Bertanya tentang apa dan siapa manusia pada dasarnya bertanya tentang pengertian manusia, asal usul kejadian, tujuan diciptakan, sifat-sifat alamiah, potensi yang dimiliki, dan kelanjutan setelah kehidupannya di alam ini. Dalam pandangan ilmu logika beberapa filosof memiliki secara umum pengertian manusia. Menurut mereka definisi manusia yaitu hewan yang berakal atau hewan yang rasional. Disebut dengan kelompok hewan, karena pada dasarnya manusia memiliki ciri, kecenderungan, sifat-sifat alamiah, dan naluri yang juga dimiliki oleh hewan. Tapi menjadi titik pisah dengan hewan manakala secara esensial manusia menggunakan akal yang secara potensial menjadi fitrah ciptaannya.
Bahan dasar manusia secara umum dibentuk dari unsur-unsur sari pati tanah. Dalam surah Al Mukminun (QS 23:12) disebutkan,
“Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati yang berasal dari tanah.”
Dalam pembahasan filosofis, proses pergerakan materi-materi mineral tanah bergerak naik menuju bentuk nabati yaitu tumbuh-tumbuhan, selanjutnya bergerak menuju bentuk hewani, kemudian manusia, dan menuju bentuk-bentuk malakuti secara spiritual.
Bertanya tentang kenapa manusia tercipta dari tanah, pernah menjadi pertanyaan yang menggelitik orang orang yang terbiasa dengan dunia pemikiran. Kenapa ya Tuhan tidak menciptakan manusia dari bahan dasar api, cahaya, air, udara, atau yang lain. Kalau dari bahan dasar ciptaan cahaya makhkuk yang terbentuk malaikat namanya, kalau dari bahan dasar ciptaan api makhluk yang terbentuk jin namanya, kalau dari bahan dasar ciptaan udara bisa gas atau oksigen atau karbon dioksida namanya, dan seterusnya.
Kalau kita merujuk dalam surah Al Baqoroh (QS 2: 30),
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami menyucikan namaMu?” Dia berfiman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dari keterangan ayat al kitab tersebut jelas sekali disebutkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari tanah karena pada dasarnya Tuhan ingin menjadikannya sebagai manusia bumi. Artinya, bahwa manusia tempatnya di bumi, sebagai khalifah atau wakil Tuhan di bumi, sebagai pengelola sumber daya alam di bumi, sebagai kreator, pengatur, penjaga, dan pelestari alam di bumi.
Kenapa harus manusia yang menjadi pilihan Tuhan sebagai khalifah? Menjawab pertanyaan ini, kita bisa menggunakan argumentasi teologis maupun filosofis. Dalam pandangan teologis kita akan temukan jawaban bahwa manusia dicipta oleh Tuhan karena ia memiliki sifat-sifat dan potensi terbaik di antara semua ciptaanNya. Makhluk yang terdiri dari ruh dan jasad menjadi satu membentuk sifat-sifat khusus dan unik yang tidak dimiliki oleh makhkuk Tuhan lainnya. Penciptaan yang sempurna menjadikan manusia layak dan memungkinkan untuk melakukan tugas-tugas kemanusiannya.
Sebagai makhluk paling sempurna, manusia secara potensial memiliki jiwa-jiwa yang muncul akibat bersatunya ruh dan jasad yang bisa kita bedakan dan identifiasi dengan sebutan nafsu, akal, dan hati. Perangkat-perangkat inilah yang secara fitrah Tuhan telah anugerahkan kepada makhluk yang bernama manusia.
Lebih jauh karena manusia memiliki potensi fitrah akal atau jiwa rasional tersebut sehingga menyebabkan derajat manusia lebih tinggi dan mulia dibanding dengan makhluk lainnya. Jika malaikat tercipta dengan akal tanpa nafsu syahwat dan hewan tercipta hanya dengan nafsu saja tanpa potensi akal, maka sempurnanya manusia karena ia memiliki kedua-duanya yaitu nafsu dan potensi akal. Sehingga dengan adanya nafsu dan potensi akal yang dimiliki manusia maka dengan itulah manusia disebut dengan makhluk paling baik, paling mulia, paling pandai, dan paling sempurna.
Dalam pandangan ilmu hikmah, kaum arifin memandang bahwa manusia itu niscaya tercipta. Artinya, Tuhan menciptakan manusia adalah suatu keharusan dalam hukum hukum manifestasi yang termasuk bentuk keadilanNya. Sebab jika tidak demikian, maka keberhikamahan dan kelayakan Dia sebagai Tuhan akan menjadi berkurang. Dan kalau itu sampai terjadi, pasti itu bukan Tuhan.
Tuhan sebagai segala sumber keberadaan (Wujud) dan sumber pengetahuan (Al ‘Ilm) pastilah mengetahui segala ciptaanNya baik secara parsial (partial, tafsili) maupun yang menyeluruh (universal, ijmali). Artinya, tidak ada satupun makhluk cipataanNya baik proses awal sampai akhirnya, bentuk, kualitas, aktivitas, dan segala kejadian yang berlaku padanya tidak Tuhan ketahui. Maka dengan itu bisa disimpulkan bahwa segala sesuatu berada dalam genggamanNya.
Kalau itu disetujui, maka untuk menghasilkan madu saja Tuhan melayakkan dengan mendahului cipataanNya dengan seekor lebah, lantas bagaimana lagi dengan makhluk Tuhan yang lain seperti kehadiran sebuah rumah gedung, mobil, Hp, pesawat, dan secangkir kopi di pagi hari? Pasti Tuhan lebih layak menghadirkan manusia bukan?
Konon katanya saat manusia tercipta (Adam as) pernah ditanya oleh Tuhan, “Wahai manusia mana yang lebih kamu pilih antara akal (ilmu), rasa malu, dan agama?” Dan Bapak kita Adam as menawab dengan akal (ilmu). Dengan akal manusia bisa mengelola rasa malu (etika, sopan santun, akhlak, dan adab) dan dengan akal pula manusia pasti memerlukan agama dari Tuhan.
Manusia memang layak dicipta, dan penciptaan manusia memenuhi hikmah agung penciptaan. Terciptanya manusia menunjukkan betapa Tuhan Mahaberhikmah dalam segala ciptaanNya. Manusia yang betul-betul disebut manusia bukan bermakna secara fisik, tapi ia lebih bermakna pada manusia yang mengedepankan nilai nilai kemanusiaan dan spiritualitasnya.