakarta, saya juga belum bisa menemui Gus Dur. Hingga suatu hari, Rabu malam 30 Desember 2009 saya mendengar kabar Gus Dur wafat. Sejenak merenung. Saya sedih kehilangan beliau, apalagi tidak bisa berjumpa langsung. Saya dan seorang kawan bergegas naik motor ke rumah Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Lautan massa telah memenuhi jalan menuju rumah Gus Dur. Saya berusaha merangsek pelan bersama para pelayat menuju rumah duka. Hingga akhirnya bisa masuk ke dalam. Bergantian menunggu giliran untuk ikut mensholatkan jenazah tokoh bangsa itu.

Dalam hati saya berucap,”Selamat jalan Gus Dur. Maafkan bila saya salah. Pikiran dan tindakanmu teladan bagi diri pribadi yang dhaif ini. Aamiin.”

Pos terkait

banner 468x60