Ketika Pertahanan itu Jebol juga : Bagian dari kaum rebahan

Tulisan ini tentang Covid-19. Bukan soal obat atau vaksinnya, karena aku bukan dokter dan bukan peneliti. Aku cuma orang yang kebetulan suka menulis. Meski sejujurnya aku sendiri tidak tahu, harus mulai darimana bercerita. Tapi mungkin tidaklah penting, karena yang paling utama adalah aku ingin berbagi. Sekedar sebuah catatan, atau curahan hati mungkin lebih tepatnya bagi yang menggolongkanku dalam kaum lebay.

Bicara soal Covid-19 sebenarnya bukan soal lebay atau tidak. Virus seribu wajah ini sekarang benar – benar dekat dengan kita. Bukan sekedar ada di luar rumah dan di keramaian. Tapi virus ini ibaratnya sudah duduk di teras rumah kita. Lengah sedikit, kita langsung dipeluk cium oleh virus dari Cina ini (alamaaak… dipeluk cium virus ampyun deh).

Berawal ketika aku pulang ke Surabaya bersama keluarga besar suamiku untuk menghadiri pernikahan adikku 12 Desember 2020. Kami rombongan 2 mobil dari Sumenep. Alhamdulillah acara berlangsung lancar. Resepsi pernikahannya dibagi 3 sesi karena sekarang masa pandemi. Khusus untuk keluarga dekat, hadir pada sesi pertama sekaligus prosesi temu manten. Semua berjalan lancar, indah, dan bahagia… yang tersisa hanya senyuman.

Usai acara, kami pamit, karena harus menghadiri rangkaian acara berikutnya. Mulai menghadiri undangan teman kakak ipar, hingga berkunjung rumah teman lamanya. Sampai ke penginapan dekat rumah mama, kami sudah dalam kondisi lelah plus kehujanan. Setelah sukses dibuat keliling oleh mbah gugel mep.

Keesokan harinya, pagi usai sarapan kami check out untuk kembali ke sumenep. Tapi jangan membayangkan kami langsung cuzz Sumenep. Masih berderet acara demi acara, full padat merayap, hingga jam 2 dini hari Senin, kami baru sampai Sumenep

Senin, aku berangkat bekerja seperti biasa. Sementara suamiku mulai KO setelah kehujanan di surabaya sabtu sore. Senin siang suamiku ambruk.. aku masih bisa bertahan. Namun Selasa, lambat laun aku mulai merasa tubuhku meredup.. aku pun memutuskan untuk istirahat di rumah.

Rabu dini hari, aku mulai demam tinggi hingga mengigau. Aku terbangun dan meminum obat penurun panas yg selalu tersedia di kotak obat. Setelah itu baru aku bisa tidur, meski tak lama. Keesokan harinya, kondisiku semakin drop. Tapi syukurlah suamiku lebih kuat daya tahan tubuhnya. Aku meminta tolong untuk dibelikan antibiotik yg biasa kuminum. Demam dan kondisiku membaik setelah dua hari minum obat itu. Meski panas badanku seringkali naik turun. Pagi terasa ringan, sore mendadak drop. Atau siang merasa enakan, dini hari menggigil dan panas tinggi.

Di saat kondisiku belum membaik, tiba-tiba aku merasakan ada penurunan kepekaan penciuman meski tak sampai hilang. Bau minyak kayu putih, bau parfum, bau sabun, semua baru bisa tercium setelah didekatkan ke hidungku. Sangat dekat. Sekitar jarak 1 meter, aku sudah kehilangan penciumanku.

Glodhak!!! pikiranku langsung loading. Ya Allah, ini salah satu gejala khas Covid-19 berkali-kali aku menyebut nama Allah, seakan tidak percaya jika akhirnya pertahananku jebol juga dan ternyata, semua yang ke Surabaya kemarin, setiba di Sumenep tumbang dengan gejala yang sama. Serupa flu. Entah mereka mengalami anosmia atau tidak sepertiku.

Sempat berpikir, kena dimana ya? Kalau di pernikahan adikku, kok kekuarga ku yang Surabaya baik-baik aja semua? Atau kena di pernikahan anak teman mbak iparku setelah maen hujan? Atau kena di mall ketika berkunjung sejenak disana? Atau ketika bersilaturahmi ke beberapa famili ipar suamiku?

Ahh, pikiran itu segera kubuang jauh. Karena tidak ada gunanya juga. Kalau toh memang aku kena di tempat yg ku kunjungi, apa yang bisa ku lakukan? Menuntut mereka? Unjuk rasa? Minta ganti rugi? Gak mungkin kan? Itu hanya memperburuk keadaan. Bagiku yang paling penting satu hal. Bagaimana aku bisa melawan virus ini. Apapun nama virusnya.

Aku mulai bergerak. Ku pasang status “lockdown” sebagai pemberitahuan tersamar bahwa aku sedang tidak ingin berpikir yang lain. Orderan baju, pemasaran tikar, berita Pilkada, semua ku kesampingkan. Aku bergegas mencari tahu kondisi rumah sakit. Ternyata sejak beberapa hari, ruang isolasi di Sumenep penuh. Kalau ada pasien positif, akan diarahkan ke rumah sakit terdekat, atau mengantri beberapa hari di lorong UGD. Dua pilihan yang tidak menguntungkan buatku, karena rumah sakit di dekat sumenep pun kondisinya serupa. Pasien membeludak. Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan isolasi mandiri (isoman) 14 hari, apapun nama penyakit yang aku derita. Aku menghubungi pimpinan di kantor, menyampaikan maaf dan permohonan untuk istirahat sejenak dari “dunia persilatan”.

Aku berkonsultasi dengan dokter keluarga, dan mendukung pilihanku untuk isoman. Apalagi aku tanpa keluhan batuk dan sesak. Tidak perlu ada “treatment” khusus. Cukuplah istirahat, makan bergizi, dan minum vitamin. Virus itu akan mohon pamit dg sendirinya.

Baiklah, aku pun memulai hari – hari yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sama – sama sakit dengan suami. Jadi gak jelas juga, mana perawat dan mana yg dirawat sama-sama KO. Dan sesuai judul isoman, aku dan suami menempati ruangan yang berbeda. Meski tentu saja, karena rumah kami di perumahan, sedikit-sedikit ya loe lagi loe lagi. Ketemu lagi deh. Tapi semangat kami sama. Menjalani isoman dengan penuh kesungguhan, seksama, dan dalam tempo yg sesingkat-singkatnya (hallah, iku lak proklamasi).

Aku bersyukur, masih banyak orang baik di sekelilingku. Sahabat sekaligus tetanggaku yang sudah lebih dulu sakit serupa denganku, mengirimkan makanan, buah, obat, vitamin, membuatkan minuman rempah-rempah untuk menambah imunku. Dia taruh di pagar rumah. Tanpa kontak. Tidak hanya itu, sahabat lamaku semasa kuliah, ketika membaca statusku, langsung menghubungiku dan menanyakan keadaanku. Aku bercerita dengan jujur dan memintanya untuk mendoakanku, agar aku bisa bertahan memenangkan pertarungan dengan virus ini.

Setiap hari, sahabatku itu rajin menghubungi dan menanyakan keadaanku. Mengajakku sholat tahajud, berdoa bersama meski kami terpisah jarak. Bahkan ia juga memintakan doa untukku ke orang tuanya yg di pondok. Ya Allah.. terima kasih, masih banyak orang-orang yang peduli denganku..

Hari demi hari kulewati terasa berat dan lambat. Aku benar-benar menjadi kaum rebahan sejati Kondisiku lemah, karena aku tidak bisa makan. Setiap apa yang aku makan, aku muntahkan. Minum air putih pun tak bisa. Sehingga aku meminum air hangat dg madu. Tapi aku tahu, aku harus makan untuk melawan virus, aku harus makan karena minum obat. Beruntung kantor mengirimiku obat yang kata orang membantu mempercepat mengusir virus. Lian hua namanya. Aku juga membelinya secara online. Yang memberatkan adalah, obat itu sehari harus diminum 12 kapsul. Sekali minum 4 kapsul, 3x sehari. Jangan tanyakan lagi bagaimana perjuanganku meminum obat itu. Satu obat saja sudah nyaris kumuntahkan. Ini harus 4 obat sekaligus. Belum lagi vitamin dan antibiotik. Lengkap lah sudah rasanya. Masa-masa paling menyiksa adalah ketika tiba waktu makan dan minum obat. Lidah terasa pahit, perut mual, muntah. Makanan tidak ada satupun yg terasa enak.

Tapi lagi-lagi, aku harus bisa menjalani semua itu. Hari-hari yg terasa berat. Tak pernah pupus aku meminta agar Allah memberiku kekuatan menjalani semua ini. sampai kemudian ada teman kuliah yang juga terkonfirmasi Covid-19, dan asimptomatik. Dia beserta anak dan mertuanya, setelah suaminya meninggal pun terkonfirmasi positif. Tapi dia punya semangat luar biasa.. dia berusaha ridho menjalani semua ketentuan-Nya.

Dari seorang sahabat ini, aku mendapat cerita bahwa salah satu ikhtiarnya adalah minum minuman hangat ditetesi minyak kayu putih. Aku pun melakukan hal serupa, meski aku tak tahu, apakah aku terkonfirmasi positif atau tidak. Pikiranku sederhana saja, ingin segera membaik. Alhamdulillah, tiga hari berikutnya, indra penciumanku kembali normal. Alhamdulillah, satu masalah terlewati.

Kondisiku masih belum pulih, karena asupan makanan yang masuk sangat minim. Mual dan muntah masih aku rasakan, meski intensitasnya lama-lama berkurang. Selera makan masih nol. Tapi tetap memaksakan diri utk makan sedikit demi sedikit. Jangan tanyakan berat badanku. Turun drastis (lumayan lah, tak usah diet). Suamiku lebih cepat pulihnya meski tanpa obat, karena ia mampu memaksakan diri untuk makan (Kata dokter tirta: mangan mangan masker. Mangan mangan masker)

Hari demi hari kulewati, Alhamdulillah.. tidak pernah putus kulafalkan, karena aku bisa melewati masa-masa berat itu. Meski belum pulih sepenuhnya, tapi kondisi sekarang ini jauh lebih baik setelah 14 hari kujalani masa isolasi. Terima kasih ya Allah… terima kasih teman-teman untuk support, doa, dan dukungannya. Tanpamu, aku butiran debu.

Aku tidak peduli, berapa banyak orang yang nyinyir kepadaku di luar sana, karena katanya aku positif Covid. Buatku, gak penting mendengarkan kicauan mereka. Ada banyak sahabat yang mendukung kita, jadi jangan hiraukan ocehan miring yg lain.. anggap aja, sirik tanda tak mampu (halah..)

Kalaupun aku positif covid, ya memang kenapa? Toh covid itu bukan aib (apalagi Aids). Covid itu karena virus. Siapapun bisa kena, tak peduli apa latar belakangmu.. jadi, berhentilah menggunjingkan mereka yang terkonfirmasi. Beri mereka dukungan untuk bangkit. Kita bisa mulai mengedukasi, dari diri kita sendiri..

Jaga kesehatan, jaga lingkungan, patuhi protokol kesehatan. Semoga Allah selalu melindungi kita. Aamiin.

Pos terkait

banner 468x60