Kar berniat untuk nyekar. Ia berjalan sudah agak lama, tetapi jalan yang biasa ia lewati terasa begitu jauh. Kedua tangannya masing-masing membawa baskom, ditempelkan baskom itu ke dadanya. Orang-orang yang melihat Kar, menyapanya. Rata-rata, mereka teman sebaya Kar. Atau hanya terpaut dua atau tiga tahun darinya.
“Mau nyekar ya, Kar?”
“Semoga kebiasaan nyekarmu membawa berkah, Kar.” “Hati-hati, Kar.”
Mendengar itu Kar hanya tersenyum dan terus mengunyah kinang. Ia masih berjalan. Ia sudah melewati berkali-kali rumah kepala desa. Satu-satunya rumah yang dipagari besi. Tetapi belum sampai juga. Ah, mana mungkin Kar kesasar. Ia terus berjalan. Beberapa kali ia berhenti untuk mengencangkan jarit yang jadi tapihnya. Kemudian meletakan kedua baskomnya di bebatuan pinggir jalan. Merapikan gelungan rambutnya yang sudah berantakan.
Sudah agak dekat pemakaman, Kar merasa ada yang aneh di sana. Tatkala sampai, keanehan memang nyata adanya. Kuburan-kuburan itu sudah ditabur bunga, entah oleh siapa. Kar mengernyitkan dahi, kemudian menatap dua baskom yang sudah dibawanya. Kar menggaruk kepala yang tidak gatal. Merasa kebingungan. Kemudian ada perasaan sia-sia mendera.
Merasa tidak ada yang harus dilakukan. Kar memutuskan untuk pulang. Dengan meninggalkan kedua baskom di samping pintu gerbang. Supaya bunga dan air itu bisa digunakan oleh penyekar selain Kar. Sebenarnya, ia ingin bertanya, tetapi tidak ada satupun orang di sana. Kar merasa bahagia lantaran ada yang masih peduli dengan kuburan-kuburan itu. Tetapi, di sisi lain, ia juga merasa sedih lantaran tidak lagi leluasa menabur bunga.
Sampai di rumah Kar menyalakan tape recorder. Memutar lagu satu-satunya.
Bendo ijo, doro ijo sakurungan, rama Jo maido, jo maido
Jo maido nanggap sinden isih bodo Eling eling sapa eling baliya maning
Kemudian Kar membakar kinang yang sudah mengering. Saban hari ada saja kinang dibakar, pasalnya Kar selalu mengeringkan kinang di pelataran rumah yang habis dikunyah. Di bawah panas matahari persis. Setelah lima belas menit berbaring, Kar tidur pulas di dipan. Lagu Eling-Eling menemani tidur Kar. Sampai sore. Sampai malam. Sampai pagi. Sampai ia melupakan kesendiriannya yang sepi.
***
Suatu kali, banyak daun kering berserakan di pelataran rumah Kar. Sehingga, ia memutuskan untuk membershikan. Di atas batu-batu kecil, Kar berjalan membungkuk sembari memegang sapu lidi. Sesekali Kar harus kembali berdiri, untuk membenarkan jarit yang ingin lepas dari perutnya yang kecil. Lalu meminjam keranjang untuk mengumpulkan sampah-sampang kering. Kalau sudah terkumpul semua, Kar membakarnya. Abu-abu sisa pembakaran, ia kumpulkan jadi satu di plastik. Bersamaan dengan abu kinang yang dibakar.
Baru mau mengembalikan keranjang milik Yu Niem. Ada perempuan bunting ke rumahnya. Perempuan itu memakai daster bemotif batik. Kar menatap lekat-lekat wajah perempuan itu. Seperti pernah melihat, seperti tidak. Sebelum keraguan itu terjawab, Kar mempersilakan perempuan itu masuk. Dari belakang perempuan itu membuntuti Kar. Mereka duduk berhadapan.
“Bagaimana tawaranku, Mbah?” perempuan itu tiba-tiba menanyakan sesuatu yang tidak Kar tahu. Atau barangkali luput dari ingatannya.
Kar merasa bingung. Lantas, ia balik bertanya soal yang dimaksud oleh perempuan itu. Ia kemudian bercerita pada Kar, kemarin pukul tiga dini hari ia dan suami datang ke rumahnya. Membicarakan soal keinginan membunuh janinnya. Ia terus mendesak Kar, lantaran sudah menonton berita di televisi ada dukun bayi membantu pasien yang ingin aborsi.
Dari teman arisan perempuan itu, ia mendengar ada dukun bayi di kampung sebelahnya. Hanya tinggal satu-satunya, yaitu Kar. Pikirnya, barangkali Kar melakukan hal yang sama. Kar menggaruk kepala yang tidak gatal. Tetapi perempuan itu tetap dirasa janggal.
Tok
Tok
Tok
Tiba-tiba, pintu itu diketuk. Kar beranjak dari kursi, membuka pintu. Di baliknya ada perempuan cantik yang sudah mengenakan pakaian bidannya. Pukul enam pagi memang waktunya Annida datang ke rumah. Seperti biasa, Kar mempersilakan masuk. Annida menganggukkan kepala dan tersenyum ramah
menyaksikan ada perempuan bunting sedang duduk di dalam.
“Nduk, apa kamu tahu ini siapa?” Kar menunjuk perempuan di hadapannya.
“Maaf, Bu, Mbah Kar memang sudah pikun. Ada yang bisa saya bantu? Kebetulan saya bidan,”
Annida tersenyum ramah, ia mengira kalau perempuan di sampingnya sedang konsultasi dengan Kar.
Perempuan itu buru-buru pamit. Tanpa menjawab anjuran Annida. Kar mengabaikan kepergian perempuan itu. Ia fokus memegang korek, bersiap membakar kinang. Lalu, mengangkat bahu ketika Annida bertanya ada apa. Kar lanjut membakar kinang. Pipinya menggelembung, disemburkan isi mulutnya ke asbak. Api itu lenyap, sekaligus kesendirian Kar yang sepi. Hanya tinggal asap, yang tidak bisa berucap.