Media sosial telah berhasil membangun jaringan komunikasi hingga separuh penduduk dunia dapat berkomunikasi secara real time setiap saat. Namun di saat yang bersamaan mulai banyak kejahatan dalam bentuk cyber bullying bermunculan dan menghantui anak-anak bahkan orangtua.
Ketua Umum Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) UNPAD, Dr. Pitoyo, SS, M.IKom mengatakan maraknya cyber bullying di media sosial, kebanyakan karena kurangnya pemahaman dari para pengguna akun media sosial baik facebook, twitter, Instagram bahkan youtube yang tanpa sadar mengunggah data pribadinya.
Dr Pitoyo, SS, M.IKom menyampaikan pesan tersebut pada webinar yang diselenggarakan oleh Kominfo dan Siberkreasi pada acara Gerakan Nasional Literasi Digital 2021, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung (28/8). Mengangkat tema “Literasi Digital Dalam Meningkatkan Wawasan Kebangsaan” acara ini di awali dengan Pidato Presiden RI Ir Joko Widodo, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Hadir dan memberi sambutan Gubernur Provinsi Lampung Ir. H. Arinal Djunaidi, sebagai Keynote Speaker. Ada dua pembicara tingkat nasional yang hadir, Dr. Pitoyo, SS, M.IKom, Ketua Umum Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) UNPAD dan Indah Wenerda, S.Sn, M.A, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan, serta dua pembicara lokal, Subuh Kurniawan, S.Pd, Aktivis Open Source TIK, Kepala SMAN 1 Banjit Way Kanan Lampung, Dr. Yusdianto, SH, MH, Ketua Jurusan Hukum Tata Negara FH Unila serta Key Opinion Leader Aliah Lestari Sayuti.
Menurut Dr Pitoyo, yang juga Digital Business Development Tribunnews.com ini, data pribadi itu berupa nomor handphone, nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM) bahkan hingga sertifikat Vaksinasi Covid 19. Tidak jarang juga pengguna akun media sosial yang mengunggah ijazah SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi ke publik di media sosial.
“Niatnya memposting data pribadi itu mungkin bangga atau sekedar berbagi kepada teman dekatnya, namun di platform media sosial, tentu sangat berbahaya,” ungkap Pitoyo.
Kebanyakan pengguna media sosial adalah berasal dari kalangan digital natives, yakni anak-anak yang lahir di era digital, atau dikenal dengan sebutan milenial dan generasi Z. Mereka ini sangat aktif dan piawai menggunakan gadget baik berupa smartphone, tablet, maupun laptop dan desktop untuk melakukan aktivitas komunikasi di media sosial.
Kepiawaian anak milenial ini, tambah Pitoyo, sering kali tidak diimbangi oleh kesadaran yang tinggi akan bahaya mengunggah data pribadi di media sosial. Bahkan, tidak jarang juga yang merasa bahwa dirinya sedang diincar oleh para penjahat yang kebanyakan menjadi teman dalam dunia maya mereka. Cyber bullying, bisa berbentuk umpatan dengan kata-kata kasar, cercaan dalam bentuk meme atau bahkan emotion icon.
Pitoyo, yang kini aktif melakukan riset di media digital mengatakan, bahwa kebanyakan korban cyber bullying tidak merasakan bahwa dirinya sedang menjadi korban. Pasalnya pelaku cyber bullying itu adalah teman dekat atau bahkan teman akrab atau pasangan (pacar). Cukup banyak pasangan remaja yang mengumbar foto yang mengarah pada pornografi, namun tidak disadari, karena dianggap sebagai bentuk model gaul anak remaja.
“Untuk itu orang tua, perlu selalu mengikuti setiap langkah anak-anaknya di media sosial. Bisa dengan terlibat langsung atau tidak langsung dengan selalu memberi pengarahan agar anak-anaknya tidak terjerumus pada pornografi dan menjadi korban cyber bullying.” jelas Pitoyo.
Sebaiknya, mulai saat ini, stop mengunggah data pribadi, termasuk lokasi dimana berada dengan menggunakan geotag di Instagram, atau menunjukkan lokasi sedang di lokasi mana. Hal ini akan membuat privasi individu menjadi hilang. Selain itu selalu waspada pada pertemanan di media sosial. “Hindari pertemanan dengan orang asing, yang sama sekali tidak pernah dikenal, karena hal ini berpotensi munculnya cyber bullying,” jelas Pitoyo.
Banyak orang berfikiran, semakin banyak follower atau subscriber akan membuat semakin mudah mendapatkan uang di dunia maya. Anggapan semacam itu tentu tidak salah, karena memang terbukti bahwa semakin banyak orang yang melihat postingan di media sosial maka akan dapat dikonversi dengan uang. Namun, risikonya juga besar karena semakin banyak orang asing yang akan dengan mudah menggunakan data pribadi pemilik akun untuk kepentingan kriminal atau tindak pidana.
“Tidak sedikit pula, orang yang memiliki banyak follower dan subscriber di media sosial menjadi korban bulan-bulanan para hacker, sekaligus korban cyber bullying,” tutur Pitoyo.
Selain itu, Dr. Pitoyo berpesan, media sosial memiliki jejak yang dikenal dengan jejak digital. Kendati banyak orang sudah merasa bisa menghapus postingan di media sosial, namun jejak digitalnya tidak bisa hilang. Adanya jejak digital ini tentu perlu menjadi perhatian banyak orang, karena sekali saja seseorang membuat komentar atau postingan yang negative baik kepada teman, atau pemerintah, maka jejak digital itu tidak akan bisa dihapus.
“Kalau sudah ada jejak digital yang negative, tentu akan sulit menghapusnya, dan tentunya akan berpengaruh pada masa depan orang tersebut,” ungkap Pitoyo.
Untuk itu, jadikanlah media sosial sebagai media untuk berbagi keceriaan, kebahagiaan bersama teman serta keluarga yang lokasi jauh dari jangkuan. Pitoyo menambahkan usahakan selalu memposting hal-hal yang positif dan memberi harapan baik, agar hidup kita menjadi lebih baik di masa sekarang dan akan datang.