HMI, Modernisme Islam dan Manusia Indonesia Baru

Jika orang besar lahir dan turut dibesarkan oleh peristiwa-peristiwa besar, sosok Lafran Pane memiliki lintasan sejarah atau historical trajectory yang unik. Pendiri organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini dalam pandangan cendekiawan muslim Fachry Ali terlahir dari lingkungan jenis keluarga baru dalam masyarakat Indonesia. Ia putera Sutan Pangurabaan Pane, seorang aktivis Partai Indonesia (Partindo) sekaligus aktivis organisasi Islam Muhammadiyah. Di dalam keluarga ini, Islam dan Nasionalisme menghadirkan diri secara bersamaan sebagai sebentuk penentangan terhadap hegemoni kekuasaan kolonial, tetapi pada saat yang sama dua landasan perjuangan itu juga memberi kesempatan terjadinya penyerapan gagasan-gagasan modernitas.

Jejak pertumbuhan kepribadian Lafran Pane selanjutnya sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh perjumpaan dengan berbagai peristiwa dimana Islam dan Nasionalisme turut mengarahkan kejadian-kejadian besar mengiringi kelahiran bangsa baru bernama Indonesia. Imajinasi tentang HMI saat dideklarasikan pendiriannya pada 5 Pebruari 1947 di Yogyakarta oleh Lafran Pane dan rekan-rekan seperjuangannya menjadi sejalan dengan imajinasi tentang Indonesia, dan bahkan ikut memperkaya dan meneguhkan bangunan keIndonesiaan kita hari ini.

Bertempat di ruang perpustakaan pribadi Fachry Ali di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, yang berisi ribuan buku, dengan suguhan teh hangat saya mewawancarai cendekiawan muslim alumni Monash University Australia itu.

————

HW : Gagasan modernisme Islam diakui memberi sumbangan besar dalam sejarah bangsa kita. Gagasan ini kerap dikatakan lahir bersama hadirnya Muhammadiyah pada tahun 1912, tetapi justeru berkembang di Sumatera. Dimana gagasan ini mendapat akar kultural yang kuat pada mulanya?

FA : Saya rasa kita memang bisa memulai dari lahirnya Muhammadiyah, karena secara faktual Muhammadiyah muncul sebagai trigger atau pemicu pertama gagasan Islam modern. Muhammadiyah berhasil mengalihkan orientasi pandangan keagamaan dari Middle East oriented ke Archipelago oriented. Muhammadiyah adalah respon keagamaan terhadap modernitas, terutama modernitas yang dibawa melalui modernisasi oleh kekuatan kolonial. Muhammadiyah memang berdiri di Jawa pada tahun 1912, tetapi dalam perkembangannya, di tempat-tempat dimana modernisasi telah berkembang, respon terhadap pendirian Muhammadiyah munculnya lebih cepat. Contohnya di wilayah kebudayaan Minangkabau, dimana wilayah ini sejak tahun 1850-an oleh pemerintah kolonial telah dipersiapkan menjadi salah satu pusat pendidikan. Sementara di wilayah ini pula Islam telah cukup berkembang, dan menghasilkan ulama-ulama. Secara geografis, Minangkabau jauh dari pusat kekuasaan di Jawa, tetapi di wilayah ini justeru Islam kelak memiliki dinamikanya sendiri dalam merespon modernitas.

Jadi, meski Muhammadiyah berdiri di Yogya, proses intelektualitas terhadap gagasan yang merupakan respon keagamaan terhadap modernitas justeru tidak berlangsung intensif di Yogya. Respon yang terjadi saat Muhammadiyah berdiri di Yogya sebagian besar bisa dikatakan hanya merupakan respon sosial terhadap gerakan para muslim reformis ini, tetapi respon itu belum memberi isi dan corak intelektual yang lengkap terhadap organisasi itu. Uniknya, pengisian justeru banyak terjadi di wilayah-wilayah pendidikan yang berkembang, dengan basis masyarakat Islam yang kuat, dan itu terjadi di Sumatera. Tepatnya di wilayah kebudayaan Minangkabau dan wilayah kebudayaan sekitarnya, terutama wilayah kebudayaan Batak, tepatnya wilayah Tapanuli.

HW : Daerah Sipirok, tempat Lafran Pane dilahirkan, secara geografis tercakup dalam peta kultural perkembangan gagasan Islam modern. Bagaimana menjelaskan fakta ini secara sosiologis?

FA : Ada ruas jalan raya yang menghubungkan Sipirok – Bukittinggi – Medan. Jalan yang dibangun di era kolonial ini tujuannya bukan saja untuk melayani konsolidasi kekuasaan kolonial Belanda, tetapi juga dibuat untuk tujuan-tujuan yang sangat strategis. Diantaranya adalah untuk mendorong terjadinya lalulintas manusia, barang, dan jasa, dan seluruh proses ini berlangsung secara under surveillance atau di bawah kontrol kekuasaan kolonial. Jangan lupa, tahun 1920-an seluruh perlawanan fisik terhadap kekuasaan Belanda di Sumatera, juga di Indonesia, telah berhasil ditundukkan. Akibat pengaruh politik etis, pendidikan, pertanian, dan irigasi mulai dibangun di berbagai daerah. Tetapi di wilayah kebudayaan Minangkabau, pendidikan mendapat prioritas tinggi. Masyarakat muslim di wilayah Minangkabau dan sekitarnya ikut memanfaatkan jalan ini untuk mendapatkan akses terhadap kemajuan di bidang pendidikan, dan dengan itu mengembangkan gagasan-gagasan kemajuan, gagasan-gagasan baru yang progresif yang datang dari luar, dan Islam di wilayah itu membangun respon kritis terhadap gagasan-gagasan itu.

Pada sisi lain, pemerintah kolonial justeru memiliki rencananya sendiri. Setelah meletus Perang Paderi, dimana para ulama beraliran Wahabi di Minangkabau memimpin perlawanan bersenjata, dan untuk periode yang singkat Kaum Paderi berhasil menggoyang tatanan kolonial di wilayah itu, maka pemerintah kolonial tidak menginginkan perlawanan keagamaan semacam itu terulang di masa depan. Lalu kebijakan apa yang harus ditempuh? Jalan yang paling rasional adalah dengan melakukan proses modernisasi lewat jalur politik etis, yaitu memperkuat pembangunan di bidang pendidikan, pertanian, dan pengairan yang tujuannya adalah mempersiapkan kaum pribumi mengisi jajaran birokrasi kolonial. Pada saat yang sama, dilakukan kristenisasi secara masif di wilayah kebudayaan Batak, khususnya di wilayah yang kini dinamai Tapanuli Utara. Pendidikan hukum menurut tradisi pendidikan Belanda di wilayah ini bisa menjelaskan mengapa hari ini banyak ahli hukum dan khususnya pengacara muncul dari wilayah ini. Pada akhirnya, hanya dengan cara ini, konsolidasi kekuasaan kolonial di wilayah Sumatera Tengah bisa dilakukan dengan baik. Kota Sipirok di tahun 1922, tempat dan tahun dimana Lafran Pane dilahirkan, meski sedikit berada di posisi periphery atau pinggiran, tetap menjadi bagian dari dinamika sosial, politik, dan budaya yang berlangsung intensif dan terencana ini. Muhammadiyah sendiri masuk di Sipirok pada tahun 1925.

HW : Apa bentuk pengaruh nyata dari gagasan modernitas ini pada Keluarga Lafran Pane?

FA : Keluarga Pane termasuk keluarga terkemuka di Sipirok. Keluarga Sutan Pangurabaan Pane, ayahanda Lafran Pane, menonjol dengan sifat-sifat kebaruan dan progresif yang terbawa melalui pendidikan dan cara pandang modern di masa itu. Modernitas ini bukan saja diwarisi dari Islam yang telah berjumpa dan memberi respon terhadap modernitas yang dibawa kekuatan penjajah Barat di wilayah itu, tetapi juga dikembangkan dari sikap berkemajuan, yang merupakan sifat bawaan dari westernisasi. Jadi Keluarga Pane adalah contoh nyata dari jenis keluarga baru, dimana Islam dan modernitas menyatu dan membentuk identitas baru, dan dalam hal ini cara berpikir yang maju, yang bersifat rasional dan intelektual, menjadi cara hidup Sutan Pangurabaan Pane dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Dari akar yang sama inilah Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Lafran Pane tumbuh, meskipun kelak di kemudian hari mereka berkembang dan membangun jalannya masing-masing.

HW : Secara sekilas, tampak ada two contested modernities, ada dua konsep modernitas yang saling bertanding di tempat dimana Lafran Pane tumbuh. Modernitas dari respon kritis dan kreatif dari Islam dan modernitas dari Barat. Pada keluarga Lafran Pane apa hasil dialektika dari dua konsep modernitas itu?

FA : Saya kira ada benarnya dengan istilah yang anda kenalkan itu. Memang ada dua jenis gagasan modernitas yang berbeda, yang bisa dinamai contested modernities, atau modernitas yang bertanding satu sama lain di wilayah itu. Akarnya bisa kita tarik ke belakang, jauh ke era Perang Paderi. Gagasan pemurnian Islam model aliran Wahabi yang dibawa Kaum Paderi memiliki sifat-sifat unik. Gerakan Wahabi itu gerakan yang sangat bersifat anti-tradisional. Segala macam hal yang bersifat tradisional, khususnya dalam praktik keagamaan, harus direformasi, harus diperbarui, atau lebih tepatnya ditiadakan dan diganti. Para ulama Wahabi yang baru pulang dari Mekah sangat aktif dalam melakukan transformasi sosial ini di abad ke-19. Modernisasi keagamaan model Wahabi ini memang tidak tuntas karena terputus oleh Perang Paderi. Pada sisi lain, gagasan modernitas yang dikenalkan pemerintah kolonial sangat berbeda. Jika kita mengutip komentar Snouck Hurgronje tentang peranan para ulama di Aceh, Hurgronje yang juga penasehat pemerintah untuk urusan pribumi ini mengatakan bahwa ulama is a stranger within society (ulama adalah orang asing dalam masyarakat). Pendek kata, konsepsi modernitas yang dikenalkan adalah westernisasi dan sekularisasi.

Catatan penting untuk dua jenis konsepsi modernitas itu adalah bahwa dua-duanya bersifat radikal dan sepenuhnya ingin terputus dari masa lalu. Dua-duanya menghadirkan discontinuity. Warisan anti tradisionalisme Kaum Paderi ingin memutus kaitan dengan masa sebelumnya yang dipenuhi kejumudan dan sinkretisme dalam ajaran Islam. Di sisi yang berbeda, westernisasi dan sekularisasi ingin sepenuhnya memutus, atau katakanlah mentransformasi habis-habisan masyarakat tradisional, sehingga penerimaan terhadap sikap modern a la Barat bisa terjadi secara sempurna.

Tetapi sepertinya ada pemahaman yang terlewatkan. Di dalam pengalaman kolektif masyarakat Indonesia, Wahabi belum tentu modern.Gerakan pemurnian Islam tidak serta merta sesuatu yang modern, meski menghadirkan diskontinuitas. Pelajaran penting yang dibawa oleh gerakan Wahabi ini adalah bahwa gerakan ini berhasil merontokkan tradisi, dan dengan itu sekaligus membuka lebih banyak ruang baru untuk penerimaan cara berpikir baru. Di sisi yang berbeda, westernisasi dibarengi watak sekularisasi yang menonjol menghadirkan sesuatu yang baru, tetapi ia tidak cukup untuk sepenuhnya mengganti tradisionalisme. Pada critical point inilah, muncul sesuatu yang baru, sesuatu yang tampak pada sosok Sutan Pangurabaan Pane. Sutan Pangurabaan Pane dikenal bukan saja sebagai aktivis Muhammadiyah, tetapi dia juga aktivis Partindo, partai nasionalis yang beraliran radikal. Itu artinya, dua konsepsi modernitas yang saling bertanding tadi bisa bertemu dan menyatu secara kreatif dan dinamis, bahkan menghadirkan identitas baru pada Keluarga Pane, dengan Sutan Pangurabaan Pane sebagai manusia konkrit-nya.

HW : Sejarah mencatat, putra-putra Sutan Pangurabaan Pane menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia modern. Ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga yang berpikiran modern, Sanusi Pane dan Armijn Pane ikut menentukan bagaimana sastra Indonesia modern tumbuh dan berkembang. Bagaimana generasi modern ini muncul dan apa pengaruhnya terhadap Lafran Pane?

FA : Yang menarik di sini, Muhammadiyah sudah berdiri di Sipirok pada tahun 1925. Ini bisa dibaca bahwa injection of modern Islamic thought happens much earlier in Minangkabau and its surrounding regions than in Betawi (masuknya pemikiran Islam modern di wilayah Minangkabau dan sekitarnya terjadi jauh lebih awal dibandingkan dengan wilayah Betawi). Pada dekade awal abad ke-20, munculnya enclaves atau kantong-kantong wilayah dimana pemikiran dan gagasan Islam modern berkembang, dapat diukur salah satunya dengan melihat di wilayah mana organisasi Muhammadiyah telah berdiri. Jika konsekuensinya ditarik lebih jauh, munculnya Sanusi Pane dan Armijn Pane – dua kakak Lafran Pane – sebagai sastrawan besar Indonesia, dan bergelut dengan aneka polemik kebudayaan terkait penerimaan gagasan-gagasan modernitas dalam masyarakat, telah membuktikan sesuatu yang sangat penting. Keberadaan Sanusi dan Armijn membuktikan lahirnya “the new human being” yang merupakan hasil dari pergulatan antara modernitas dan tradisi. Ini sekaligus menandai lahirnya generasi baru Indonesia, yaitu a distinctive new generation that totally replaced the old generation, intellectually and in mentality (sebuah generasi baru yang menggantikan generasi tua sebelumnya, yang berbeda baik secara intelektual maupun dalam mentalitasnya). Lafran Pane berada dalam lingkungan generasi baru ini, dan jika saat dia tumbuh sebagai remaja kemudian berada dalam krisis pencarian jatidirinya, pencarian itu sebagian besar dipengaruhi oleh dinamika yang menandai lahirnya generasi baru ini, yang notabene telah terjadi dan menjadikan dua kakaknya sebagai sosok manusia baru Indonesia.

HW : Bisakah diceritakan bagaimana dua arus modernitas yang yang saling bertanding itu membentuk diri Lafran Pane? Dan apakah Lafran akhirnya muncul dengan semacam konsepsi modernitas yang baru?

FA : Lafran Pane ini sangat unik. Ia sejak muda menajdi manusia yang penuh gelisah. Ia punya pemikiran dan gagasan, tetapi ia sudah tercerabut dari akar tradisinya. Ia pernah sebentar belajar di Medan. Lalu seperti terbawa gelora masa mudanya, diceritakan suka berantem, tapi dia tetap anak yang gelisah. Ia dari keluarga terdidik, disemangati gelora dan cita-cita Islam modern, tetapi keluarganya juga sangat terbuka terhadap gagasan-gagasan modernitas yang diperkenalkan penguasa kolonial lewat implementasi politik etis, khususnya modernisasi pada bidang pendidikan. Lafran Pane itu contoh yang sangat unik, dan pada dirinya tergambar jelas tarik menarik dua konsepsi modernitas yang berbeda itu, yaitu Islamic modernity and Western modernity. Lafran adalah anak hibrida antara Islam modern dan politik etis. Di situlah positioning Lafran Pane sejak dari awal. Pikiran Lafran Pane senantiasa hidup di medan dialektika yang keras. Ada banyak barrier mentality yang membatasi dirinya. Tidak semua generasi sejamannya bisa berhasil melewati batas-batas seperti itu pada masa penuh dinamika ini. Malahan bisa dikatakan, jika hanya segelintir segmen masyarakat Indonesia yang ditakdirkan sejarah bisa menjumpai masa penuh dinamika ini, tidak seluruhnya bisa mengambil positioning-nya. Gelora sejarah ini, yang bisa kita ibaratkan seperti beras yang ditapih, agar beras dengan bulir terbaik bisa didapat, maka Lafran Pane adalah salah satu beras terbaik yang lolos dari tapihan sejarah. Sama seperti Soekarno, Lafran adalah manusia sejarah, keduanya punya kemiripan meskipun keduanya punya positioning berbeda.

Lafran Pane itu bisa dikatakan “konstruksi Soekarno mini tanpa komunis.” Jika Bung Karno melihat realitas sosial dan kekuatan politik dalam masyarakat Indonesia dengan merumuskannya menjadi Nationalism, Islamism, dan Marxism, Lafran Pane cukup menggabungkan antara Nationalism dan Islamism. Walau tidak ada tulisan khusus tentang hal ini dari Lafran, tetapi telah menjadi jelas dan tak terbantahkan bahwa HMI itu adalah pejuang kemerdekaan. Mahasiswa Islam yang menghadirkan dirinya sebagai HMI adalah pejuang kemerdekaan.

HW : Lafran Pane sejak muda, tepatnya sejak berada di Jakarta pada fase akhir penjajahan Jepang, sudah berada di pusat perjuangan para pemuda yang aktif mememperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, Lafran sampai ikut hijrah ke Yogya ketika ibukota RI berpindah dari Jakarta ke Yogya. Apa pengaruh sikap ini terhadap pendirian HMI?

FA : Tentu saja contoh tentang ini jelas sekali. Ketika Republik Indonesia pindah ke Yogya pada 4 Januari 1946, Lafran pane ikut pindah ke Yogya. Semula Lafran berada di Jakarta, dan pada fase akhir penjajahan Jepang, dia ikut bergaul di sekitar para pemuda pejuang kemerdekaan yang bermarkas di Asrama Menteng 31. Di situ ada BM Diah, Soekarni, Adam Malik, Wikana, bahkan ada juga Aidit. Lafran tidak tertulis namanya dalam teks sejarah karena dia pembawaannya sangat low profile dan tidak mau menonjolkan diri. Para pemuda ini sebagian besar tertarik kepada ideologi sosialisme. Lafran sendiri tidak pernah dikabarkan memiliki ketertarikan yang dalam kepada sosialisme sebagaimana rekan-rekannya itu. Pada saat Republik pindah ke Yogya, sikap para pemuda di Jakarta sedikit banyak terbelah. Soetan Sjahrir yang menjadi Perdana Menteri masih bertahan di Jakarta, dan Soekarno-Hatta memutuskan hijrah ke Yogya untuk memimpin perjuangan dari Yogya. Sjahrir mempertahankan Republik dengan tetap berada di Jakarta yang merupakan kota internasional, dan Soekarno-Hatta mempertahankan Republik dengan berbasis di “wilayah pedalaman” yaitu Yogyakarta. Nugroho Notosusanto menceritakan, para pemuda dalam membela kemerdekaan RI ada yang tetap bertahan di Jakarta, tetapi ada yang hijrah ke Yogya. Lafran Pane dengan sadar memilih ikut hijrah ke Yogya, dan siap berjihad di sana demi membela Republik. Ke Yogya itu pilihan sadar, pilihan politik, his ideological commitment. Itulah nasionalisme Lafran. Itu bagian dari pemihakan dia terhadap Republik Indonesia. Pemihakan semacam itu pula yang melatari pendirian HMI pada 5 Pebruari 1947 di Yogya.

HW : Menurut saya tetap ada pertanyaan menarik, seperti mengapa Lafran tidak bertahan di Jakarta seperti yang dilakukan Soetan Sjahrir sebagai Perdana Menteri RI waktu itu. Bukankah Sjahrir populer di lingkaran anak-anak muda. Atau, Lafran punya penilaian sendiri atas pilihannya untuk hijrah ke Yogya…

FA : Lafran Pane tidak terpukau dengan intelektualitas Soetan Sjahrir yang dirasa agak kebarat-baratan. Sejarah keluarga Pane yang berada di wilayah periphery, atau tepatnya pada bagian pinggiran dari gerakan Islam modern yang berpusat di Minangkabau, justeru memberi dampak positif terhadap positioning yang diambil Lafran. Intinya, dalam rangka memperjuangkan Indonesia merdeka, kaum intelektual tidak perlu tercerabut dari akarnya, tidak perlu menjadi kebarat-baratan. Justeru di dalam pandangan Lafran, gagasan tentang hadirnya kaum Islam modern di alam Indonesia merdeka adalah gagasan yang benar-benar baru dan orisinil. Gagasan semacam itu sepenuhnya tumbuh dari sejarah Indonesia sendiri, dibentuk dan dimatangkan secara kreatif oleh orang-orang Islam Indonesia sendiri. Tidak merupakan produk gagasan yang diimpor dari Barat atau dari Timur Tengah. Sekarang kita bisa membacanya begitu kenapa Lafran tidak terpukau oleh keunggulan intelektualismenya Soetan Sjahrir, atau oleh pandangan sosialisme-nya Sjahrir. Menurut saya Lafran mengikuti kata hatinya saja. Ia ke Yogya atas pilihannya sendiri, dan kelak terbukti pilihan ini membuatnya berada dalam situasi sejarah yang sangat intens, bahkan berpuncak pada pendirian HMI. Saya menduga sepanjang hidupnya Lafran pasti sangat bahagia dengan pilihannya ini.

HW : Lafran Pane menolak HMI disatukan ke dalam Partai Masyumi, yang notabene saat itu menjadi satu-satunya partai politik bagi umat Islam Indonesia. Ini sebuah keputusan yang sangat berani. Bagaimana anda membaca keputusan Lafran Pane ini?

FA : Penolakan Lafran agar HMI menjadi bagian dari Partai Masyumi itu menandai salah satu sejarah terpenting dari eksistensi HMI. Lafran menolak HMI disatukan dengan Masymui karena dia punya perhitungan tersendiri. Melalui HMI, Lafran Pane tengah mempersiapkan lahirnya generasi baru Islam modern yang jauh lebih besar dari sekadar generasi Islam modern yang dilahirkan lewat partai politik. Lafran membayangkan setelah Indonesia meraih kemerdekan penuh, maka masyarakat Indonesia akan berkembang pesat, dan perkembangan ini menurutnya tidak boleh hanya digerakkan oleh peranan partai politik. Lafran Pane sadar betul bahwa anak-anaknya di HMI akan beraktivitas di seluruh lapangan kehidupan, not only limited in political parties. Jika kita tarik pada konteks diskursus demokrasi saat ini, penolakan Lafran agar HMI disatukan dengan Masyumi itu bisa dimaknai sebagai sebuah kesadaran tentang balance of power. Kekuatan politik di partai-partai harus diimbangi oleh kekuatan masyarakat sipil (civil society) dan kekuatan masyarakat intelektual (intellectual society). Hanya dengan cara itu demokrasi akan bisa menghasilkan kemaslahatan untuk umat dan bangsa. Hanya dengan cara itu demokrasi tidak jatuh menjadi sesuatu yang semu, dimana demokrasi bisa digunakan menjustifikasi praktik politik otoriterisme yang dipimpin seorang tiran. Dengan anak-anaknya di HMI yang berkegiatan di political society, civil society, dan intellectual society, kita sekarang bisa membaca bahwa demokrasi yang dibayangkan Lafran Pane adalah demokrasi yang mampu bekerja menghasilkan kemaslahatan buat sebanyak mungkin orang Indonesia, bukan demokrasi yang menghasilkan apa yang disebut diktator mayoritas dan tirani minoritas.

HW : Lebih konkrit lagi, apakah Lafran punya tawaran yang lebih baik bagi umat Islam dengan menolak HMI disatukan dengan Masyumi?

FA : Sebenarnya ini problem yang sedikit rumit. Lafran kan tidak langsung menjawab tidak, ketika dia ditawari agar HMI menjadi semacam organisasi mahasiswa Islam di lingkungan Masyumi, untuk melengkapi GPII dan PII yang mewakili pemuda dan pelajar Islam dalam Masyumi. Jawaban Lafran justeru terletak pada konsep HMI yang sangat distinktif. Masyumi sebagaimana kita tahu adalah sebuah federasi yang menyatukan berbagai organisasi Islam, tetapi juga berfungsi sebagi satu-satunya partai politik Umat Islam saat dideklarasikan kelahirannya pada November 1945. Di dalam Masyumi spektrum politiknya sebenarnya hanya terbagi dalam dua kekuatan besar, yaitu kaum Islam modernis yang kutubnya berpusat pada Muhammadiyah dan kaum Islam tradisionalis yang berpusat pada NU. Lafran Pane dengan konsep Islam modern sepertinya tidak ingin terpaku pada posisi semacam itu. Basis sosial bagi Islam modern di Indonesia bisa datang dari Muhammadiyah maupun NU. Dengan posisi seperti ini, konstruksi HMI dipikirkan oleh Lafran Pane. Jadi, sadar atau tidak sadar, Lafran Pane sebenarnya terus menerus berada dalam proses “meng-Indonesia-kan Islam modern” atau Indonesianizing modern Islam sampai akhirnya HMI dilahirkan sebagai wujud konkritnya. Perkembangan selanjutnya dalam perjalanan HMI makin membenarkan hal itu.

HW : Dengan kata lain, Lafran ingin menegaskan bahwa HMI adalah entitas baru dari Islam modern di Indonesia.

FA : Islam modern itu adalah konsep sosiologi politiknya Lafran Pane. Dan dalam konteks ini, Noercholish Madjid atau Cak Nur itu adalah cucu penerus konsepsi pemikiran Lafran Pane itu. Jika Lafran Pane berhasil menciptakan organisasi HMI sebagai physical embodiment (perwujudan fisik) dari konsepsi Islam modern, maka Noercholish Madjid adalah orang yang memberi isi pada cetakan yang bernama HMI itu. Cak Nur memberi penegasan terhadap gagasan modern Islam as socio-political force through HMI (Islam modern sebagai kekuatan sosial-politik yang mewujud melalui HMI). Kerangka berpikir Cak Nur sangat logis dan empiris. Tidak ada yang bisa mengingkari bahwa umat Islam Indonesia adalah sebuah kekuatan sosial-politik yang riil, sesuatu kekuatan sejarah yang ikut melahirkan Republik Indonesia, dan HMI adalah anak kandung umat Islam Indonesia yang kehadirannya turut memodernisasi bangsa kita.

HW : Salah satu sisi unik dari HMI adalah organisasi kaum Islam modern ini memiliki semangat moderasi yang kuat. Melalui semangat moderasi itu, modernitas digunakan sebagai instrumen menyatukan umat dan bangsa. Bahkan, Keislaman-Keindonesiaan-Kemodernan berada dalam satu tarikan nafas, dan menjadi jatidiri kader HMI. Bisakah anda jelaskan bagaimana moderasi bekerja di HMI?

FA : Saya kira moderasi bisa menjadi konsep yang cukup menjelaskan dalam hal ini. Pada tahun 1947, suasana politik di Yogya kan memang panas. Kekuatan pendukung politik diplomasi dan kekuatan yang menginginkan jalan pertempuran dalam perjuangan membela kemerdekaan RI saling bersaing. Tetapi itu hanya berfungsi sebagai konteks eksternal. Kalau kita membaca Lafran Pane pada momentum ini, moderasi mungkin lebih tepat digunakan untuk mengkontraskan bagaimana generasi muda pra-kemerdekaan dan generasi muda setelah kemerdekaan memandang pola pengorganisasian perjuangan mereka. Generasi Soekarno, misalnya, membentuk model studi klub yang elitis, sebelum akhirnya melanjutkan dengan membentuk partai yang merakyat. Jong Islamieten Bond yang ditokohi orang seperti Moehammad Roem juga bergerak seperti studi klub. Pola pengorganisasian dengan menggunakan studi klub itu wajar karena jumlah pemuda terpelajar dan tercerahkan sangat sedikit. Secara sepintas memang tampak sebagai extremely limited youth organization. Lafran Pane dengan HMI yang dia dirikan tidak mengambil sisi diametral secara ekstrim dengan pola pengorganisasian perjuangan para pemuda di era sebelumnya. Lafran mengambil posisi moderasi dengan bertitik pada “perluasan konsep studi klub” (enlargement of study club), karena sadar betul bahwa komunitas mahasiswa sebagai komunitas intelektual jumlahnya akan terus membesar setelah Indonesia merdeka, dan saluran aspirasinya tidak bisa lagi hanya diwadahi dalam bentuk studi klub. Intellectual effect can’t be limited.

Moderasi juga menandai “momen STI” pada sisi yang lain. Jika HMI ingin besar, tidak mungkin dibuat posisi diametral secara ekstrim, misalnya dengan mendikotomikan antara STI dan UGM yang baru saja berdiri saat itu. Saya kira begitulah cara membacanya ketika Lafran memberi kesempatan kepada HMS Mintaredja yang dari UGM menjadi Ketua Umum HMI. Tujuannya jelas, memperluas basis HMI keluar dari sebatas kampus STI.

Moderasi juga tampak pada upaya mengindonesiakan Islam modern melalui HMI. Ini dilakukan Lafran Pane dengan menjadikan HMI sebagai organisasinya mahasiswa Islam nasionalis, bukan Pan-Islamis. Bagaimanpun, sumbangan gerakan Pan-Islamisme sangat besar dalam menghadirkan konsep Islam modern. Tetapi dari warisan gerakan Pan-Islamisme itu Lafran Pane hanya mengambil dimensi kemodernan dan intelektualisme saja untuk HMI.Concern kepada intelektualisme dan modernisme ini juga menjadi cara bagaimana mengadaptasi westernisasi yang terasa masih kuat terjadi di kampus-kampus saat itu. Bukankah pada masa itu makna modernization masih kerap disamakan dengan westernization. Akhirnya, banyak yang terjebak pada stereotip bahwa modernism is european lifestyle (modernisasi sama dengan gaya hidup Eropa). Modernisasi diartikan sebagai bergaya kebarat-baratan. Konsepsi modernization Lafran Pane sangat distinktif. Jika kita menggunakan istilah sekarang modernization itu adalah saripati dari enlightened discourse, saripati dari wacana-wacana yang mencerahkan. Di sinilah konsep modernization-nya Lafran Pane, yang kemudian dielaborasikan dengan sangat luar biasa oleh Noercholish Madjid menjadi konsep Keislaman-Keindonesiaan-Kemodernan,yang kemudian tiga hal yang menyatu itu menjadi jatidiri kader HMI.

HW : Jika disimpulkan, bagaimana moderasi ini bekerja di HMI?

FA : Jadi, moderasi dalam sejarah HMI bergerak di empat hal penting itu. Pertama, moderasi dari sisi pengorganisasian perjuangan mahasiswa setelah kemerdekaan, kedua moderasi yang ditujukan untuk perluasan basis sosial HMI di kampus-kampus, ketiga moderasi yang bertujuan menjadikan HMI sebagai entitas organisasi mahasiswa Islam nasionalis, bukan Pan-Islamis, dan keempat, moderasi dalam hal mengambil sisi-sisi unggul dari aneka konsep modernitas, yang mengutamakan penguasaan wacana-wacana yang mencerahkan. Pada empat hal itu, moderasi bisa punya arti bahwa peran HMI bagi negara ini senantiasa dibarengi dengan semangat mencari jalan tengah atau mencari titik temu terbaik, bersemangat menyatukan dan bukan memecah belah umat maupun bangsa. Di sinilah terletak rahasia kekuatan HMI.

Pos terkait

banner 468x60