Manifesto Kritis: Pancasila dalam Pusaran Teologi Global  

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tidak pernah benar-benar bebas dari tarik-menarik antara narasi sekularisme dan klaim teologis. Sejak kelahirannya pada 1945, sila-sila Pancasila telah menjadi arena perdebatan antara visi negara yang inklusif dengan tuntutan formalisasi agama dalam kehidupan bernegara. Namun, dalam dekade terakhir, dinamika ini semakin kompleks seiring menguatnya gelombang politik identitas global yang turut mempengaruhi diskursus keagamaan di Indonesia. Gerakan-gerakan transnasional—seperti kebangkitan Islamisme dengan narasi khilafahnya atau Kristen fundamentalis dengan konsep “negara Kristen”—telah membawa tantangan baru bagi Pancasila sebagai konsensus nasional.

 

Data dari Setara Institute (2022) mengungkapkan peningkatan pelanggaran kebebasan beragama sebesar 70% dalam lima tahun terakhir, dengan mayoritas kasus dipicu oleh kelompok-kelompok yang menolak pluralisme Pancasila atas nama “pemurnian agama”. Misalnya, pelarangan pendirian rumah ibadah minoritas, kekerasan terhadap penganut aliran kepercayaan, atau stigmatisasi terhadap kelompok yang dianggap “menyimpang”. Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan merupakan bagian dari tren global di mana agama semakin dipolitisasi sebagai alat mobilisasi massa. The Pew Research Center (2021) mencatat bahwa 40% negara di dunia mengalami peningkatan ketegangan agama dalam sepuluh tahun terakhir, termasuk di Indonesia.

 

Di sisi lain, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI, 2023) menunjukkan bahwa 62% masyarakat Indonesia merasa khawatir terhadap ancaman disintegrasi bangsa akibat polarisasi agama. Ketakutan ini bukan tanpa dasar. Maraknya ujaran kebencian berbasis agama di media sosial, politisasi isu moral dalam kontestasi elektoral, serta fragmentasi sosial di tingkat akar rumput membuktikan bahwa Pancasila sedang diuji ketahanannya. Ironisnya, justru dalam situasi seperti inilah Pancasila sering direduksi menjadi sekadar “kompromi politik” alih-alih kerangka etik-spiritual yang mampu menjawab tantangan zaman.

 

Klaim bahwa Pancasila “terlalu sekuler” atau “tidak cukup religius” merupakan bentuk ahistoris yang mengabaikan akar sinkretis spiritualitas Nusantara yang telah berlangsung selama berabad-abad. Sejarawan terkemuka Merle Ricklefs (2012) dalam karya monumentalnya Islamisation and Its Opponents in Java secara meyakinkan mendokumentasikan bagaimana proses Islamisasi di Jawa justru terjadi melalui adaptasi kreatif – bukan penolakan total – terhadap tradisi lokal. Pola serupa terlihat dalam penelitian Robert Hefner (1985) tentang Hindu-Buddha di Jawa Timur yang menunjukkan bagaimana konsep ketuhanan di Nusantara selalu bersifat inklusif dan multiinterpretasi. Fakta sejarah ini membuktikan bahwa model “agama murni” yang dianut kaum teokrasi kontemporer sebenarnya bertentangan dengan DNA kultural bangsa Indonesia.

 

Pandangan Franz Magnis-Suseno (2020) dalam Pancasila sebagai Etika Politik memberikan kerangka filosofis yang penting untuk memahami Sila Pertama. Menurutnya, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa sengaja dirumuskan sebagai “payung inklusif” yang mampu menaungi berbagai ekspresi spiritual tanpa harus jatuh pada dominasi satu agama tertentu. Pendekatan ini sesuai dengan temuan LIPI (2021) dalam penelitian tentang religiositas masyarakat Indonesia yang menunjukkan bahwa 73% responden memahami Ketuhanan secara substantif (berkaitan dengan nilai-nilai universal) bukan secara formalistik (berkaitan dengan ritual dan aturan agama tertentu).

 

Pancasila harus direvitalisasi sebagai proyek pembebasan radikal, bukan sekadar slogan kosong tentang toleransi yang pasif dan tidak mengganggu status quo. Inspirasi dari Leonardo Boff (1986) dalam Teologi Pembebasan mengingatkan kita bahwa setiap sistem nilai—termasuk Pancasila—yang diam terhadap ketidakadilan sosial pada dasarnya adalah “teologi palsu”, sebuah alat legitimasi bagi penindasan yang dibungkus bahasa moral. Di Indonesia, di mana 10% orang terkaya menguasai 77% kekayaan nasional (Oxfam, 2023) sementara 25,9 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2023), Pancasila sering dibajak oleh elite politik dan ekonomi untuk memoles wajah oligarki dengan jargon-jargon kebangsaan dan religiusitas. Jeffrey Winters (2011) dalam Oligarchy menunjukkan bagaimana di Indonesia, kekayaan dan kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir keluarga yang justru kerap menjadi penyokong utama narasi-narasi keagamaan konservatif untuk mengalihkan perhatian dari ketimpangan struktural.

 

Sila Kelima (“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”) seharusnya menjadi senjata ideologis melawan sistem ekonomi yang meminggirkan rakyat kecil. Namun, dalam praktiknya, sila ini justru paling sering dikhianati. Kasus korupsi dana haji senilai Rp1,3 triliun (ICW, 2023) dan manipulasi zakat oleh oknum pejabat adalah contoh nyata bagaimana agama bisa dijadikan alat kapitalisme predator. Lebih ironis lagi, studi LP3ES (2023) menemukan bahwa 65% pesantren dan lembaga keagamaan di Jawa justru menjadi bagian dari rantai ekonomi oligarkis melalui hubungan patronase dengan pemilik modal besar. Noam Chomsky (2017) dalam Requiem for the American Dream mengingatkan bahwa inilah ciri khas sistem oligarkis modern: menggunakan simbol-simbol moral dan agama untuk mengaburkan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan.

 

Di sisi lain, tantangan terberat Pancasila di era post-sekularisme—di mana agama kembali ke ruang publik dengan wajah yang semakin politis—adalah mencegahnya menjadi “toleransi semu” yang hanya menguntungkan kelompok dominan. Sebagaimana diperingatkan Jürgen Habermas (2008) dalam Between Naturalism and Religion, demokrasi modern rentan direduksi menjadi “pasar ide” di mana kekuatan fundamentalis bisa memanfaatkan kebebasan beragama untuk menegasikan kebebasan kelompok lain.

 

Kami menyerukan revolusi pemikiran dan aksi konkret melalui tiga agenda mendesak:

 

Pertama, Pendidikan yang Membebaskan!

Kami menuntut transformasi sistem pendidikan nasional yang mengintegrasikan pembacaan kritis Pancasila berbasis teologi pembebasan ke dalam kurikulum inti. Pendidikan tidak boleh lagi menjadi alat indoktrinasi pasif, melainkan ruang dialektis ala Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), di mana peserta didik diajak membongkar struktur ketidakadilan yang bersembunyi di balik jargon-jargon Pancasila. Setiap sekolah, pesantren, dan kampus harus menjadi laboratorium pemikiran kritis yang mengaitkan sila-sila Pancasila dengan realitas ketimpangan di depan mata.

 

Kedua, Hukum yang Berpihak pada Keadilan!

Kami mendesak pencabutan segera 1.200+ Perda diskriminatif dan pengadopsian prinsip “pluralisme konstitusional” sebagaimana digagas Azyumardi Azra (2015). Negara wajib menegakkan konstitusi dengan konsisten, melindungi minoritas dari tirani mayoritas, dan memastikan tidak ada satu pun peraturan yang mengatasnamakan agama tertentu untuk menegasikan hak kelompok lain. Reformasi hukum harus berani membongkar seluruh produk legislasi yang mengkriminalkan perbedaan dan memperkuat sistem yang menjamin kesetaraan substantif bagi semua warga negara.

 

Ketiga, Solidaritas Transreligius yang Nyata!

Kami mengajak seluruh elemen masyarakat membangun aliansi lintas iman yang militan, terinspirasi oleh jejaring Gus Durian dan Interfidei. Gerakan ini harus menjadi kekuatan penyeimbang yang:

  1. Memantau dan melawan politisasi agama di ruang publik
  2. Menciptakan sistem early warning terhadap intoleransi
  3. Mengorganisir aksi-aksi kolektif berbasis nilai-nilai kemanusiaan universal

Setiap rumah ibadah harus menjadi markas perlawanan terhadap kebencian, setiap pemuka agama menjadi garda depan pembela keadilan sosial.

 

Pancasila berdiri di tengah pertarungan antara cita-cita inklusivitas dan ancaman fundamentalisme, antara janji keadilan sosial dan realitas oligarki yang membajaknya. Ia bukan sekadar kompromi sejarah, melainkan proyek hidup yang menuntut keberanian untuk menolak segala bentuk penindasan—baik yang berselimut agama maupun kekuasaan.

 

Tantangan terberatnya kini bukan hanya mempertahankan pluralisme dari politik identitas, tetapi juga membongkar hipokrisi elite yang menggunakan Pancasila sebagai kedok sambil menggerogoti roh pembebasannya. Masa depan Pancasila tergantung pada kemampuan kita menghidupkannya sebagai gerakan kolektif: pendidikan yang membebaskan, hukum yang memberdayakan, dan solidaritas lintas iman yang militan. Di ujung pertarungan ini, Pancasila hanya akan relevan jika berani menjadi suara kaum yang tak bersuara—bukan sekadar mantra kosong penguasa.

Pos terkait

banner 468x60