Farida kini tertunduk lesu. Dia memandang buku catatan di mana nama-nama orang tersebut pernah datang saat acara pernikahannya. Bagaimanapun, apa pun kondisi badannya atau jatah bulanan makan dari suaminya sedang menipis saat itu, dia pastikan harus datang memenuhi undangan pernikahan mereka. Ya, dia harus mengembalikan uang kondangan. “Kalau tidak di mana harga diriku,” batinnya.
Di desanya, dia dikenal sebagai seorang gadis yang menarik. Banyak pemuda menginginkanya. Mengetahui potensi yang dimiliki tersebut membuat dia berhati-hati dalam menentukan pilihannya.
Semenjak dia menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atasnya, karena kondisi ekonomi keluarga, dia memilih untuk tidak melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi. Pilihannya adalah bekerja kemudian menikah dengan orang yang mapan. Meskipun sebenarnya dia mempunyai teman dekat, seorang teman satu sekolah, tapi apalah daya dia menginginkan kehidupan yang enak dan terlihat menyenangkan di mata orang.
Pernah suatu ketika, dia didekati oleh seorang pedagang pasar. Dia berjualan sayur. Mereka berdua tanpa sengaja bertemu di sana. Karena lapak milik pemuda tersebut adalah tempat Farida berbelanja setiap harinya.
“Rumahnya di mana, Mbak?” tanya pemuda tersebut ketika pertama kali dia berbelanja. “Dekat, kok, di dusun sini saja,” jawabnya ringan.
Entah dapat informasi dari mana, pemuda itu tiba-tiba datang ke rumahnya. Rupanya keseringan berbelanja menguak diri pribadi Farida, termasuk tempat tinggalnya. Namun, keseriusan pedagang sayur tersebut dijawab dengan tegas, “Saya masih ingin melanjutkan karir saya.
”Di balik ketegasannya tersimpan suatu alasan. Alasan itu tidak dia ungkapkan. Berbekal keyakinan bahwa menjadi istri seorang penjual sayur tidaklah menjamin masa depannya. Dia tahu itu. Keinginannya adalah seperti paparan dari gurunya. Yakni, beliau nanti ketika sudah pensiun akan mendapatkan gaji setiap bulan hingga meninggal dunia. Dan, apabila istrinya masih hidup, uang pensiunan itu berpindah ke tangan pasangannya. Sehingga, dalam masa menunggu sosok suaminya, dia sangat berhati-hati dalam menentukan keputusan hidupnya.
Sambil mendengarkan cerita Farida, teman baiknya memperbaiki duduknya. Dia menghela nafas kemudian memberi solusi.
“Mau aku kenalkan dengan teman sekelasku?”
“Hm.”
“Dia seorang tentara, lho!” serunya menegaskan.
“Boleh,” jawabnya singkat. Menandakan dia setuju. Sebagai teman dekat di minimarket tempat mereka bekerja, keduanya sering berbagi cerita apa pun. Bahkan, soal kepegawaian, mereka faham bahwa seorang prajurit juga mewariskan uang pensiun di hari tuanya kelak.
“Aku takut kalau dia nanti mati perang!” Farida menambahkan. Seolah dia terjaga dari lamunannya. Keterkejutannya itu ditanggapi sahabatnya.
“Ada temanku yang lain, kabarnya sih, dia baru lulus kuliah jurusan keguruan. Dia masih menunggu lamarannya diterima di sebuah sekolah dasar. Katanya, sekolah tersebut membutuhkan guru pengganti karena guru bersangkutan pensiun.”
Tanpa pikir panjang terjadilah kesepakatan di antara dua orang teman dekat tersebut. Diaturlah pertemuan antara dua lawan jenis tersebut, seorang calon guru dan pegawai sebuah minimarket, yakni Farida sendiri. Setelah beberapa kali pertemuan, muda-mudi tersebut akhirnya saling berterus terang bahwa ada kecocokan di antara keduanya.
Ada kabar baik dari calon pasangan Farida. Kabar baiknya adalah lamaran sebagai guru di sebuah sekolah dasar diterima. Karena statusnya sudah bekerja, keduanya menyampaikan maksud hati mereka untuk menikah kepada orang tua mereka masing-masing.
Di satu sisi, kedua orang tua Farida sangat bergembira karena akan memiliki calon menantu seorang guru. Kelak di masa tuanya, mereka berdua tidak akan bekerja keras selayaknya dirinya sebagai seorang petani desa.
Karena saking bahagianya, acara pernikahan keduanya akan dilangsungkan dengan meriah. Bapaknya Farida akan menjual hewan ternak miliknya. Sebagai petani desa, sudah lazim kalau dia memiliki sapi. Jika pagi menggarap sawah, sore hari mencari rumput. Apabila selesai musim tanam dan menunggu panen, mencari rumput merupakan kesibukan utamanya. “Bapak jual sapi untuk pesta pernikahan kalian nanti,” ungkapnya mengusulkan di pertemuan dua keluarga.
Di hari pernikahan, para tamu berjejal. Mereka berjalan satu persatu memasuki tempat pernikahan. Suasana hingar-bingar itu semakin semarak dengan lantunan musik pengiring. Mereka bergembira. Senyum juga merekah di wajah pasangan muda tersebut. Lebih-lebih kedua orang tua mereka, seolah menggambarkan pencapaian tertinggi dalam memperjuangkan masa depan putra-putri mereka.
Tampak teman kerja, sekolah, kampus, ataupun tetangga yang hadir memasukkan uang kondangan. Hadir pula di antara para tamu undangan, teman-teman dari kedua orang tua mereka yang turut mendukung kesuksesan pernikahan mewah tersebut dengan menyelipkan serjumlah rupiah ke kotak kondangan. Bagi mereka yang ingin merasakan keakraban bercengkerama, uang dalam amplop tersebut ditempelkan saat bersalaman.
“Alhamdulillah, kita bisa ganti sepeda motor baru ya, Mas?” usul Farida kepada suaminya ketika selesai menghitung uang kondangan. “Sepeda motor untuk berangkat mengajar dijual saja. Kan, seorang guru harus tampil berwibawa,” tambahnya meyakinkan.
“Gak papa kok sepeda lamaku masih bisa dipakai,” suaminya menimpali. Dia menolak. Namun, dia tidak kuasa menjawab usulan istrinya, alasannya terasa masuk di akal.
“Aku juga mau mengganti handphone lamaku,” katanya sambil melirik suaminya. Dia tersenyum sambil menunggu jawaban. Dan, jawaban itu adalah satu kepastian yang membuatnya semakin berbinar-binar.
Lengkaplah kebahagiaan sepasang sejoli itu. Seorang guru sukarelawan yang berwibawa dan seorang karyawan sebuah minimarket dengan mode yang kekinian. Mereka merasa, setelah menikah, menjadi buah bibir di antara teman-teman sekolah, kampus, kerja bahkan tetangga. Pasangan yang serasi.
Diantara sapaan dan pujian yang mereka alami sebenarnya ada sesuatu perasaan yang membuat Farida merasa hampa. Pelan namun pasti, perasaan itu sangat mengganggu keseharian dia. Satu hari terasa lambat bergulir. Minggu bertemu minggu seolah terasa satu bulan. Merasakan setahun berikutnya bagaikan memikul beban berat di pundaknya.
Lebih-lebih, ketika mendengar kabar dari suaminya setelah pengumuman kelulusan pegawai pemerintah. Kabar itu bukanlah kabar menyenangkan. Tidak hanya sekali, berulang kali itulah yang membuatnya kecewa. Status sebagai guru sukarelawan tidak bisa menopang kebutuhan mereka per bulan.
Apalagi, jika musim pernikahan tiba. Dia harus mengembalikan uang kondangan kepada mereka yang dulu pernah datang dan menyelipkan sejumlah rupiah. Pengeluaran rumah tangga mereka menjadi tidak teratur. Sedangkan, pemasukan per bulan hanya itu-itu saja. Cenderung tetap.
Berharap dari minimarket untuk kenaikan gaji per bulan juga sia-sia. Karena, kebijakan gaji di atur oleh pemerintah. Sesama karyawan temannya pun sepakat dengan aturan tersebut. Tidak ada pilihan. Karena itu dia meminta suaminya untuk berbisnis. Tidak usah lagi menunggu menjadi pegawai pemerintah. “Eman-eman,” jawab suaminya.
“Coba membuka toko kelontong, Mas?” usul Farida.
“Mau mencoba itu di sekitar lingkungan kita sudah banyak toko sejenis.”
“Tapi, pengeluaran kita bagai pasak lebih besar dari pada tiang.”
“Memberi kelas tambahan murid-murid untuk les di rumah kita juga tidak bisa diharapkan.”
Jawaban suaminya itu membuatnya kesal. “Menunggu sesuatu yang tak pasti sampai kapan, Mas!” ungkap Farida emosi.
Suaminya pun terpojok dengan jawaban itu. “Terserah!” jawabnya pasrah.
”Ya sudah! Aku mau kerja ke luar negeri!” katanya dengan nada keras.
Seketika itu, suasana menjadi sunyi. Mulut mereka terkunci dan jalanan sepi. Hanya suara knalpot motor yang terdengar. Suaranya tiba-tiba menjadi pelan karena menjauhi rumah mereka. Rumah sunyi di tepi jalan itu telah menjadi saksi pertengkaran di antara mereka.