Kar Membakar Kinang

Kar beranjak dari dipan. Seperti biasa, rambutnya digelung dengan gelang karet. Jariknya yang dijadikan tapih dikencangkan. Tangannya mengikat jarik itu ke lingkaran perutnya yang kecil. Kar menarik nafas sedikit panjang. Habis itu mengunyah kinang. Kadang-kadang, di mulutnya kinang itu diletakan sebelah kiri, tengah-tengah, atau kanan. Sesuka Kar.

Saat membuka pintu, ada Annida–perempuan cantik berbaju putih sudah berdiri. Rambutnya hitam panjang terurai, hidungnya mancung, alisnya tebal, matanya bulat hitam, dan gincunya merah merona. Kar tersenyum melihatnya. Sudah menjadi rutinitas perempuan itu mampir ke rumah Kar sebelum berangkat ke Puskesmas. Tetapi, Kar lupa sudah kedatangan ke berapa. Saking seringnya.

Annida langsung mencium punggung tangan Kar. Lantas Kar mengelus rambutnya yang halus. Selang beberapa detik, mereka sama-sama masuk dan duduk berhadapan. Seperti biasa. Di tengah meja ada asbak berwarna coklat berbahan bata, berisi kinang yang mengering. Lalu Kar membakar kinang yang ada di asbak itu. Perempuan itu sudah biasa menyaksikan kebiasaan Kar. Sehingga tidak heran.

Kedatangan Annida selalu sama: mengajak Kar untuk bermitra dengan bidan. Tetapi, jawaban Kar juga selalu sama: menolak. Seperti kehabisan cara, Annida terus mengulang akibat Kar tidak mau bermitra dengan bidan. Tetapi, Kar memang sudah tua, sehingga sebenarnya ia tidak tahu apa yang dimaksud olehnya. Barangkali, Kar sudah kurang memahami kata-kata, sekalipun sudah dibuat sederhana.

“Mbah, Annida sudah sering katakan. Kalau Mbah tidak mau bermitra dengan bidan, lebih baik Mbah berhenti saja jadi dukun bayi. Itu berbahaya, Mbah, bahaya…”

Bibir Kar ditarik ke kanan dan ke kiri, ia meringis. Gigi berwarna orennya kelihatan. Kemudian Kar mengangkat asbak itu di depan mata Annida dan dirinya. Api itu masih menyala. Pipi Kar menggelembung, bibirnya mengunci rapat, baru kemudian disemburkan isi mulutnya ke asbak. Apinya mati. Hidung Annida mencium asap itu, lalu tersedak. Annida hanya menggeleng, Kar tertawa kecil.

“Mbah…” kata-kata Annida menggantung.

Annida kemudian mengingat wartawan yang mewartawakan banyak bayi-bayi mati di televisi. Salah satunya akibat dukun bayi kurang pengetahuan soal medis. Sekarang, satu-satunya dukun bayi di desanya hanya tinggal Kar. Sekalipun, selama menjadi dukun bayi, Kar tidak pernah membuat kesalahan fatal. Tidak pernah membuat bayi mati. Tidak. Tidak pernah. Tetapi, Annida merasa berhak untuk mencegah hal-hal buruk terjadi.

Berangkatlah ke Puskesmas, Nduk,” jawab Kar.

Annida terpaksa mengangguk. Ia beranjak dari kursi kayu itu, mencium punggung tangan Kar. Seperti biasa, Kar juga mengelus rambut Annida, saat Annida membungkuk di depannya. Setelah berjalan lima langkah, Annida melambaikan tangan. Kar yang masih berdiri di depan pintu, tersenyum padanya. Setelah Annida tidak tampak, Kar menutup pintu rapat-rapat.

***

Pos terkait

banner 468x60