Kadingaren kadingaren
Kadingaren kang bagus gasik tekane
Eling-eling baliya sapa maning
Sejak bakda isya Kar membaringkan tubuh di dipan. Baru saja bisa Kar tidur. Dengan iringan lagu Eling-Eling diputar dari tape recorder kecil peninggalan ramanya. Di tape recorder berwarna hitam itu, hanya ada lagu Eling-Eling. Lagu kesukaan ramanya dulu. Kira-kira baru sepuluh menit matanya terpejam. Pintu rumah buatan Mbah Rus yang sudah meninggal digedor-gedor kencang. Usia pintu rumahnya sama dengan usianya, lebih dari setengah abad. Tidak mengherankan kalau pintu itu sudah rapuh dimakan rayap.
“Mbah Kar! Mbah Kar!” “Mbah Kar!”
“Mbah…!”
Sontak Kar beranjak dari dipan. Merapikan rambut berantakan. Menggelung dengan karet gelang. Lalu ia melangkah ke ruang tamu. Langkahnya gontai. Tangan mengucek mata, agar pandangannya kembali terang. Dibukanya pintu tua itu, di baliknya ada sepasang suami istri. Mata Kar berusaha melihat dengan jeli, lantaran mereka datang ke rumah Kar pukul tiga dini hari.
Kar mengira hanya ia yang tidak bisa tidur. Tetapi, nampaknya sepasang suami istri itu juga demikian. Kar mempersilakan mereka untuk masuk, tangan kiri memegang daun pintu, tangan kanan mengarah ke kursi kayu. Lekaslah mereka duduk di atas kursi yang nasibnya seperti pintu. Sudah tua dan rayap menggerogotinya. Di hadapan Kar mereka duduk, hanya meja bundar menjadi penghalang.
Aneh. Pukul tiga dini hari, sang suami sudah rapi. Kar tidak tahu betul itu pakaian jenis apa. Barangkali pakaian TNI, polisi, atau entahlah. Kar sedang mengingat-ingat, tetapi ingatan soal itu ternyata tidak terawat. Atau, barangkali Kar memang tidak cukup tahu soal jenis pakaian semacam itu. Sedangkan sang istri memakai daster batik bermotif bunga. Kadang, Kar melihat motif itu di jarit untuk membungkus bayi.
Perempuan itu sedang bunting, Kar mengira-ngira usia janinnya sudah tujuh bulan. Dilihat Kar, mata perempuan di depannya sudah sayu. Kaki sudah bengkak. Kepala dan bahu menenggelamkan lehernya. Hanya sedikit tampak. Rambutnya tidak digelung sempurna, barangkali ia baru bangun tidur juga. Atau
… entahlah, Kar tidak begitu yakin dengan penglihatannya.
Mereka datang meminta Kar untuk membunuh janinnya. Mendengar itu dahi Kar mengernyit. Baru pertama kali ia dimintai tolong seperti itu. Pukul tiga dini hari pula. Seperti mimpi tetapi bukan. Ini kenyataan. Kar merasa mereka memang aneh. Atau barangkali mereka sudah sinting. Atau … ah, gemblung. Dengan tegas Kar menolak. Mendengar penolakan itu, mereka mengiming-iming uang ratusan juta. Ya, mereka memang sinting. Gemblung.
Mulut Kar tidak mengeluarkan sepatah kata, hanya gelengan sebagai jawabnya. Sepasang suami istri itu terus memaksa. Bahkan, mereka sudah membawa uang satu koper untuk membayar tenaga Kar. Diletakan koper itu di meja, dengan keadaan terbuka. Pendidikan terakhir yang dienyam Kar ternyata
Tidak sanggup menghitung uang di depan matanya. Berwarna merah, biru, ditumpuk jadi satu. Nampaknya baru ambil dari bank.
Kar kemudian menduga kalau perempuan di depannya bukan perempuan baik-baik. Bisa jadi ia hanya perempuan simpanan laki-laki di sampingnya. Mereka bukan sepasang suami istri yang sah. Buktinya, laki-laki itu mau membayar tenaga Kar dengan uang begitu banyaknya. Sebab, sekalipun Kar belum pernah menikah. Ia tahu kalau tujuan menikah agar mempunyai keturunan.
Lalu, di kepala Kar muncul dugaan lain. Barangkali, mereka memang sepasang suami istri yang sah. Sungguh, Kar tidak menemukan alasan tepat atas keinginan mereka. Tetapi, Kar mendengar akhir-akhir ini televisi seringkali mewartakan kejahatan. Ada bapak membunuh anak. Ada ibu membunuh anak. Ada anak membunuh orang tua. Ada suami membunuh istri. Barangkali, mereka salah satu dari mereka, orang tua membunuh anak. Ah, dunia seolah sudah jungkir balik.