“Jika tak ada Kafe de Flore,
tak akan ada karya Jean-Paul Sartre” (Boris Vian, Penulis Prancis)”
Tak lengkap rasanya jika tinggal di Eropa tapi belum ke Paris, Prancis. Paris menyimpan sejarah perkembangan pemikiran yang luar biasa. Salah satu keinginan ketika saya melawat Paris tanggal 2-4 Mei 2010 adalah melihat dari dekat Kafe de Flore. Kafe ini memiliki sejarah kuat bagi perkembangan pemikiran intelektual Prancis. Dua tokoh besar Prancis yaitu Jean-Paul Sartre dan Simone De Beauvouir menghasilkan pemikiran-pemikiran kritis dan cemerlang ketika mereka sedang berada di kafe ini. Saya penasaran dengan kafe yang terletak di jalan Paris Saint Germain nomor 172. Sejak tiba di bandara Paris Beauvais pada Selasa tanggal 2 Mei 2010 pada pukul 20.55, setelah berangkat dari Roma dengan penerbangan murah Ryan Air pada pukul 18.50, ingatan saya tentang buku-buku karya dua tokoh tersebut yang pernah saya baca di Indonesia terus membayang.
Bandara Beauvais adalah bandara yang berada jauh dari Paris kota, sekitar 80 kilometer. Tiba di bandara hari telah mulai gelap dan saya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus menuju Paris Kota tepatnya ke terminal bus Porte Maillot dengan tiket perorang 17 euro. Dari terminal tersebut saya berjalan menuju subway untuk melanjutkan perjalanan menuju hotel Jarry yang terletak di jalan Jarry (Rue Jarry) nomor 4 Paris, sebuah hotel kecil yang tak jauh dari tempat orang-orang pendatang (imigran) berjualan.
Kekuatan sebuah kafe memang menarik untuk dicermati dan dinapak tilasi. Orang-orang ternama seperti Henrik Ibsen, Alfed Volgar, Salvador Dali, dan Kafka juga menuangkan pikiran-pikiran mereka ketika mereka berada di sebuah kafe. Oleh karena itu kafe dalam perjalanan kehidupan Eropa tidak hanya semata berkaitan dengan tempat santai untuk sekedar menikmati segelas bir, anggur dan berbagai jenis minuman lainnya, namun juga menjadi tempat mengeksplorasi gagasan.
Sebelum berangkat ke Paris, saya sudah mencari informasi bagaimana cara agar saya bisa sampai di kafe yang tidak jauh dari sungai Seini yang membelah kota Paris tersebut. Saya melacak lokasi dari peta elektronik di internet dan dengan jelas melihat posisi kafe. Ketika tiba di Paris, saya meminta peta pada petugas hotel karena memegang peta kota Paris adalah syarat mutlak agar tidak tersesat. Sayang, di peta Paris yang diberikan oleh petugas hotel, saya tidak menemukan petunjuk gambar dan tulisan Kafe de Flore. Sementara gambar dan tulisan tempat-tempat wisata Paris lainnya seperti Notre Dame, Eifel, dan Meseum Lovre sangat jelas tergambar di dalam peta. Gambar lokasi dan nama Universitas La Saborno paris juga tidak tertera di Peta. Padahal Universitas Soborno sangat terkenal dan tua karena beberapa tokoh Prancis seperti Rene Descartes pernah studi dan mengembangkan pemikiran di sana.
Bagi mereka yang berminat untuk menapak tilasi jejak tokoh-tokoh penting Prancis, peta seperti yang saya dapatkan tentu terasa kurang lengkap. Tapi dalam peta yang saya pegang tetap tertera nama-nama jalan. Paling tidak dengan nama-nama jalan itu saya tetap bisa mencari lokasi Kafe de Flore.
Tanggal 3 Mei 2010, Paris masih terasa dingin dan cenderung berangin. Saya merasakan hawa dingin karena sejak dari Jerman, saya memang tidak membawa jaket tebal. Beberapa hari sebelumnya ketika saya berada di Roma, udara cenderung panas sehingga saya tak membutuhkan jaket tebal. Tetapi di Paris saya sedikit merasa kedinginan. Jaket tipis yang saya kenakan tak mampu membendung rasa dingin. Oleh karena itu saya memutuskan untuk menggunakan kaos rangkap.
Baca juga: Dibalik Tato Kupu-Kupu Pada Drama Nevertheless
Tiba di daerah Saint Michel di mana katedral terkenal Notre Dame berada, saya kemudian menyusuri trotoar jalan Qual Voltaire dan Qual Malaquais yang berada persis di tepian sungai Seini. Di sepanjang trotoar ini terdapat banyak sekali kios-kios mini yang menjual buku-buku bekas dan lukisan-lukisan. Kios-kios berwarna hijau yang mirip kotak-kotak kecil ini berada di atas pagar trotoar. Banyak orang lalu lalang yang berhenti untuk sekedar melihat lukisan. Ada sebagian dari mereka yang membaca buku-buku tua di kios. Saya terus melangkahkan kaki dan kemudian memasuki kawasan jalan Paris Saint Germain.
Sambil melihat ke kanan dan kiri, saya berusaha menemukan gedung bernomor 172. Awal mulanya saya melihat nomor 130 di sebelah kanan jalan dan nomor 133 di sisi kiri jalan. Maka saya memutuskan untuk berjalan di trotoar sebelah kanan jalan di mana gedung-gedung bernomor genap berada. Setelah beberapa saat saya berjalan, saya menemukan plakat yang tertempel di tiang lampu pinggir trotoar. Saya berusaha membaca tulisan yang menarik pandangan mata saya. Tertulis: PLACE SARTRE AND BEAUVAIR – JEAN PAUL SARTRE (1905-1980) SIMONE DE BEAVIOUR (1908-1986) PHILOSOPHIES AT ECRIVAINS. Plakat ini tentu menjadi salah satu bukti bahwa masih ada kepedulian dari pemerintah Prancis terhadap situs sejarah intelektual Prancis. Plakat ini juga menjadi petanda bahwa di jalan Paris Saint Germain puluhan tahun yang lalu telah lahir pemikiran berpengaruh.
Saya pun bergegas melangkah dan beberapa meter ke depan saya melihat bangunan gedung yang saya cari. Kafe de Lofre terletak pojok jalan, mirip dengan sebagian besar kafe di Paris yang juga berada di sudut jalan. Di atas pintu masuk kafe jelas tertera nama KAFE DE LOFRE. Saya memandang kafe ini dengan pandangan serius sambil berupaya membawa pikiran saya ke sosok Sartre dan Beavouir. Saya membayangkan mereka berdua ketika masih hidup dan menghabiskan banyak waktu di kafe ini.
Kafe de Flore hingga kini masih berfugsi sebagai kafe. Banyak pengunjung datang untuk sekedar menikmati minuman dan makanan dan menapak tilasi jejak dua tokoh penting pemikiran kritis Prancis. Satre sendiri sangat terkenal dengan konsep-konsep eksistensialisme. Sementara Beavouir jadikan rujukan karena pemikiran-pemikiran feminismenya. Buku-buku terjemahan karya dua pemikir Prancis ini banyak menghiasi toko-toko buku di Indonesia. Wajar saja, karena dua tokoh ini memang menghasilkan pemikiran berpengaruh di berbagai penjuru dunia.
Saya termangu di kafe, menghabiskan segelas kopi berharap Sartre dan Beavouir tiba-tiba datang menghampiri.
Paris, 5 Mei 2010